top of page

Pertaruhan dalam Quarter Life Crisis

Gambar penulis: Firman Ramdhani, M.Psi., PsikologFirman Ramdhani, M.Psi., Psikolog

Hidup manusia memang tidak akan terhindar dari penderitaan, salah satunya Quarter Life Crisis. Sebuah krisis yang dialami kebanyakan manusia di usia 20 - 30an. Krisis sendiri bisa diartikan dengan periode hidup yang ditandai dengan kesulitan hidup (peristiwa hidup yang menantang), stres, dan emosi negatif, namun bisa menjadi turning point pada kehidupan seseorang (Robinson, 2008 dalam Robinson et al., 2013). 


Manusia sendiri tumbuh berkembang melalui berbagai periode. Kita bisa coba mengkotakkan secara sederhana ke dalam beberapa tangga kehidupan. Mulai dari balita, anak-anak, remaja, dewasa, lansia. Masing - masing tahapan pasti dipenuhi dengan berbagai krisis. Namun, krisis yang lumayan besar dihadapi manusia di periode awal dewasanya. Ketika sudah lulus kuliah dan harus bekerja untuk bisa hidup diatas kaki sendiri.


Mengapa ini menjadi krisis yang besar ? karena ada pertaruhan yang besar di dalamnya. Bagaimana keputusan yang diambil dirasa akan sangat mempengaruhi masa depan secara signifikan. Mulai dari keputusan memilih karir, pekerjaan apa yang tepat ? perusahaan mana ? apakah ini sesuai passion dan kompetensi ? atau justru pilihan lain untuk melanjutkan pendidikan, apakah lanjut S2 ? ikut boot camp ? atau kuliah ke luar negri ?. Tidak kalah menegangkan, pertaruhan yang besar bisa juga muncul pada keputusan menikah atau tidak. Apakah harus berkomitmen dengan satu orang untuk sepanjang sisa hidup kita ? mengasuh anak dan membiayai berbagai kebutuhannya ?. 


Ketika ada hal besar yang dipertaruhkan, maka takut dan cemas adalah respons yang sangat natural. Sama seperti orang berjudi (tentunya ini bukan perilaku yang baik ya..) dan bertaruh seluruh uang tabungannya, tentunya ia akan sangat tegang dan cemas. Ini penting untuk disampaikan agar kita menormalisasi perasaan cemas dan takut tersebut (Ingat bukan menormalisasi judi ya.. #penting). Bukan malah menolak atau mengabaikannya, hal tersebut dapat berdampak negatif terhadap kesejahteraan psikologis kita. Menyadari dan menerima emosi negatif yang kita rasakan adalah tangga pertama untuk self-development. 


Perasaan cemas di beberapa orang bisa sangat intens. Mereka menghabiskan banyak waktu untuk overthinking berbagai what if ( kalau nanti…) tentang masa depan yang sifatnya negatif, seperti “Kalau saya salah dalam memilih karir bagaimana ?”, “jika saya nanti tidak sukses bagaimana ?”, “kalau nanti saya kesulitan dalam bidang itu bagaimana ?”. Ditambah nuansa helplessness , seakan-akan tidak ada hal yang bisa kita lakukan, akan semakin membuat individu tersebut menjadi sangat cemas. 


Jika kita menelaah lebih jauh, tentunya berbagai pikiran tersebut muncul karena adanya negative belief tentang diri sendiri. Jauh dilubuk hatinya mereka bisa saja percaya bahwa mereka itu “gagal”, “pecundang”, “tidak kompeten”, sehingga muncul dorongan untuk mempertanyakan berbagai keputusan yang akan diambil agar ide tersebut tidak muncul ke permukaan. Ketika keputusan yang diambil tidak berjalan mulus, maka akan aktiflah ide tersebut “saya memang gagal”, “saya memang pecundang”, “saya memang tidak kompeten”.  Yang ini akan mendorong perilaku maladaptif lebih kuat, seperti menghindar, menyendiri, overthinking, menyerah, dan sebagainya. 


Ketika dirimu tenggelam dalam emosi tidak nyaman dan perilaku yang maladaptif, maka energimu akan habis disana. Sedikit sisa energi untuk mencari jalan keluar yang solutif. Hal ini akan berputar terus seperti lingkaran setan.


Cognitive Behavior Therapy akan sangat membantu individu tersebut untuk bisa merespons berbagai pikiran negatifnya. Mulai dari merespons kemungkinan “apakah saya akan kesulitan nantinya atau tidak ?” dengan menggali “kalaupun ada kesulitan sesulit apa ?”, “apakah kesulitan itu sesuatu yang tidak bisa tertangani oleh manusia ?”, “apa yang masih bisa kita lakukan ?”. Lalu untuk ide, “apakah saya akan salah milih karir atau tidak ?”  bisa direspons dengan, “kalaupun salah apakah itu akhir kehidupan ?”, “ banyak kah yang baru bertemu “karir” idamannya di usia yang tak muda ?”.  Terakhir, untuk ide “jika nanti saya tidak sukses bagaimana ?”, bisa kita respons dengan, “apa arti sukses ?”, “apakah uang?”, “jika iya, apakah orang yang kaya itu bahagia ?”, “apa hal yang membuatmu puas, bahagia, sejahtera selain uang ?”, “apakah sukses itu instan ?”, “kamu pernah jadi pemain futsal ekskul dan juara, bagaimana prosesmu sampai jadi juara ?”. 


Berbagai pertanyaan diatas tentunya masih bisa diubah dan dikembangkan lebih lanjut. Intinya, kita belajar merespons pikiran bukan menolaknya. Lebih lanjut, bertahap kita akan merespons pikiran yang lebih dalam lagi, yaitu “saya gagal”, “saya pecundang”, “ saya tidak kompeten”.  Akhirnya, merespons berbagai pikiran negatif yang kaku akan selalu dibungkus dengan “apa yang bisa kita lakukan sekarang ?”, supaya menumbuhkan rasa in control atau menguasai diri. 


Tentunya ini hanya bagian kecil dari cara menghadapi Quarter Life Crisis. Selain itu, kita juga  bisa menggali apa value hidup kita agar bisa kita arahkan dalam mengambil keputusan. Belajar menerima kekurangan dan mengapresiasi potensi diri. Merespons kecenderungan membandingkan diri dengan orang lain, dan lain sebagainya.


Jika kamu tertarik untuk diskusi dan belajar lebih lanjut tentang Quarter Life Crisis, ikut Webinar Flexible Mindset minggu ini dengan judul “Quarter Life Crisis : Apa Tantangannya, Bagaimana Menghadapi dan Berdamai Dengannya?”. Kamu bisa klik link dibawah untuk langsung mendaftar. 




Firman Ramdhani, M.Psi., Psikolog

75 tampilan0 komentar

Postingan Terakhir

Lihat Semua

Comments


Kontak

Email: mindinstitute.id@gmail.com

Whatsapp: 0859-2815-6555

  • LinkedIn
  • Facebook
  • Spotify
  • YouTube
  • Instagram
Logo_Black.png

Dulu bernama Mind and Brain Indonesia yang berdiri sejak tahun 2018 dan fokus membangun untuk menjadi tim Cognitive Behavioral Therapist pertama di Indonesia.

© 2022 Mind Institute

bottom of page