top of page

Kendali Hidup

Pernahkah kamu mengharapkan sesuatu terjadi, namun pada akhirnya tidak terjadi? Misalnya ketika kamu ingin melamar pekerjaan. Kamu telah menyiapkan banyak hal, seperti memaksimalkan IPK, kemampuan bahasa Inggris, dan memiliki beberapa pengalaman organisasi dan magang. Kamu berhasil melewati tahap administrasi, lalu kamu mempersiapkan dirimu untuk menghadapi sesi wawancara. Setelahnya, kamu merasa telah melakukan yang terbaik, namun ketika pengumuman tiba, kamu ditolak.


Bagaimana perasaan atau emosi yang kamu miliki ketika berada di posisi tersebut? Kamu mungkin akan sedih, menyesal, kecewa, marah, frustrasi, cemas, khawatir, atau berbagai emosi lain yang membuatmu tidak nyaman. Muncul juga pikiran seperti “Coba saja aku saat wawancara bisa menjawab dengan lebih baik”, “Kenapa tidak ada perusahaan yang menerima aku untuk bekerja?”, “Mungkinkah saya tidak akan mendapat pekerjaan dengan kemampuan saya ini?”. Kita menjadi cenderung berfokus pada situasi—yaitu kesalahan/kegagalan di masa lalu, hasil yang kita khawatirkan di masa depan, juga pihak eksternal lain yang dapat menentukan hasil kita. Sementara kita melupakan bahwa kita telah berusaha, yang sebenarnya itu sudah maksimal dan sesuai kapasitas kita. Hal ini juga mungkin membuat kita menjadi ragu untuk kembali mencoba melamar kerja di tempat lain.


Dichotomy of Control, Stoikisme, dan CBT (Cognitive Behavior Therapy)

Jika kita perhatikan, sebenarnya masa lalu, masa depan, dan orang lain adalah hal-hal yang berada di luar kontrol kita. Kita tidak bisa mengubah sesuatu yang sudah terlanjur terjadi. Kita juga tidak bisa mengendalikan hasil di masa depan dan orang lain sesuai keinginan kita. Seperti yang dicontohkan, ketika kita terlalu fokus pada hal tersebut, maka kita akan terganggu. Memang, menurut aliran filosofi Stoikisme, kehidupan yang lebih baik justru didapatkan dari berfokus pada hal sebaliknya—yaitu yang berada dalam kontrol. Seorang filsuf Stoikisme, Epictetus, pernah berkata:

“Kita memiliki tanggung jawab atas beberapa hal, namun ada pula hal lain yang berada di luar tanggung jawab kita….” (Enchiridion, I)
“Apa yang perlu sudah kita siapkan ketika berada di situasi ini? Pengetahuan tentang apa yang menjadi milik kita dan bukan milik kita, apa yang bisa dan tidak bisa saya lakukan…” (Discourses, I)
“…. Kita perlu melakukan yang terbaik pada hal-hal yang bisa kita kendalikan, dan membiarkan hal lainnya (yang tidak bisa dikendalikan) terjadi sebagaimana mestinya. Bagaimana hal tersebut terjadi sebagaimana mestinya? Biarkan Tuhan yang menentukan.” (Discourses, I)”

Dari pernyataan Epictetus, dapat kita sadari bahwa sebenarnya terdapat hal-hal yang kita bisa kontrol dan tidak bisa kita kontrol—atau disebut dichotomy of control. Lantas, apa yang sebenarnya berada dalam kontrol kita? Kembali mengacu pada contoh, usaha yang kita sendiri lakukan adalah hal berada dalam kontrol kita. Kemudian, menurut Epictetus, hal yang dapat kita kontrol atau memiliki kuasa untuk mengendalikan adalah penilaian (judgement), atau interpretasi kita terhadap suatu situasi. Selain itu, contoh lainnya adalah hasrat/keinginan dan opini kita (Enchiridion, 1; Pigliucci, 2017).


Konsep filosofi Stoikisme mengenai dichotomy of control juga merupakan fokus utama dari CBT (Cognitive Behavioral Therapy). Aaron T. Beck mengutip perkataan Epictetus, “Yang mengganggu kita bukanlah situasi, melainkan penilaian seseorang terhadap situasi tersebut” (Beck et al., 1979; Enchiridion, 5). Oleh karenanya, CBT memang lebih terfokus pada bagaimana memodifikasi pikiran (yang berada dalam kontrol) dibandingkan situasi (yang berada di luar kontrol) dalam membantu seseorang untuk merasa lebih baik dan berperilaku secara adaptif. Dengan kata lain, pikiran adalah “penyebab” sekaligus “penyembuh” utama dari masalah yang kita alami (Robertson, 2020).


Stoikisme dan CBT juga sama-sama menekankan pentingnya memiliki kesadaran pada pikiran dan penilaian yang dimiliki diri sendiri. Epictetus (dalam Enchiridion, 1) menyebutkan “Tanyakan pada diri sendiri, “Apakah hal ini berada dalam kontrol saya atau tidak berada dalam kontrol saya?””. Karena fokusnya pada pikiran, terapis CBT akan menanyakan kepada klien, “Apa yang terlintas di pikiranmu/benakmu saat itu?” ketika klien menceritakan situasi yang terlihat mengganggunya. Pertanyaan tersebut akan mengarahkan fokus klien kepada dunia internalnya, yang selama ini berjalan begitu otomatis dan tidak terjangkau oleh kesadarannya. Lebih jauh, terapis CBT juga akan membuat klien menyadari berbagai aspek psikologis lainnya, seperti emosi yang dirasa, sensasi fisik yang muncul, serta keputusan perilaku apa yang diambil. Jika kesadaran klien terhadap berbagai aspek psikologisnya meningkat, maka semakin mudah dia mengidentifikasi serta memodifikasi pikiran yang muncul dalam benaknya.


Mari kita kembali ulas tentang contoh situasi melamar kerja tadi. Prinsip dan konsep dari Stoikisme dan CBT dapat diingat untuk mengatasi situasi kegagalan tersebut. Pertama, bisa kita pisahkan hal yang berada di dalam kontrol dan di luar kontrol, kita bisa membuat tabel seperti ini:



Kedua, terkait penyesalan karena situasi kegagalan di masa lalu, kita juga bisa mengubah interpretasi atau pemikiran kita dengan “Saya tidak bisa mengontrol keputusan rekruter.”, “Mungkin saya bukan orang yang paling tepat di posisi itu, saya akan lebih baik jika di posisi/perusahaan lain.”. Atau terkait kecemasan atau kekhawatiran tidak akan mendapatkan pekerjaan, pikiran yang lebih membantu dapat seperti “Karena pernah gagal, saya jadi tahu apa yang masih bisa saya perbaiki dan lebih persiapkan lagi untuk lamaran saya selanjutnya.” “Yang terpenting adalah usaha saya. Jika saya fokus pada usaha saya dan terus berjuang, saya akan mendapatkan pekerjaan yang saya inginkan.”.


Bisa kita bayangkan, ketika memiliki cara pandang seperti yang baru saja disebutkan, kita tentu akan merasa lebih baik secara emosi, optimis, serta tetap produktif melamar pekerjaan di tempat lain. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa memahami dan menerapkan dichotomy of control memberikan banyak manfaat. Mengutip dari beberapa sumber (LeBon, 2023; Pigliucci, 2017; Robertson, 2020), manfaatnya antara lain:

  1. Menjaga kesehatan emosional. Kita dapat menjadi individu yang lebih mudah mengendalikan emosi dan menghemat energi. Terus-menerus cemas (karena masa depan yang berada di luar kendali) atau marah dan frustrasi (karena berharap bisa mengontrol orang lain) tentu akan membuat kita kehabisan energi.

  2. Dapat lebih puas akan hidup, resilien (mudah bangkit), dan berkembang maksimal. Dengan bisa fokus pada hal yang bisa dikontrol, meskipun menghadapi tantangan dan kegagalan, kita bisa tetap puas akan usaha yang dilakukan. Kita juga akan mudah bangkit dan terus berkembang, dengan fokus mengevaluasi apa yang bisa dimaksimalkan kembali pada hal-hal yang bisa kita kontrol pada kesempatan berikutnya.

  3. Dapat optimis dan meningkatkan peluang untuk berada di situasi yang lebih baik. Dalam CBT, perilaku (yang juga ditentukan dari bagaimana kita menginterpretasikan situasi) yang kita tampilkan juga memiliki potensi untuk mengubah situasi di kemudian hari (Beck, 2021). Kembali dikaitkan dengan contoh, dengan terus mencoba melamar kerja di tempat lain, lebih besar kemungkinan kita untuk pada akhirnya mendapatkan pekerjaan. Atau contoh lainnya ketika kita terlahir dengan kecenderungan genetik dan tumbuh di lingkungan (dari adat atau ketersediaan makanan) yang membuat kita mudah gemuk. Kita tidak hanya pasrah dengan hal tersebut dan fokus dengan hal yang bisa kita kontrol, yaitu dengan mengubah gaya hidup (berolahraga, mengatur asupan makanan). Kita akan bisa optimis, bahwa kita bisa memiliki tubuh yang ideal dan sehat.

  4. Mengajarkan untuk dapat menerima takdir. Misalnya ketika kita mengalami kehilangan atau kedukaan. Kita bisa menyadari bahwa hal-hal maupun orang-orang di dunia ini bukanlah milik kita, dan kepergian mereka juga di luar kendali kita. Namun, meskipun semua hal bukan milik kita, kita masih memiliki kontrol untuk menikmati waktu bersama, memedulikan, dan menjaga mereka.


Bagaimana Konsep Dichotomy of Control dari Perspektif Islam?

Kita mungkin sering mendengar bahwa seorang muslim hendaknya berserah diri atau terus berpasrah kepada Allah ﷻ. Sebab, Allah ﷻ disebutkan merupakan sebaik-baiknya perencana. Dengan kata lain, Islam nampaknya lebih menekankan pada kontrol yang berada di luar diri, yaitu kuasa Allah ﷻ, dibandingkan kontrol dalam diri (Cucchi, 2022).


Akan tetapi, perlu juga kita ingat bahwa Allah ﷻ justru sangat mengajarkan pentingnya berusaha terlebih dahulu (ikhtiar) sebagai yang berada dalam kontrol, barulah kemudian berserah (tawakal) kepada takdir Allah ﷻ yang berada di luar kontrol. Oleh karena itu, dari sini, kita bisa melihat bagaimana Islam sebenarnya sejalan dengan dichotomy of control dari Stoikisme dan CBT. Hal ini karena ketiganya sama-sama menekankan semacam “keseimbangan”—berfokus pada hal yang bisa dikontrol dan menerima atau ”membiarkan” hal yang tidak bisa kontrol terjadi sebagaimana mestinya.


Manusia juga diciptakan Allah ﷻ untuk memiliki kehendak. Sebagai contoh, dalam menjalani keseharian kita, Islam juga menjelaskan bahwa terdapat godaan setan. Mufti Menk, seorang ulama dari Zimbabwe, menjelaskan bahwa godaan setan itu akan selalu hadir karena mereka semenjak dahulu berjanji untuk selalu menggoda manusia. Akan tetapi, manusia sebenarnya memiliki kapasitas untuk mengontrol dan menjaga diri dengan memperkuat ibadah dan keimanannya (DawahTeam, 2020). Seperti ketika setan menggoda kita untuk menjadi putus asa sehingga kita tidak lagi berusaha, kita memiliki pilihan lain untuk menjaga dan mengontrol diri dari godaan itu. Kita bisa memilih untuk menguatkan diri untuk selalu di jalan yang benar; tetap berusaha, beribadah, dan memercayai bahwa Allah ﷻ akan membantu kita, sampai kita akan mendapatkan rahmat dan surga-Nya.

وَاَنۡ لَّيۡسَ لِلۡاِنۡسَانِ اِلَّا مَا سَعٰىۙ‏ (٣٩) وَاَنَّ سَعۡيَهٗ سَوۡفَ يُرٰى‏ (٤٠) ثُمَّ يُجۡزٰٮهُ الۡجَزَآءَ الۡاَوۡفٰىۙ‏ (٤١) “Dan bahwa manusia hanya memperoleh apa yang telah diusahakannya, dan sesungguhnya usahanya itu kelak akan diperlihatkan (kepadanya), kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna.” (QS. An-Najm: 39-41) (The Qur'an, 2010)
“…إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا۟ مَا بِأَنفُسِهِمْ ۗ…” “…Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sampai mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri…” (QS. Ar-Ra’d: 11) (The Qur'an, 2010)
وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ ۚ وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى ٱللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُۥٓ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ بَٰلِغُ أَمْرِهِۦ ۚ قَدْ جَعَلَ ٱللَّهُ لِكُلِّ شَىْءٍ قَدْرًا "Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu." (QS. At-Thalaq: 3) (The Qur'an, 2010)

Ayat-ayat di atas menunjukkan bagaimana Allah ﷻ sangat menghargai usaha kita, meskipun balasan (hasil, takdir, dan hadiah di akhirat) adalah pemberian dan rahmat dari Allah ﷻ. Mengutip pula dari ceramah Ustadz Felix Siauw (2023), bahwa “Mentalitas seorang muslim itu adalah individu yang menguatkan pikirannya sendiri, takdir maupun situasi itu tidak perlu terlalu dipedulikan. Ujian hidup ini perihal sebuah soal, dan diri kita adalah jawabannya, sehingga mau sesulit apapun situasi kita, kita bisa bertahan dan berkembang.”.


Dengan demikian, kita bisa memaknai pula bahwa Allah ﷻ justru mencintai hambanya yang tidak langsung berpasrah dan tetap berusaha meraih takdir yang diberikan-Nya. Pada ceramah Buya Yahya (2021), ditafsirkan Al-Qur’an surat Ar-Ra'd ayat 11 yang menjelaskan bagaimana Allah ﷻ tidak akan mengubah keadaan hamba-Nya tanpa Hamba-Nya berusaha mengubah diri sendiri. Contoh sederhananya ketika kita lapar, Allah ﷻ tidak akan mengenyangkan kita jika kita tidak mengambil nasi. Hal ini sama seperti Allah ﷻ tidak akan membuat kita diterima pekerjaan impian kita jika kita tidak menyiapkan kapabilitas diri agar diterima. Meskipun dengan usaha-usaha tersebut manusia mungkin tetap gagal, manusia akan dinaikkan derajatnya karena telah berusaha dan usaha itu sudah bernilai ibadah. Sebaliknya, orang-orang yang merugi adalah mereka yang tidak mau berusaha. Tidak hanya berhenti di situ, seorang muslim juga sebenarnya sudah dilengkapi dengan berbagai rujukan untuk “berusaha” sesuai kapasitas dia. Banyak sekali ayat-ayat Al-Qur’an, hadist/As-Sunnah, serta sirah Nabi dan sahabatnya tentang apa dan bagaimana bersikap dan bertindak ketika menghadapi berbagai macam situasi hidup.


Ada pula hikmah lainnya yang bisa kita petik. Allah ﷻ sebenarnya memberikan bantuan dan kemurahhatian-Nya agar kita tidak merasa cemas. Dengan mempercayai Allah ﷻ akan memberikan ganjaran sesuai dengan usaha kita, tentu rasanya kita akan lebih damai dalam menerima hal-hal yang tidak bisa dikontrol. Selain itu, seorang muslim dapat lebih mudah menerapkan dichotomy of control pada caranya berpikir atau memandang situasi yang sangat sulit. Misalnya saja ketika seseorang harus berhadapan dengan orang tua kandung yang toxic. Seorang muslim bisa diarahkan untuk menyadari bahwa ia tidak bisa memilih siapa orang tua yang akan melahirkan dan membesarkannya. Semua itu adalah hal prerogatif dari Allah ﷻ yang tidak bisa diganggu gugat. Meskipun tentunya berat dalam menjalaninya, pemberian dan takdir Allah ﷻ Yang Maha Mengetahui segala sesuatunya adalah yang terbaik. Pemberian Allah ﷻ tentu memiliki maksud dan hikmahnya tersendiri. Bahkan, atas kehendaknya, Allah ﷻ telah menjanjikan rezeki yang tidak kita duga, asalkan kita bertawakal dan sabar (Andirja, 2021).


Always do your best, and let Allahdo the rest.


Oleh Ayu Friztyana, S.Psi dan Raissa Fatikha, S.Psi.

Referensi

  • Andirja, F. (2021). Tafsir surat At-Thalaq ayat-3. Bekalislam. https://bekalislam.firanda.com/10022-tafsir-surat-at-thalaq-ayat-3.html

  • Beck, J. S. (2011). Cognitive behavior therapy: Basics and beyond (2nd. Ed.). The Guilford Press.

  • Beck, J. S. (2021). Cognitive behavior therapy: Basics and beyond (3rd ed.). The Guilford Press.

  • Cucchi, A. (2022). Integrating cognitive behavioural and Islamic principles in psychology and psychotherapy: A narrative review. Journal of Religion and Health, 61(6), 4849–4870. https://doi.org/10.1007/s10943-022-01576-8

  • DawahTeam. (2020). Why do i feel tired, lazy and unmotivated all the time? - Mufti Menk [Video]. https://www.youtube.com/watch?v=yl0slr9IdOc

  • Epictetus. (2008). Discourses and selected writings (R. Dobbin (ed.)). Penguin Classics.

  • LeBon, T. (2023, April 23). The stoic dichotomy of control in practice.

  • https://www.psychologytoday.com/us/blog/365-ways-to-be-more-stoic/202304/the-stoic-dichotomy-of-control-in-practice

  • Pigliucci, M. (2017). How to be a stoic: Ancient wisdom for modern living. Basic Books.

  • Robertson, D. (2020). The philosophy of cognitive-behavioural therapy (CBT) (2nd Ed.). Routledge.

  • Siauw, F. (2023, May 17). Kajian ahad pagi: Yang penting yakin [Video]. Youtube. https://www.youtube.com/watch?v=vGb7XJQ9hjk

  • The Qur'an (Bukhara: Al-Qur'an Tajwid & Terjemah). (2010). PT Sygma Examedia Arkanleema.

  • Yahya, B (2021, October 10). QS ar-ra'd 8-13: Dua malaikat penjaga manusia | Tafsir al-qur'an | Buya yahya | 02 oktober 2021 [Video]. **Youtube. https://www.youtube.com/watch?v=VB5PFZJ8axI



192 tampilan1 komentar

Postingan Terakhir

Lihat Semua
bottom of page