top of page
Gambar penulisAyu Friztyana

Bersedih ≠ Tidak Rida dengan Takdir Allah

Sebagai seorang manusia, mengalami suatu ujian hidup adalah sesuatu yang normal dialami. Tidak jarang kita menginginkan sesuatu, tetapi pada akhirnya keinginan itu tidak terwujud. Ketika hal tersebut terjadi, beberapa dari kita mungkin akan bersedih hingga menangis. 


Kesedihan dialami ketika individu kehilangan sesuatu atau seseorang yang berharga. Selain itu, kesedihan juga dapat dirasakan ketika manusia mengalami kegagalan dalam mencapai tujuannya. Ketika mengalaminya, manusia bisa menangis dan menarik diri (Niedental & Ric, 2017). 


Sedih adalah emosi yang wajar bagi setiap manusia. Namun, sebagai seorang muslim, kita telah mengetahui bahwa terdapat firman Allah ﷻ yang mengatakan untuk jangan bersedih dan perlu menerima takdir yang telah ditetapkan oleh Allah ﷻ. 


Apakah itu artinya kita tidak boleh merasakan kesedihan? Apakah ketika kita bersedih, berarti kita tidak menerima/tidak rida dengan takdir Allah ﷻ?


Kesedihan dalam Islam

Dalam Islam, memang terdapat beberapa Firman Allah ﷻ yang mengatakan untuk jangan bersedih. Namun, itu bukan berarti kita tidak boleh merasakan kesedihan. Faktanya, kesedihan hingga menangis adalah bagian dari hidup manusia dan datangnya dari Allah ﷻ. Sebagaimana disebutkan di dalam Al-Qur’an:

وَأَنَّهُ هُوَ أَضْحَكَ وَأَبْكَىٰ

“Dan sesungguhnya Dialah yang menjadikan orang tertawa dan menangis” (QS. An-Najm: 43) (The Qur’an, 2010)


Selain itu, terdapat juga beberapa kisah Nabi yang menggambarkan keimanan yang kuat dalam hati mereka, namun mereka tetap merasakan kesedihan kala menghadapi takdir yang menyulitkan. Contohnya adalah kisah Nabi Muhammad (ﷺ) dan Nabi Yaqub a.s. ketika kehilangan putranya, bahkan Nabi Yaqub a.s. menangis hingga matanya menjadi putih.

وَتَوَلَّىٰ عَنْهُمْ وَقَالَ يَٰٓأَسَفَىٰ عَلَىٰ يُوسُفَ وَٱبْيَضَّتْ عَيْنَاهُ مِنَ ٱلْحُزْنِ فَهُوَ كَظِيمٌ

Dan dia (Ya'qub) berpaling dari mereka (anak-anaknya) seraya berkata: "Aduhai duka citaku terhadap Yusuf", dan kedua matanya menjadi putih karena sedih. Dia diam  menahan amarahnya (terhadap anak-anaknya)” (Q.S. Yusuf: 84) (The Qur’an, 2010)


Lalu, apakah artinya Nabi Muhammad (ﷺ) dan Nabi Yaqub a.s. adalah orang yang tidak beriman dan tidak menerima takdir Allah ﷻ ketika mereka bersedih? Kisah tersebut bisa mengingatkan kita bahwa sekuat apapun iman kita, perasaan sedih adalah perasaan yang wajar untuk kita rasakan. 


Meskipun demikian, dalam Islam, kita memiliki batasan sejauh mana kita dapat bersedih. Kita tidak boleh sampai meratapi, mengatakan hal yang tidak diridhai Allah ﷻ, dan tidak pula menyalahkan takdirNya. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadis:

حَدَّثَنَا شَيْبَانُ بْنُ فَرُّوخَ، حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ الْمُغِيرَةِ، عَنْ ثَابِتٍ الْبُنَانِيِّ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم ‏"‏ وُلِدَ لِيَ اللَّيْلَةَ غُلاَمٌ فَسَمَّيْتُهُ بِاسْمِ أَبِي إِبْرَاهِيمَ ‏"‏ ‏.‏ فَذَكَرَ الْحَدِيثَ قَالَ أَنَسٌ لَقَدْ رَأَيْتُهُ يَكِيدُ بِنَفْسِهِ بَيْنَ يَدَىْ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَدَمَعَتْ عَيْنَا رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ ‏"‏ تَدْمَعُ الْعَيْنُ وَيَحْزَنُ الْقَلْبُ وَلاَ نَقُولُ إِلاَّ مَا يَرْضَى رَبُّنَا إِنَّا بِكَ يَا إِبْرَاهِيمُ لَمَحْزُونُونَ ‏"‏ ‏.‏

Diriwayatkan oleh Anas bin Malik: Rasulullah (ﷺ) bersabda: Seorang anak lahir bagiku pada malam hari dan aku menamainya Ibrahim dengan namanya. Dia kemudian menceritakan sisa tradisinya. Anas berkata: Saya melihatnya di saat kematian di hadapan Rasulullah (ﷺ). Air mata mulai jatuh dari mata Rasulullah (ﷺ). Beliau bersabda: Mata menangis dan hati bersedih, namun kami hanya mengatakan apa yang diridhai Tuhan kami, dan kami bersedih karenamu, Ibrahim. (H.R. Abu Dawud) (Sunnah, n.d.a)


Kemudian, bersedih juga bukan berarti tidak rida akan takdir Allah ﷻ. Kita bisa bersedih bersamaan dengan menerima takdirNya. Bukan berarti ketika kita berhenti bersedih, itu artinya kita baru rida akan takdir Allah ﷻ. Begitu juga sebaliknya, bukan berarti ketika kita bersedih artinya kita tidak rida akan takdir Allah ﷻ. 


Rida sendiri adalah ketika manusia bisa menerima dan puas akan takdir Allah ﷻ. Rida bukan berarti kita bebas dari rasa sakit. Namun, ketika kita rida, kita tidak keberatan akan takdir yang telah ditetapkan Allah ﷻ meskipun takdir itu terasa menyakitkan atau menyulitkan untuk diri kita. Dengan hadirnya rida dalam diri kita, kita juga tidak akan menyalahkan Allah ﷻ akan takdir yang diberikan pada diri kita (Khalil, 2014).


Artinya, dengan rida, kita bisa merasakan ketenangan yang melebihi perasaan sakit yang kita alami. Tenang yang hadir karena kita percaya bahwa apa yang terjadi pasti ada kebaikan di baliknya. Percaya bahwa Allah ﷻ tidak akan memberikan sesuatu yang buruk untuk diri kita (Khalil, 2014).


Ajaran Islam yang mengatakan bahwa tidak boleh sedih berlebihan dan meratapi keadaan menunjukkan pentingnya regulasi kesedihan itu sendiri. Jadi, bukan berarti kita diminta untuk mensupresi emosi dengan cara menahan, menghindari, atau membuat diri mati rasa. Akan tetapi, kita perlu meregulasi setiap emosi sedih yang ada dengan cara yang tepat. Hal ini penting karena ketika kita mensupresi emosi, justru akan menyulitkan diri kita (Gaynor & Gordon 2018; Yalvaç & Gaynor, 2021). 


Kemudian, ketika kita terus berpikir akan takdir tersebut dan mempertanyakan, kita juga bisa terjebak dalam siklus ruminasi yaitu memikirkan sesuatu berulang-ulang tanpa ada penyelesaian yang adaptif. Hal ini akan membuat kita semakin sulit untuk meregulasi emosi kita (Gaynor & Gordon 2018; Yalvaç & Gaynor, 2021). Hal ini sejalan dengan bagaimana Islam mengajarkan kita untuk menerima takdir dan tidak larut dalam kesedihan.


Ditambah lagi, ketika kita tidak mampu meregulasi emosi, hal ini justru akan membuat kita dapat mengalami berbagai masalah mental, seperti depresi, borderline personality disorder (BPD), dan substance-use disorders (Berking & Wupperman, 2012). Tidak hanya itu, ketidakmampuan dalam meregulasi emosi juga dapat berkaitan dengan penyakit kronis dan fungsi fisik dapat menjadi lebih buruk (Wierenga et al., 2017).


Lalu, bagaimana cara meregulasi kesedihan yang kita alami?


Cara Meregulasi Kesedihan

Berikut adalah beberapa cara untuk mengelola kesedihan:


Menerima Emosi dan Mengelola Pikiran

Hal pertama yang bisa dilakukan adalah dengan menerima setiap emosi yang ada. Emosi merupakan bagian dari kehidupan yang tidak dapat dihilangkan (Gaynor & Gordon 2018). Setiap malam, Nabi-Nabi pun suka merasakan emosi yang bergejolak, namun mereka menerima dan membawa kesedihan yang dialami kepada Allah ﷻ. Contohnya Nabi Yaqub a.s.. Ia menangis, namun di satu sisi mengadukan kesedihannya ke Allah ﷻ SWT (Yaqeen, 2024).

إِنَّمَا أَشْكُو بَثِّي وَحُزْنِي إِلَى اللَّهِ

“Sesungguhnya hanya kepada Allah ﷻ aku mengadukan penderitaan dan kesedihanku” (QS. Yusuf: 86) (The Qur’an, 2010)


Namun, tidak berhenti dalam penerimaan dan berlarut dalam kesedihan yang ada saja. Kita perlu mengelola emosi yang berawal dari mengelola pikiran kita. Dalam Cognitive Behavioral Therapy (CBT), masalah emosi termasuk kesedihan hadir karena pikiran yang disfungsional. Ketika kita bersedih, kita mungkin memikirkan sesuatu berdasarkan keyakinan/belief kita seperti “Aku memang tidak pernah berhasil”, “Aku tidak bisa mengubah keadaan”, “Hidupku hancur setelah aku kehilangan”, “Mengapa hal ini terjadi padaku”, “Coba saja..”, dan lain sebagainya. Kita bisa memodifikasi pikiran tersebut dengan memikirkan kebenaran dan kegunaan dari pikiran tersebut. Selain itu, kita juga bisa memikirkan pikiran/pemaknaan alternatif yang membuat kita merasa lebih baik (Beck, 2011; Gaynor & Gordon 2018).


Ilmuwan Islam sejak zaman dahulu juga menegaskan bahwa pikiran akan mempengaruhi emosi kita. Maka dari itu, mengelola pikiran akan membantu kita meregulasi emosi. Salah satu pedoman kita untuk berpikir adalah dengan membaca Al-Qur’an (Yaqeen, 2020). Sebagaimana Firman Allah ﷻ yang mengatakan bahwa Al-Quran hadir untuk meringankan kesulitan hidup kita.

مَا أَنْزَلْنَا عَلَيْكَ الْقُرْآنَ لِتَشْقَىٰ

“Kami tidaklah menurunkan Al Quran ini kepadamu untuk membuatmu susah” (QS. Thaha: 2) (The Qur’an, 2010)


Memecahkan Masalah

Terkadang, kita tidak bisa sepenuhnya meredakan kesedihan ketika kita hanya menenangkan diri tanpa menyelesaikan masalah yang ada. Oleh karena itu, langkah selanjutnya yang bisa dilakukan adalah mengidentifikasi permasalahan yang membuat kita bersedih. Bagaimana cara memecahkan permasalahan tersebut?


Pertama, kita bisa mulai dengan mengenali masalah dan mengetahui bagaimana masalah tersebut memengaruhi diri kita. Selanjutnya, kita dapat memecahkan masalah dengan memikirkan beberapa potensi solusi yang ada. Terakhir, pilihlah solusi yang realistis dan dapat kita terapkan (Kobori et al., 2014; Kuswatun et al., 2021).


Selain itu, kita bisa mengingat bahwa setiap kesulitan yang sedang kita alami akan selalu ada solusi untuk mengatasinya. Lebih lanjut, sebagai seorang muslim, kita perlu meyakini bahwa Allah ﷻ tidak akan membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Hal ini akan menguatkan kita untuk tidak mudah larut dalam kesedihan dan putus asa dalam memecahkan permasalahan yang hadir dalam hidup kita. 


لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا ۚ لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ ۗ 

“Allah ﷻ tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya… ” (Q.S Al-Baqarah: 286) (The Qur’an, 2010)


Menjadwalkan Aktivitas yang Membuat Perasaan Lebih Baik

Selanjutnya, ketika kita bersedih, terkadang kita akan menarik diri dari lingkungan. Namun, saat kita tidak mencoba melakukan sesuatu untuk membuat diri merasa lebih baik, justru hal tersebut akan membuat kita semakin kesulitan. Selain itu, ketika kita tidak melakukan sebuah aktivitas, bisa saja kita menggunakan waktu kita untuk melakukan ruminasi yang akan memperburuk perasaan kita (Gaynor & Gordon 2018).


Maka dari itu, salah satu cara untuk meregulasi kesedihan adalah dengan melakukan aktivitas yang menyenangkan (Gaynor & Gordon 2018). Aktivitas yang bisa dilakukan bisa berupa hal yang kita sukai seperti berolahraga dan melakukan hobi, maupun hal-hal yang membuat kita merasa memiliki kompetensi seperti bekerja dan menciptakan sebuah karya (Beck, 2011). 


Mencari Support System

Terkadang tidak semua masalah dapat kita atasi sendiri. Sering kali kita tidak dapat berpikir jernih ketika emosi sedang tidak stabil. Akibatnya, kita tidak mampu mengendalikan pikiran dan meregulasi emosi dengan baik (Badri, 2013). Oleh karena itu, tidak ada salahnya kita meminta dukungan sosial dari orang lain, seperti keluarga atau teman yang dapat dipercaya. Terlebih lagi sebagai umat islam, kita juga bisa meyakini bahwa Allah ﷻ akan selalu ada dan tidak akan meninggalkan kita sendiri. Artinya, Allah ﷻ bisa menjadi support system utama dalam hidup kita.

لَا تَحْزَنْ إِنَّ اللَّهَ مَعَنَا ۖ

“Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah ﷻ beserta kita” (QS. At-Taubah: 40) (The Qur’an, 2010).


Dengan ini, kita dapat mendekatkan diri kepada Allah ﷻ dengan senantiasa menjalankan ibadah seperti sholat, berdoa, dan berzikir yang dapat menjadi sarana untuk mengisi kekosongan hati, menenangkan hati dan pikiran, serta memperkuat ketakwaan kepada Allah ﷻ SWT, yang pada akhirnya akan membantu kita meregulasi emosi dengan lebih baik (Kallang, 2020; Burhanuddin, 2020). Selain itu, zikir dan sholat juga ditemukan sebagai cara yang efektif untuk meningkatkan kecerdasan emosional dan mengurangi kecemasan (Soleh, 2017).

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ ۚ إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ

“Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah ﷻ beserta orang-orang yang sabar.” (Q.S Al-Baqarah: 153) (The Qur’an, 2010).


Memaknai Kesedihan dengan Nilai Islam

Terakhir, sebagai seorang muslim, kita bisa senantiasa mengingat nilai-nilai Islam dalam diri kita. Ketika sedang bersedih, mengingat ajaran-ajaran Islam mungkin dapat membantu diri kita. Salah satu contohnya adalah dengan mengingat bahwa di setiap kesedihan, selalu ada dosa yang digugurkan oleh Allah ﷻ.

وعن أبي سعيد وأبي هريرة رضي الله عنهما عن النبي صلى الله عليه وسلم قال‏:‏ ‏ "‏ما يصيب المسلم من نصب ولا وصب ولا هم ولا حزن ولا أذى ولا غم، حتى الشوكة يشاكها إلا كفر الله بها من خطاياه‏"‏ ‏(‏‏(‏متفق عليه‏)‏‏)‏ ‏.‏

'‏و‏ ‏الوصب‏ ‏':‏ المرض .‏

Diriwayatkan oleh Abu Sa’id & Abu Hurairah: Rasulullah (ﷺ) bersabda: Tidaklah seorang mukmin tertimpa ketidaknyamanan, penyakit, kecemasan, kesedihan, atau kegelisahan mental, bahkan jika tertusuk duri sekalipun, kecuali Allah akan menghapus dosa-dosanya karena kesabarannya (H.R. Bukhari & Muslim) (Sunnah, n.d.b).


Selain itu, kita juga dapat senantiasa berdoa kepada Allah ﷻ untuk meminta perlindungan dari segala jenis kesedihan yang kita rasakan.

اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ مِنَ الْهَمِّ وَالْحَزَنِ، وَالْعَجْزِ وَالْكَسَلِ، وَالْبُخْلِ وَالْجُبْنِ، وَضَلَعِ الدَّيْنِ وَغَلَبَةِ الرِّجَالِ

“Ya Allah ﷻ, aku berlindung kepada-Mu dari kesusahan dan kesedihan, lemah dan malas, kikir dan penakut, lilitan hutang dan penindasan orang.” 


Kesimpulan

Bersedih adalah bagian dari fitrah kita sebagai manusia. Ketika kita bersedih, bukan berarti kita tidak rida akan takdir yang telah ditetapkan oleh Allah ﷻ. Kita bisa bersedih dan tetap menerima takdir Allah ﷻ. Hal yang tidak tepat adalah ketika kita larut dan meratapi kesedihan terlalu lama. Maka dari itu, kita perlu belajar meregulasi kesedihan yang ada dengan berbagai cara adaptif yang bisa kita lakukan.


Wallahu a’lam bishawab.


Oleh: Ayu Friztyana Putri, S.Psi. dan Parnanda Dwiko Putra



Referensi

  • Badri, M. (2013). Abū Zayd al-Balkhī’’s sustenance of the Soul: The cognitive behavior therapy of a ninth century physician. International Institute of Islamic Thought. 

  • Beck, J. S. (2011). Cognitive behavior therapy: Basics and beyond (2nd ed.). The Guilford Press.

  • Berking, M., & Wupperman, P. (2012). Emotion Regulation and mental health. Current Opinion in Psychiatry, 25(2), 128–134. https://doi.org/10.1097/yco.0b013e3283503669 

  • Burhanuddin, B. (2020). Zikir Dan Ketenangan Jiwa (solusi islam mengatasi kegelisahan Dan Kegalauan Jiwa). Jurnal Mimbar: Media Intelektual Muslim Dan Bimbingan Rohani, 6(1), 1–25. https://doi.org/10.47435/mimbar.v6i1.371

  • EQuran. DOA Berlindung Dari Kesusahan, Kesedihan, lemah, Malas, penakut, Kikir, Lilitan Hutang Dan penguasaan orang: Equran.id - al quran digital Bahasa Indonesia. Al-Fatihah. (n.d.). https://equran.id/doa/159 

  • Doa. https://equran.id/doa/159

  • Gaynor, K., & Gordon, O. (2019). Cognitive Behavioural Therapy for Mild-to-Moderate Transdiagnostic Emotional Dysregulation. Journal of Contemporary Psychotherapy, 49(2), 71–77. https://doi.org/10.1007/s10879-018-9393-z

  • Kallang, A. (2020). Teori Untuk Memperoleh Ketenangan Hati. Al-Din: Jurnal Dakwah Dan Sosial Keagamaan, 6(1). https://doi.org/10.35673/ajdsk.v6i1.847

  • Kobori, O., Nakazato, M., Yoshinaga, N., Shiraishi, T., Takaoka, K., Nakagawa, A., Iyo, M., & Shimizu, E. (2014). Transporting cognitive behavioral therapy (CBT) and the improving access to psychological therapies (IAPT) project to Japan: Preliminary observations and service evaluation in Chiba. The Journal of Mental Health Training, Education and Practice, 9(3), 155–166. https://doi.org/10.1108/jmhtep-10-2013-0033

  • Khalil, A. (2014). Contentment, satisfaction and good-pleasure: Rida in early sufi moral psychology. Studies in Religion/Sciences Religieuses 43(3): 371–389. DOI: 10.1177/0008429814538227

  • Kuswatun, E., Nurjannah, N., & Depriansya, D. (2021). Konseling Islam Dengan pendekatan cognitive behavioural therapy (CBT) Untuk Mengatasi Kenakalan remaja [Islamic counseling with cognitive behavioral therapy (CBT) approach to overcome juvenile delinquency]. Journal of Contemporary Islamic Counselling, 1(1). https://doi.org/10.59027/jcic.v1i1.43 

  • Niedenthal, P. M. & Ric, F. (2017). Psychology of emotion (2nd ed.) Routledge.

  • Soleh, H. (2017). Do’a Dan Zikir Dalam Meningkatkan Kecerdasan Emosi. Psikis : Jurnal Psikologi Islami, 2(1). https://doi.org/10.19109/psikis.v2i1.1055

  • Sunnah. (n.d.a). Funerals (Kitab Al-Jana’iz). Sunnah. https://sunnah.com/abudawud:3126

  • Sunnah. (n.d.b). Medicine. Sunnah. https://sunnah.com/riyadussalihin:37

  • The Qur'an (Bukhara: Al-Qur'an Tajwid & Terjemah). (2010). PT Sygma Examedia Arkanleema.

  • Wierenga, K. L., Lehto, R. H., & Given, B. (2017b). Emotion regulation in chronic disease populations: An integrative review. Research and Theory for Nursing Practice, 31(3), 247–271. https://doi.org/10.1891/1541-6577.31.3.247

  • Yalvaç, E. B. K., & Gaynor, K. (2021). Emotional dysregulation in adults: The influence of rumination and negative secondary appraisals of emotion. Journal of Affective Disorders, 282, 656–661. https://doi.org/10.1016/j.jad.2020.12.194

  • Yaqeen Institute (2024, March 24). Should We Suppress Our Emotions? | Taraweeh Reflections | Dr. Omar Suleiman [Video]. YouTube. https://www.youtube.com/watch?v=57jlEoyyjHg

  • Yaqeen Institute (2020, October 2). Therapy of Emotions: How the Qur'an Provides Guidance on Controlling Our Emotions [Video]. Youtube. https://www.youtube.com/watch?v=WNdSerb47vM


201 tampilan0 komentar

Postingan Terakhir

Lihat Semua

Comentários


bottom of page