Pertaruhan dalam Quarter Life Crisis
- Firman Ramdhani, M.Psi., Psikolog
- 3 Sep 2022
- 3 menit membaca
Hidup manusia memang tidak akan terhindar dari penderitaan, salah satunya Quarter Life Crisis. Sebuah krisis yang dialami kebanyakan manusia di usia 20 - 30an. Krisis sendiri bisa diartikan dengan periode hidup yang ditandai dengan kesulitan hidup (peristiwa hidup yang menantang), stres, dan emosi negatif, namun bisa menjadi turning point pada kehidupan seseorang (Robinson, 2008 dalam Robinson et al., 2013).Ā
Manusia sendiri tumbuh berkembang melalui berbagai periode. Kita bisa coba mengkotakkan secara sederhana ke dalam beberapa tangga kehidupan. Mulai dari balita, anak-anak, remaja, dewasa, lansia. Masing - masing tahapan pasti dipenuhi dengan berbagai krisis. Namun, krisis yang lumayan besar dihadapi manusia di periode awal dewasanya. Ketika sudah lulus kuliah dan harus bekerja untuk bisa hidup diatas kaki sendiri.
Mengapa ini menjadi krisis yang besar ? karena ada pertaruhan yang besar di dalamnya. Bagaimana keputusan yang diambil dirasa akan sangat mempengaruhi masa depan secara signifikan. Mulai dari keputusan memilih karir, pekerjaan apa yang tepat ? perusahaan mana ? apakah ini sesuai passion dan kompetensi ? atau justru pilihan lain untuk melanjutkan pendidikan, apakah lanjut S2 ? ikut boot camp ? atau kuliah ke luar negri ?. Tidak kalah menegangkan, pertaruhan yang besar bisa juga muncul pada keputusan menikah atau tidak. Apakah harus berkomitmen dengan satu orang untuk sepanjang sisa hidup kita ? mengasuh anak dan membiayai berbagai kebutuhannya ?.Ā
Ketika ada hal besar yang dipertaruhkan, maka takut dan cemas adalah respons yang sangat natural. Sama seperti orang berjudi (tentunya ini bukan perilaku yang baik ya..) dan bertaruh seluruh uang tabungannya, tentunya ia akan sangat tegang dan cemas. Ini penting untuk disampaikan agar kita menormalisasi perasaan cemas dan takut tersebut (Ingat bukan menormalisasi judi ya.. #penting). Bukan malah menolak atau mengabaikannya, hal tersebut dapat berdampak negatif terhadap kesejahteraan psikologis kita. Menyadari dan menerima emosi negatif yang kita rasakan adalah tangga pertama untuk self-development.Ā
Perasaan cemas di beberapa orang bisa sangat intens. Mereka menghabiskan banyak waktu untuk overthinking berbagai what if ( kalau nantiā¦) tentang masa depan yang sifatnya negatif, seperti āKalau saya salah dalam memilih karir bagaimana ?ā, ājika saya nanti tidak sukses bagaimana ?ā, ākalau nanti saya kesulitan dalam bidang itu bagaimana ?ā. Ditambah nuansa helplessness , seakan-akan tidak ada hal yang bisa kita lakukan, akan semakin membuat individu tersebut menjadi sangat cemas.Ā
Jika kita menelaah lebih jauh, tentunya berbagai pikiran tersebut muncul karena adanya negative belief tentang diri sendiri. Jauh dilubuk hatinya mereka bisa saja percaya bahwa mereka itu āgagalā, āpecundangā, ātidak kompetenā, sehingga muncul dorongan untuk mempertanyakan berbagai keputusan yang akan diambil agar ide tersebut tidak muncul ke permukaan. Ketika keputusan yang diambil tidak berjalan mulus, maka akan aktiflah ide tersebut āsaya memang gagalā, āsaya memang pecundangā, āsaya memang tidak kompetenā. Ā Yang ini akan mendorong perilaku maladaptif lebih kuat, seperti menghindar, menyendiri, overthinking, menyerah, dan sebagainya.Ā
Ketika dirimu tenggelam dalam emosi tidak nyaman dan perilaku yang maladaptif, maka energimu akan habis disana. Sedikit sisa energi untuk mencari jalan keluar yang solutif. Hal ini akan berputar terus seperti lingkaran setan.
Cognitive Behavior Therapy akan sangat membantu individu tersebut untuk bisa merespons berbagai pikiran negatifnya. Mulai dari merespons kemungkinan āapakah saya akan kesulitan nantinya atau tidak ?ā dengan menggali ākalaupun ada kesulitan sesulit apa ?ā, āapakah kesulitan itu sesuatu yang tidak bisa tertangani oleh manusia ?ā, āapa yang masih bisa kita lakukan ?ā. Lalu untuk ide, āapakah saya akan salah milih karir atau tidak ?āĀ bisa direspons dengan, ākalaupun salah apakah itu akhir kehidupan ?ā, ā banyak kah yang baru bertemu ākarirā idamannya di usia yang tak muda ?ā.Ā Terakhir, untuk ide ājika nanti saya tidak sukses bagaimana ?ā, bisa kita respons dengan, āapa arti sukses ?ā, āapakah uang?ā, ājika iya, apakah orang yang kaya itu bahagia ?ā, āapa hal yang membuatmu puas, bahagia, sejahtera selain uang ?ā, āapakah sukses itu instan ?ā, ākamu pernah jadi pemain futsal ekskul dan juara, bagaimana prosesmu sampai jadi juara ?ā.Ā
Berbagai pertanyaan diatas tentunya masih bisa diubah dan dikembangkan lebih lanjut. Intinya, kita belajar merespons pikiran bukan menolaknya. Lebih lanjut, bertahap kita akan merespons pikiran yang lebih dalam lagi, yaitu āsaya gagalā, āsaya pecundangā, ā saya tidak kompetenā.Ā Akhirnya, merespons berbagai pikiran negatif yang kaku akan selalu dibungkus dengan āapa yang bisa kita lakukan sekarang ?ā, supaya menumbuhkan rasa in control atau menguasai diri.Ā
Tentunya ini hanya bagian kecil dari cara menghadapi Quarter Life Crisis. Selain itu, kita jugaĀ bisa menggali apa value hidup kita agar bisa kita arahkan dalam mengambil keputusan. Belajar menerima kekurangan dan mengapresiasi potensi diri. Merespons kecenderungan membandingkan diri dengan orang lain, dan lain sebagainya.
Jika kamu tertarik untuk diskusi dan belajar lebih lanjut tentang Quarter Life Crisis, ikut Webinar Flexible Mindset minggu ini dengan judul āQuarter Life Crisis : Apa Tantangannya, Bagaimana Menghadapi dan Berdamai Dengannya?ā. Kamu bisa klik link dibawah untuk langsung mendaftar.Ā
Firman Ramdhani, M.Psi., Psikolog
Comments