top of page

Belajar Mencintai dari Sang Teladan

​​بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Bismillahirrahmanirrahim


Jika berbicara tentang cinta, mungkin yang lebih dulu terpikirkan di benak kita adalah kisah cinta antara Romeo dan Juliet. Kisah ketika dua orang insan yang saling mencintai dengan tulus dan penuh perjuangan tanpa penghakiman terhadap latar belakang keluarga masing-masing. Tentunya, ada pembelajaran-pembelajaran yang dapat kita ambil dalam setiap kisah kehidupan. Namun, sudahkah kita belajar bagaimana cara mencintai seperti suri tauladan kita, Rasulullah ﷺ dengan Khadijah r.a.?


Awal Kisah Pertemuan Rasulullah dan Khadijah r.a.

Kisah awal pertemuan antara Rasulullah dan Khadijah r.a. dimulai bertahun-tahun sebelum turunnya wahyu kenabian. Kala itu, Khadijah r.a. sedang mencari seseorang yang bisa diamanahkan sebagai utusan untuk membersamai kafilah dagang ke Syam. Muhammad ﷺ dikenal sebagai seorang yang memiliki akhlak yang baik, terlebih daripada pemuda-pemuda sebaya lainnya yang sibuk berfoya-foya. Akhirnya, Khadijah r.a. meminta Muhammad ﷺ untuk menjadi utusannya dan Muhammad ﷺ pun menerimanya. Setelah pergi ke Syam, kafilah dagang tersebut kembali dengan untung yang berlipat-lipat dan membuat Khadijah r.a. gembira karenanya. Tetapi, ada hal yang mengganggu Khadijah r.a., yakni bagaimana Muhammad ﷺ selalu muncul dalam pikiran dan perasaannya. Pertemuan dengan Muhammad ﷺ telah membuat kesan yang mendalam bagi Khadijah r.a. dan menumbuhkan kekaguman pada pemuda tersebut. Walaupun umur mereka berbeda, yakni Khadijah r.a. 15 tahun lebih tua, tetapi Khadijah r.a. juga sosok wanita yang mulia di kalangan kaumnya saat itu. Ia digelari sebagai wanita suci karena walaupun sudah dua kali menikah, tetapi banyak lelaki yang meminangnya dan ditolak semua pinangan tersebut. Singkat cerita, akhirnya Khadijah r.a. meminang langsung Muhammad ﷺ dan Muhammad ﷺ pun menerimanya. 



Belajar dari Teladan Kita

Dalam bahtera rumah tangga kehidupan mereka, banyak pembelajaran yang dapat kita petik tentang bagaimana interaksi di antara Muhammad ﷺ dan Khadijah r.a.:


1. Muhammad ﷺ Menjaga Perasaan Khadijah r.a.

Setelah beberapa lama mereka menikah, Khadijah r.a. dikaruniai oleh Allah  seorang anak. Saat itu, tradisi Kaum Quraisy akan merasa hina apabila anak yang lahir merupakan seorang perempuan. Tidak dipungkiri, Muhammad ﷺ pun ingin memiliki banyak anak laki-laki sebagaimana kebanyakan lelaki di masa tersebut. Akan tetapi, ketika mengetahui anaknya yang lahir adalah perempuan, Muhammad ﷺ segera mengesampingkan perasaannya. Ia memikirkan rasa duka Khadijah r.a. yang lebih menyakitkan karena mendapati anaknya perempuan daripada karena proses persalinan. Ketika kedua insan itu bertemu, mereka saling tersenyum satu sama lain dan perasaan bahagia menghiasi rumah tangga mereka bersama dengan putri baru mereka yang diberi nama Fatimah. 


Bagaimana Muhammad ﷺ mampu memikirkan Khadijah r.a. menunjukkan kualitas seorang suami yang mampu berempati terhadap kondisi istrinya. Muhammad ﷺ mampu memposisikan diri di posisi istrinya dan turut merasakan emosi yang istrinya rasakan. Empati membuat masing-masing pihak dalam suatu hubungan merasa dimengerti (Gottman & Silver, 2012). Kita juga dapat melihat bahwa Muhammad ﷺ juga tidak menunjukkan gaya berbicara yang berisiko membuat hubungan menjadi tidak harmonis, yaitu tidak mengkritik maupun merendahkan istrinya (Gottman & Silver, 2015). Sebagai konsekuensinya, seperti yang ditunjukkan dari hubungan Nabi Muhammad ﷺ dan Khadijah r.a., setiap pasangan bisa semakin mudah untuk merasa bahwa mereka berada dalam “satu tim” dan tidak merasa sendirian (Gottman & Silver, 2012). 


Dalam Buku yang berjudul “Khadijah r.a. Cinta Sejati Rasulullah” juga dituliskan bahwa Muhammad ﷺ tidak pernah memaksakan kehendaknya kepada Khadijah r.a.. Ia selalu bermusyawarah dengan Khadijah r.a. dalam urusan-urusan yang mereka tangani bersama, menjadi pendengar yang baik dan penuh perhatian, serta tidak pernah mengecewakan atau menolak permintaan istrinya.


Perbedaan pendapat dan perspektif serta konflik adalah hal yang wajar terjadi pada sebuah hubungan (Beck, 1989). Sebab, dua orang—dengan latar belakang dan sejarah hidupnya yang membentuk keyakinan tentang diri, orang lain, dan dunia yang unik—saling bertemu. Kemudian, keyakinan tersebut memengaruhi bagaimana pendapat dan cara pandang seseorang terhadap suatu situasi dan permasalahan. Meskipun perbedaan perspektif dapat memicu terjadinya konflik, Muhammad ﷺ dan Khadijah r.a. mampu mencegahnya dengan saling berkomunikasi, mendengar, dan menerima pendapat masing-masing. Keduanya mampu untuk mengizinkan diri masing-masing untuk saling memengaruhi satu sama lain—yang mana merupakan salah satu kunci untuk menjaga hubungan pernikahan yang positif (Gottman & Silver, 2012). 


2. Khadijah r.a. Menghormati Keputusan Muhammad ﷺ

Suatu ketika, Utbah dan Utaibah, anak dari Abu Lahab dan Ummu Jamil, datang untuk melamar kedua putri Muhammad ﷺ. Khadijah r.a. tidak melihat ada hal buruk pada Utbah dan Utaibah, akan tetapi ia khawatir karena mereka berdua di bawah kekuasaan ibu mereka yang memiliki karakter yang kurang baik. Khadijah r.a. menanyakan pendapat kedua putrinya terhadap lamaran tersebut. Jawaban mereka adalah menyerahkan persoalan tersebut kepada ayah mereka.  Pada akhirnya, Muhammad ﷺ menerima lamaran kedua lelaki tersebut. Walaupun Khadijah r.a. merasa enggan menerima lamaran tersebut, ia tetap menghormati keputusan suaminya dan berprasangka baik bahwa Allah  lah yang akan menjaga dan membimbing keluarga mereka. 


Penerimaan Khadijah r.a. terhadap keputusan suaminya, yang sebenarnya berlawanan dengan harapannya, menunjukkan bagaimana ia mampu bersikap secara fleksibel dan tidak memaksakan kehendak. Sebaliknya, jika Khadijah r.a. berkutat dengan aturan yang bisa jadi berbentuk “Seharusnya anak saya menikah dengan seseorang yang memiliki keluarga yang baik” atau “Seharusnya pendapat saya lebih dipentingkan”, konflik dengan Nabi Muhammad ﷺ bisa saja terjadi (Beck, 1989). 


Sikap Khadijah r.a. yang terbuka juga menunjukkan bagaimana hubungannya dengan Muhammad ﷺ telah dilandasi oleh kepercayaan (trust) dan rasa hormat (respect) terhadap suaminya. Kepercayaan dan saling menghargai pada hubungan Muhammad ﷺ dan Khadijah r.a. merupakan hal yang sewajarnya berkembang dengan subur. Hal tersebut dipupuk oleh bagaimana keduanya saling mampu berempati dan komunikatif dengan satu sama lain (Games, 2021). 


3. Khadijah r.a. Menjadi Sosok Istri yang Peka dan Senantiasa Mendukung Rasulullah

Saat itu, Rasulullah baru saja kembali setelah mendapatkan wahyu pertama melalui Jibril. Wajah Rasulullah tegang dan tubuhnya gemetar ketakutan sambil berkata, “Selimuti aku! Selimuti aku!”. Khadijah r.a. memeluknya dengan lembut sehingga Rasulullah merasa lebih tenang daripada sebelumnya. Beliau kemudian menceritakan bagaimana ia bertemu dengan sosok Jibril dan khawatir bila itu merupakan ilusi atau tanda-tanda “kegilaan” yang terjadi kepadanya. Tetapi, Khadijah r.a. sambil memeluknya sambil berkata,


Tenang. Demi Allah, Allah tidak akan menghinakanmu selama-lamanya. Sebab engkau terus-menerus menyambung tali silaturrahim, selalu berkata jujur, senantiasa menunaikan amanah, dan suka menolong orang-orang yang sedang kesusahan”. 


Demikian kata-kata Khadijah r.a. menyebutkan perilaku baik yang dilakukan Rasulullah ﷺ untuk menunjukkan kepercayaannya terhadap suaminya serta memantapkan hati Rasulullah ﷺ. Sebagai dampaknya, Rasulullah ﷺ pun menjadi lebih tenang karenanya. Sebagaimana yang dilakukan Nabi Muhammad ﷺ terhadap istrinya yang baru saja melahirkan Fatimah, Khadijah r.a. juga mampu berempati dengan ketakutan yang dialami oleh suaminya. Dengan empati, Khadijah r.a. menangkap dengan tepat apa yang Nabi Muhammad ﷺ butuhkan (Verhofstadt et al., 2019), yaitu dukungan emosional yang hangat dan tidak meremehkan ketakutan yang suaminya rasakan. Khadijah r.a. mengingatkan Nabi Muhammad ﷺ akan kualitas positif yang dimiliki agar ia bisa merasa lebih tenang karenanya. Selain itu, Khadijah r.a. juga membantu suaminya untuk mengunjungi pamannya, Waraqah bin Naufal, untuk mendapatkan pencerahan dan mendapatkan solusi untuk “permasalahan” yang dimilikinya. Dengan demikian, dapat kita sebut bahwa Khadijah r.a. mampu menjadi sumber dukungan sosial yang bermakna bagi suaminya tercinta, Nabi Muhammad ﷺ. 


Oleh: Hafia Wafda & Raissa Fatikha, S.Psi. 


Referensi

  • Beck, A. T. (1989). Love is never enough: How couples can overcome misunderstandings, resolve conflicts, and solve relationship problems through cognitive therapy (1st ed.). Harper Perennial.

  • Games, G. (2021). The deeper meaning of trust. The Gottman Institute. https://www.gottman.com/blog/the-deeper-meaning-of-trust/

  • Gottman, J. G., & Silver, N. (2015). The seven principles for making marriage work (2nd ed.).

  • Harmony.Verhofstadt, L., Devoldre, I., Buysse, A., Stevens, M., Hinnekens, C., Ickes, W., & Davis, M. (2016). The role of cognitive and affective empathy in spouses’ support interactions: An observational study. PLoS ONE, 11(2), 1–18. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0149944

  • Gottman, J., & Silver, N. (2012). What makes love last? How to build trust and avoid betrayal. Simon & Schuster.

  • Katsir, I. (2006). Sirah Nabawiyah. Beirut: Darul Fikr.

  • Mun’im. (2020). Khadijah Cinta Sejati Rasulullah. Republika Penerbit.


24 tampilan0 komentar

Postingan Terakhir

Lihat Semua
bottom of page