Cognitive Behavioral Therapy, atau biasa disingkat CBT, merupakan salah satu metode psikoterapi yang banyak dikaji dan mendapatkan pembuktian secara ilmiah. Saya sebagai seorang psikolog klinis memang secara khusus dan mendalam mempelajari satu metode ini saja. Selama mempraktikan metode tersebut, saya menemukan banyak persamaan nilai antara CBT dan nilai-nilai agama yang saya anut, Islam. Salah satu yang paling besar adalah dalam intervensi kognitif.
Menurut CBT “Just because you think something, doesn’t necessarily means it’s true”, sehingga CBT akan sangat terfokus membuat klien menyadari dan belajar mengubah cara berpikirnya. Dalam terapi, klien akan dilatih untuk terbiasa aktif melakukan pertimbangan, analisis, mengingat, dan lain sebagainya. Lebih lanjut, sebagai seorang muslim kita pasti sangat sensitif terhadap ayat Al-Qur’an yang berbunyi “Tidaklah kamu berpikir”, “Tidaklah kamu mengambil pelajaran”, ”Tidaklah kamu mengingat”, dan yang sejenis lainnya. Total kurang lebih ada ratusan ayat di mana Allah ﷻ menyuruh hambanya untuk berpikir dan melakukan aktivitas intelektual lainnya (seperti tadabbur, tafakkur, tawassum, dan masih banyak lagi). Hal ini disebabkan Allah ﷻ mengetahui persis bahwa sumber masalah bagi manusia adalah cara berpikirnya sendiri. Masalah dalam hal ini tidak terkotakkan dalam aspek psikologis, tapi juga perihal keimanan.
Mengubah cara berpikir bukanlah perkara mudah. CBT menjelaskan ketika manusia sudah memiliki cara berpikir atau belief system tertentu, maka ia akan menggunakannya sebagai kacamata dalam melihat dunia. Hal ini membuat pada beberapa orang perubahan belief system itu menjadi sulit. Ingatkah ada teman kita yang sangat perfectionist dalam bekerja? Sampai-sampai ia menjadi sangat cemas karenanya. Meskipun sudah kita beri masukan, namun ia masih tetap kembali dalam lingkaran tersebut. Bahkan meskipun sudah ada bukti jelas dan faktual di depan matanya pun, ia masih tetap kembali dalam siklus perilakunya. Lalu apa yang harus dilakukan? Jawaban singkatnya ia perlu terlatih untuk mengidentifikasi apa pemaknaannya terkait tugas dalam bekerja? Apa ketakutan yang ia percayai akan terjadi? Bagaimana ia mempersepsikan kemampuan / cara dia menghadapi masalah? dan lain sebagainya. Selanjutnya, ia perlu terlatih untuk merespons berbagai pikiran tersebut. Ia mulai dengan belajar mempertimbangkan validitas dari pikirannya, seberapa mungkin ketakutan itu akan benar-benar terjadi? Apa buktinya? Ada bukti sebaliknya? Keterampilan ini bukanlah hal yang mudah untuk dikuasai, terkadang mereka membutuhkan seorang partner dialog yang paham bagaimana membimbingnya sedikit demi sedikit.
Tengoklah penggalan cerita dari Sirah Nabi Muhammad ﷺ : Umar bin Khatab Radhiyallahu ‘anhu terlihat sangat emosional ketika mendengar berita kematian Rasulullah ﷺ. Bahkan ia menghunuskan pedang kepada orang yang mengatakan hal tersebut. Umar bin Khatab Radhiyallahu ‘anhu menganggap Rasulullah ﷺ tidak meninggal, melainkan hanya sedang menemui Tuhannya seperti yang pernah terjadi pada Nabi Musa Alaihissalam dan akan kembali dalam beberapa hari. Umar bin Khatab Radhiyallahu ‘anhu tetap meledak-ledak sampai ia ditegur oleh sahabat lain, yaitu Abu Bakr Ash-Shidiq Radhiyallahu ‘anhu yang mengucapkan Al-Qur’an Surat Ali Imran ayat 144
وَمَا مُحَمَّدٌ اِلَّا رَسُوْلٌۚ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ ۗ اَفَا۟ىِٕنْ مَّاتَ اَوْ قُتِلَ انْقَلَبْتُمْ عَلٰٓى اَعْقَابِكُمْ ۗ وَمَنْ يَّنْقَلِبْ عَلٰى عَقِبَيْهِ فَلَنْ يَّضُرَّ اللّٰهَ شَيْـًٔا ۗ
وَسَيَجْزِى اللّٰهُ الشّٰكِرِيْنَ
"Dan Muhammad hanyalah seorang Rasul; sebelumnya telah berlalu beberapa rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa berbalik ke belakang, maka ia tidak akan merugikan Allah sedikit pun. Allah akan memberi balasan kepada orang yang bersyukur.”
Umar bin Khatab Radhiyallahu ‘anhu mengungkapkan, pada saat itu ia seperti baru pertama kali mendengar ayat tersebut. Dan seketika ia jatuh tersungkur terduduk dan menangis, karena harus menerima kenyataan kekasih yang dicintainya sudah meninggal dunia.
Penggalan kisah diatas menggambarkan bagaimana partner dialog yang memiliki satu nilai ( value ) yang sama akan sangat membantu untuk mengubah persepsi / cara berpikir. Kemudian, ketika pemaknaan kita berubah, maka reaksi emosi dan perilaku pun akan mengikuti. Akan tetapi, dalam terapi CBT konvensional tentunya kita tidak akan secara default mengarahkan diskusi kepada Qalallah Wa Qala Rasulullah ( Firman Allah ﷻ dan Sunnah Rasulullah Muhammad ﷺ ). Strategi yang digunakan sangatlah bergantung dengan konseptualisasi kasus per individu klien. Ada beberapa klien yang datang dan beragama islam, namun tidak pernah shalat dan mengaji. Tapi ada juga klien yang memiliki religious belief yang sangat mendalam, pengetahuan agama yang luas, namun ia memiliki kesulitan psikologis di area tertentu. Jika karakter kliennya seperti itu dan terbuka untuk membahas dari sisi agama, akan sangat menguntungkan jika terapisnya juga memahami nilai-nilai agamanya.
Salah seorang klien yang pernah saya tangani memiliki OCD ( Obsessive Compulsive Disorder ) yang membuatnya tenggelam dalam rasa cemas yang intens. Ia selalu merasa belum “tuntas” dalam beristinja, sehingga ia harus menghabiskan banyak waktu di kamar mandi sampai merasa “yakin” sudah bersih. Ia juga memiliki kecemasan bacaan shalatnya tidak sempurna, sehingga ia perlu mengulang berkali-kali dan terkadang menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk sekali shalat saja. Pengetahuan saya tentang najis, bersuci, dan ritual ibadah dalam agama Islam membuat saya bisa menggali data yang penting, sehingga membuat konseptualisasi kasus menjadi lebih detail.
Diskusi kita juga sampai pada ketakutannya “Saya akan masuk neraka” yang pada satu titik guided discovery saya bertanya “Pernahkah kamu memiliki pikiran atau bayangan akan masuk Surga?”. Klien saya menjawab “Tidak pernah..”. Saya coba mengarahkan lebih dalam “Dari apa yang kamu pelajari di Quran, adakah yang pasti masuk Neraka?”. Klien menjawab sambil menyebutkan salah satu tokoh antagonis fenomenal, yaitu Firaun. Saya kembali bertanya “Apakah kamu pernah mengaku sebagai Tuhan?”. Dia menjawab “Gak pernah-lah mas..”. Saya mencoba membawa diskusi lebih santai “Alhamdulillah kalau begitu, tapi pernah kepikiran gak kamu, sejahat itu Firaun tapi dia masih di sayang oleh Allah?”. Dia merespons dengan bingung “Masa sih mas? Saya gak kepikiran..”. Saya mencoba menghadirkan bukti “Untuk Firaun seorang dikirim berapa Nabi?”. Klien menjawab “Oh iya Mas, benar..!! Ada dua, Nabi Musa dan Harun..!”. Saya mencoba mengarahkan ke sebuah kesimpulan “So.. Firaun yang se-esktrim itu masih dikirim dua Nabi untuk bisa kembali ke jalan yang lurus, kira-kira kamu yang tidak pernah mengaku sebagai Tuhan apakah kesempatan masuk Surganya lebih kecil dibanding Firaun?”. Diskusi kemudian berlanjut dengan contoh-contoh lain yang relevan dengan pemahaman klien.
Mengelaborasi nilai Islam ( Islamic Values ) dan CBT terkadang tidak melulu se-technical itu. Saya seringkali menggunakan contoh yang lebih sederhana, seperti kegiatan puasa di bulan Ramadan. Fenomena yang saya angkat adalah perasaan gelisah dan tidak nyaman karena lapar dan haus di siang hari. Perasaan tersebut akan terasa intens diminggu awal ( terlebih kalau kita tidak terbiasa puasa sunnah ), namun lambat laun intensitasnya akan semakin berkurang. Biasanya di minggu kedua atau ketiga tubuh kita sudah beradaptasi dan bisa beraktivitas seperti biasa saja. Dinamika tersebut yang saya edukasi kepada klien, terutama ketika klien merasa berat untuk mengubah kebiasaan lama dan menggantinya dengan perilaku baru yang lebih adaptif. Salah satu pertanyaan penutupnya adalah “Mungkinkah rasa beratmu untuk mengubah perilakumu akan seperti rasa lapar dibulan Ramadhan? Awalnya intens, tapi lambat laun menjadi tidak begitu signifikan ?.”
Lebih jauh lagi, terkadang bahkan saya tidak perlu mengaitkan dan menyebutkan secara lisan bahwa yang sedang klien kerjakan sekarang sudah mengarah kepada Islamic Value. Terutama jika klien belum memiliki religious belief yang mendalam. Misalnya, ada seorang klien perempuan yang datang mengeluhkan sikap suaminya dan mengharapkan pasangannya tersebut berubah. Hal tersebut sulit dicapai, karena suaminya tidak bersedia mengikuti terapi. Saya mengarahkan klien untuk fokus pada diri sendiri dengan mencoba mengubah sikapnya terhadap suami, dibanding hanya mengharapkan orang lain untuk berubah. Dalam Islam, kita tidak akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah ﷻ untuk apa yang diperbuat orang lain. Kita akan ditanya mengenai apa yang kita buat? Keputusan apa yang kita ambil?. Akan tetapi, jika klien bisa mengaitkan dengan Islamic Values secara langsung dapat membuatnya menjadi lebih bermakna. Setelah klien mengubah fokus kepada diri sendiri dengan mencari tahu apa saja hal yang masih ia bisa lakukan, ia juga diarahkan kepada besarnya pahala bersabar, terijabahnya doa orang yang terdzolimi, bahwa tidak mungkin ada sesuatu rasa tidak nyaman yang menimpa seorang hamba kecuali untuk menggugurkan dosa-dosanya, dan lain sebagainya.
Islam is considered to be a way of life rather than simply an organized religion due to its comprehensive nature. Guidance is provided for many aspects of life including the spiritual, family, social, political, and economic. Because spirituality and religion are often pervasive and central in the lives of Muslims, it would be valuable to integrate this aspect into the process of psychotherapy. This is particularly true for Muslim clients who are more religiously committed. (Hamdan, 2008)
Agama Islam adalah way of life yang memang sudah disiapkan untuk umat akhir zaman sampai kiamat nanti. Dengan menjadikan nilai-nilainya sebagai sebuah arah atau direction, insya Allah akan sangat powerful. Value sendiri adalah “way of doing and being” (atau prinsip untuk melakukan sesuatu dan kualitas yang diinginkan individu dari dirinya) yang dipilih oleh seseorang. Ketika seseorang sudah memahami apa yang ia ingin lakukan dan kualitas apa yang ia ingin miliki, maka teknik CBT akan membantunya lebih cepat improve. Jikapun, ia belum menjadikan Islamic Values sebagai arah hidupnya, tidaklah mengapa. Terapis bisa tetap menggunakannya tanpa harus secara gamblang menyebutkannya. Solusi yang diberikan Sang Pencipta manusia pastinya sudah sangat sesuai dengan karakter makhluknya tersebut.
Oleh Firman Ramdhani, M.Psi., Psikolog dan Raissa Fatikha, S.Psi.
Comentarios