top of page

Kenapa Saya yang Diuji ?

Diperbarui: 29 Jun 2023

Hari demi hari dijalani, tampaknya dunia sering kali menawarkan rasa pahitnya. Tekanan dalam pekerjaan, mengalami kegagalan dalam meraih kesuksesan yang kita dambakan, kurangnya dukungan yang hangat dari orang-orang terdekat, kehilangan hal-hal yang berharga bagi kita, mengalami masalah pada kesehatan fisik dan mental, dan ujian-ujian lainnya mungkin kita alami. Kesulitan dan tantangan yang dilewati, menjadi rasa sakit yang membuat manusia menderita. Kala kita mendapatkan penderitaan itu, muncul pikiran yang mengganggu di benak kita seperti “Dunia adalah tempat yang menyakitkan.”, “Sepertinya hidup orang lain jauh lebih bahagia dan sempurna dibandingkan hidup saya.”, atau “Kenapa hanya saya yang selalu diuji?”. Sesaat atau bahkan beberapa saat kita menganggap bahwa dunia—ataupun Tuhan, Allah ﷻ, hanya menghukum kita seorang. Seakan-akan, hanya kita yang menderita sendirian.


Common Humanity: Mewajari Kesulitan dalam Hidup

Memiliki pikiran-pikiran tadi membuat kita merasa sedih, marah, kecewa, frustrasi, menyesal, bersalah, atau perasaan yang menyakitkan lainnya. Pikiran bahwa hanya kita yang menderita, gagal, dan diuji serta perasaan yang menyertainya menghanyutkan kita dalam diri kita sendiri dan membenci kehidupan kita. Kita terjebak dalam cara berpikir yang disebut dengan tunnel vision, yaitu ketika hanya melihat pengalaman hidup dengan sudut pandang yang sempit dan berfokus pada aspek negatifnya saja (Beck, 2011; Neff, 2015).


Ketika kita berpikir bahwa hanya kita yang menderita sendirian, bisa jadi kita membebani diri dan mengurung kita dalam ilusi kesendirian dan ketidakberdayaan. Kita mengabaikan sudut pandang yang lebih luas dan faktual, bahwa sebenarnya penderitaan, kegagalan, ujian hidup, dan ketidaksempurnaan adalah hal yang wajar dialami oleh setiap manusia dan justru “makes us human”. Hal ini disebut juga dengan common humanity (Neff, 2015). Kita adalah bagian dari dunia, yang berisi manusia yang hidup beriringan, saling memiliki dan jatuh ke titik terendahnya masing-masing.


Apa buktinya kalau kita tidak seorang diri yang menderita? Contohnya, sampai saat ini, masih ada orang yang bekerja untuk membantu orang lain—seperti dokter, psikolog, pekerja sosial, dan lainnya. Masih juga banyak permasalahan sosial yang terjadi di sekitar kita, seperti kemiskinan, pengangguran, dan lain sebagainya yang masih belum terselesaikan. Artinya, pasti banyak orang lain seperti kita yang mengalami kesulitan dalam hidup dan memiliki pemikiran (seperti “Kenapa saya yang menderita?”) yang serupa. Kemudian, apakah orang yang di mata kita terlihat memiliki kehidupan yang sempurna itu adalah kenyataan? Bisa jadi, di balik kesuksesan yang orang lain dapatkan, ada waktu, keringat, air mata, dan banyak pengorbanan lainnya yang kita tidak ketahui. Terlebih di era media sosial ini, kebanyakan dari orang-orang, karena kemudahan untuk mengontrol bagaimana seseorang mempresentasikan diri, cenderung hanya menampilkan keberhasilan dan kualitas yang baik dari mereka. Bukan tidak mungkin mereka juga pernah gagal serta berpikir bahwa dirinya kurang mampu dan tidak berharga seperti kita saat ini.


Tentu mengalami kesulitan hidup tidaklah mudah. Oleh karenanya, melihat penderitaan adalah hal yang manusiawi dan pada dasarnya ada di kehidupan kita (dan banyak orang) bukan berarti kita menjadi meremehkan pikiran dan perasaan kita. Akan tetapi, common humanity dapat menjadi pengingat yang lembut bahwa kita tidak berjuang sendirian. Kita sebaiknya juga tidak perlu beradu, mana dari kita yang lebih menderita dibandingkan yang lainnya. Kemudian, bukan berarti fakta bahwa banyaknya orang yang menderita membuat kita larut untuk menilai bahwa dunia adalah tempat yang sepenuhnya menyakitkan. Sebaliknya, akan lebih membantu jika kita tidak melupakan masih banyaknya kebaikan dan pertolongan yang datang dari orang-orang, dan tentunya dari Allah ﷻ.


Ujian dan Pertolongan dari Allah ﷻ bagi Seluruh Hambanya


فَإِنَّ مَعَ ٱلْعُسْرِ يُسْرًا (٥) إِنَّ مَعَ ٱلْعُسْرِ يُسْرًا (٦)

Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan ada kemudahan.” (QS. Al-Insyirah: 5-6) (The Qur'an, 2010)


Dalam Islam, Allah ﷻ menegaskan bahwa dunia ini tempat manusia untuk diuji. Artinya, sejak dahulu kala, setiap orang pasti memiliki ujiannya masing-masing—bahkan orang yang paling beriman sekali pun pernah diberikan ujian oleh Allah ﷻ. Misalnya saja ujian yang Allah berikan kepada dua kekasihnya, yaitu Nabi Muhammad ﷺ dan Nabi Ibrahim ‘alaihissalam.


Nabi Muhammad ﷺ, pernah mengalami tahun kesedihan. Saat itu, Ia ditinggalkan istrinya, Khadijah radhiallahu ‘anhaa dan pamannya Abu Thalib pada waktu yang berdekatan. Meninggalnya dua orang yang selalu memberikan dukungan bagi Rasulullah ﷺ merupakan ujian yang sulit, sebab saat itu Nabi Muhammad ﷺ dan kaum muslimin juga sedang mengalami tekanan dan serangan dari orang-orang suku Quraisy (Andirja, 2021a).


Kemudian, Nabi Ibrahim ‘alaihissalam juga dikenal dengan pengalamannya mendapatkan berbagai ujian yang berat. Pertama, Nabi Ibrahim ‘alaihissalam memiliki ayah yang kafir (bekerja sebagai pemahat patung) dan membencinya (padahal Ia mencintai ayahnya). Kedua, Nabi Ibrahim ‘alaihissalam diuji dengan harus meninggalkan kampung halamannya dan dimusuhi oleh orang-orang di satu negeri. Orang-orang yang memusuhinya membuka baju dan melemparkan Nabi Ibrahim ‘alaihissalam ke dalam api untuk dibakar hidup-hidup. Ketiga, Nabi Ibrahim ‘alaihissalam juga mengalami masalah pada rumah tangganya. Setelah kelahiran Nabi Ismail ‘alaihissalam yang dinantikan selama bertahun-tahun, Sarah menjadi cemburu dan Allah ﷻ memerintahkan Nabi Ibrahim ‘alaihissalam untuk membawa Hajar dan Nabi Ismail ‘alaihissalam ke Mekah, kemudian meninggalkan mereka. Kemudian, Nabi Ibrahim ‘alaihissalam juga diperintahkan oleh Allah ﷻ untuk menyembelih putranya Ismail ‘alaihissalam ketika ia telah berusia remaja (Andirja, 2021b; 2021c).


Mengingat bahwa Allah ﷻ menguji seluruh hambanya tanpa terkecuali kembali mengingatkan kita bahwa kita tidak sendiri dan memiliki penderitaannya masing-masing. Semua ujian datang dari dan atas kehendak Allah ﷻ, juga sebenarnya adalah bentuk kasih sayang dari Allah ﷻ. Terkadang, ujian itu juga bisa menjadi sebuah petunjuk, asalkan orang-orang memaknai dan meresponsnya dengan baik—seperti dengan berkhusnuzan, bersabar, dan memperbanyak ibadah kita untuk menyembah serta memohon pertolongan Allah ﷻ. Oleh sebab itu, janganlah khawatir karena Allah ﷻ pasti akan menolong kita jika kita memintanya. Allah ﷻ telah berjanji melalui firman-Nya:


وَلَـنَبۡلُوَنَّكُمۡ بِشَىۡءٍ مِّنَ الۡخَـوۡفِ وَالۡجُـوۡعِ وَنَقۡصٍ مِّنَ الۡاَمۡوَالِ وَالۡاَنۡفُسِ وَالثَّمَرٰتِؕ وَبَشِّرِ الصّٰبِرِيۡنَۙ‏ (١٥٥)

الَّذِيۡنَ اِذَآ اَصَابَتۡهُمۡ مُّصِيۡبَةٌ  ۙ قَالُوۡٓا اِنَّا لِلّٰهِ وَاِنَّـآ اِلَيۡهِ رٰجِعُوۡنَؕ‏ (١٥٦)

اُولٰٓٮِٕكَ عَلَيۡهِمۡ صَلَوٰتٌ مِّنۡ رَّبِّهِمۡ وَرَحۡمَةٌ​ وَاُولٰٓٮِٕكَ هُمُ الۡمُهۡتَدُوۡنَ‏ (١٥٧)

"Dan sungguh, Kami benar-benar menguji kalian dengan sedikit dari rasa takut, lapar, krisis moneter, krisis jiwa dan krisis buah-buahan. Sampaikanlah kabar gembira bagi orang-orang yang sabar. Yaitu orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka berkata, ‘Innalilahi wa ina ilaihi rajiun (Kami milik Allah dan hanya kepada-Nya lah kami akan kembali)’. Mereka lah orang-orang yang mendapatkan keberkahan dan kasih sayang dari Rabb mereka dan mereka itulah orang-orang yang mendapatkan petunjuk,” (QS. Al-Baqarah: 155-157) (The Qur'an, 2010).



اَمۡ حَسِبۡتُمۡ اَنۡ تَدۡخُلُوا الۡجَـنَّةَ وَ لَمَّا يَاۡتِكُمۡ مَّثَلُ الَّذِيۡنَ خَلَوۡا مِنۡ قَبۡلِكُمۡؕ مَسَّتۡهُمُ الۡبَاۡسَآءُ وَالضَّرَّآءُ وَزُلۡزِلُوۡا حَتّٰى يَقُوۡلَ الرَّسُوۡلُ وَالَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡا مَعَهٗ مَتٰى نَصۡرُ اللّٰهِؕ اَلَاۤ اِنَّ نَصۡرَ اللّٰهِ قَرِيۡبٌ‏ (٢١٤)

Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (ujian) sebagaimana orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan), sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya, "Bilakah datang pertolongan Allah?" Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat."” (QS. Al-Baqarah: 214) (The Qur'an, 2010)


Menoleransi Rasa Sakit akan Penderitaan

Kita dapat menyimpulkan bahwa penderitaan dan rasa sakit yang muncul adalah hal yang sulit untuk dihindari (karena memang sudah sewajarnya manusia menghadapi ujian). Akan tetapi, kemampuan kita untuk merasakan sakit bisa menjadi pertanda bahwa kita adalah seorang manusia yang hidup (Harris, 2019). Kemudian, memang cara yang lebih berguna dalam merespons dan mengatasi penderitaan adalah dengan menoleransi rasa sakit (distress tolerance) (Linehan, 1993). Kita dapat berlatih untuk tetap bersama dan menoleransi emosi yang intens, kompleks, dan mengganggu—dibandingkan menghindar dan menginvalidasinya (Gilbert, 2009). Menginvalidasi yang dimaksud adalah ketika kita menilai bahwa penderitaan dan rasa sakit adalah hal yang tidak wajar dan melarang diri kita untuk merasakan kesedihan, kemarahan, kekecewaan, dan emosi yang menyakitkan lainnya (Harris, 2019).


Menoleransi rasa sakit penting untuk kesehatan mental kita. Jika kita menghindar dari rasa sakit yang sebenarnya sulit untuk dihindari, justru akan merugikan. Rasa sakit dan penderitaan kita akan semakin bertambah. Kita akan terjebak dengan perasaan frustrasi karena hidup kita tidak selalu dapat dikendalikan dan diubah sesuai dengan yang kita inginkan. Sebaliknya, jika kita belajar untuk menoleransi, kita akan lebih mampu untuk menyelesaikan aspek-aspek dari penderitaan hidup yang masih berada dalam kontrol kita. Kemudian, dengan kemampuan ini, kita akan mampu menerima situasi tanpa penilaian yang negatif dan keras terhadap diri sendiri (Lihenan, 1993).


Situasi yang kita anggap menyakitkan mungkin tidak bisa secara langsung diubah. Akan tetapi, masih ada yang bisa kita lakukan untuk tidak membuat situasi dan rasa sakit kita semakin memburuk—sehingga dapat kita toleransi. Ada beberapa cara yang dapat membantu kita untuk dapat tangguh menoleransi rasa sakit yang ada (DBT, n.d.; Lihenan, 1993), beberapa contohnya:

  1. RESISTT: Teknik yang membantu diri kita dalam menghadapi emosi intens agar tidak melakukan hal-hal yang merugikan. Ada beberapa langkah yang dapat dilakukan dalam teknik ini:

    1. Reframing the Situation: Melihat situasi dari perspektif yang lebih realistis. Ketika situasi itu buruk, kita terkadang melihatnya menjadi sangat buruk. Sebagai contoh, “Sepertinya saya tidak akan pernah berhasil untuk berhenti cemas”. Sebaliknya, kita dapat berusaha mencari bukti bahwa mungkin kita dapat mengelola cemas dengan beberapa solusi yang dapat dilakukan.

    2. Engaging in a Distracting Activity: Melakukan aktivitas menyenangkan agar tidak terlalu tenggelam pada emosi intens dan situasi yang sulit. Distraksi berbeda dengan menghindar, karena distraksi hanya dilakukan secara sementara.

    3. Someone Else: Mengarahkan perhatian pada orang lain untuk melegakan emosi.

    4. Intense Sensation: Mencari sensasi yang membuatmu lebih tenang seperti mandi air hangat dan berjalan di bawah sinar matahari.

    5. Shut it Out: Menenangkan diri dengan meninggalkan sejenak situasi yang membuat emosi menjadi intens.

    6. Neutral Thoughts: Berpikir hal-hal yang netral, seperti mengingat lagu kesukaanmu dan menyanyikannya.

    7. Take a Break: Istirahat dari kegiatan yang memungkinkan untuk diberhentikan sesaat.

  2. Self-soothing: Ketika mengalami tekanan, sangat penting untuk dapat menenangkan diri kita. Kita bisa belajar untuk menggunakan panca indera kita untuk bisa terhubung dengan aktivitas yang kita lakukan dan menikmatinya. Kita bisa menggunakan mata kita untuk menikmati pemandangan di sekitar kita, mendengarkan hal-hal yang menyenangkan, mencium wangi-wangi yang dinikmati, merasakan makanan-makanan yang kita suka, hingga menyentuh dan merasakan benda-benda yang disukai. Kegiatan-kegiatan ini bisa membuat kita lebih tenang dan santai.

  3. Improving the moment: Ketika kita mengalami kesulitan, kita bisa meningkatkan kualitas hidup kita dengan relaksasi, fokus pada hal yang kita kerjakan, istirahat, menyemangati diri, hingga beribadah untuk menenangkan diri kita. Bagi seorang muslim, kita bisa berdoa, sholat, mengaji, dan melakukan ibadah lainnya.


Makna Ujian: Salah Satu Jalan untuk Berkembang

Setelah menganggap penderitaan adalah hal yang manusiawi dan belajar untuk menoleransinya, kita juga bisa memaknai ujian secara lebih produktif. Dalam CBT (Cognitive Behavioral Therapy), yang mengganggu kita utamanya adalah bukanlah situasi itu sendiri, melainkan pada bagaimana kita memaknai situasi (Beck, 2011). Begitu pula dengan penderitaan yang kita miliki. Penderitaan dan ujian memang menyakitkan, namun bagaimana kesakitan itu dirasakan bisa berbeda tergantung pemaknaan kita. Kita bisa memaknai penderitaan kita secara negatif, atau sebaliknya memilih untuk belajar memaknai dengan lebih positif. Hal ini bisa kita lakukan agar lebih menguatkan kita untuk menghadapi situasi yang sulit, sebab pikiran kita akan mempengaruhi emosi dan perilaku kita pada situasi-situasi tersebut.


Penderitaan dalam hidup ini dapat dimaknai sebagai yang membuat hidup kita lebih “berwarna”. Ketidaksempurnaan dan kegagalan dapat membuat manusia menjalani hidup yang tidak membosankan (Neff, 2015). Penderitaan tersebut, yang sebenarnya itu hanya sementara, membuat kita terdorong untuk memperbaiki diri dan belajar. Jika kita selalu benar dan berhasil, kita bisa lebih sulit untuk menyadari apa yang sudah baik dan apa yang masih perlu diperbaiki dari kita. Jika kita selalu hidup nyaman dan tanpa masalah, kita mungkin kurang memiliki kesempatan dalam mengasah kemampuan kita untuk menolerasi rasa sakit, menerima hal yang berada dan di luar kontrol, melakukan penyelesaian masalah, atau bahkan berempati dan memahami orang lain yang mengalami kesulitan. Bagi seseorang yang beragama, mendapatkan ujian dari Allah ﷻ akan membuat kita lebih banyak berdoa dan beribadah, mengharapkan pertolongan dari-Nya—yang mana artinya meningkatkan kualitas hubungan kita dengan Yang Maha Pemberi Pertolongan.


Kesempatan untuk memperbaiki diri, belajar, dan menjadi individu yang lebih baik dari kesulitan hidup menandakan bahwa penderitaan menjadi salah satu jalan bagi kita untuk berkembang. Artinya, kita bisa menemukan hal baik setelah menghadapi penderitaan. Dalam buku Man's Search for Meaning karya Victor Frankl (1984), penderitaan yang dialami manusia dapat menjadi jalan untuk menemukan makna hidup. Dengan kata lain, meskipun berada di titik terendah dan tergelap kita, hidup yang bermakna tetap bisa kita dapatkan. Menemukan makna hidup pada akhirnya bisa memotivasi manusia untuk bangkit dari penderitaannya. Lebih lanjut, ada beberapa pemaknaan yang bisa diberikan terhadap penderitaan yang hadir (Frankl, 1984):

  1. Setiap penderitaan yang hadir, terdapat makna yang berarti, yang membuat kehidupan manusia menjadi utuh.

  2. Ketika dapat menerima dan berusaha bertahan, penderitaan yang dialami akan membuka peluang untuk berkembang dalam situasi sulit.

  3. Manusia yang bisa menemukan makna hidupnya akan bisa “menantang” penderitaan yang dialami untuk dapat bertahan.

  4. Meskipun dalam penderitaan yang dialami itu kita bisa mengalami kehilangan, kita selalu memiliki kemampuan untuk mengendalikan diri dan mendapatkan sesuatu darinya.

  5. Setiap mencoba bertahan dalam penderitaan, kita akan berusaha membuat dan mengingat tujuan hidup kita.


Tidak jauh berbeda dengan pemaknaan penderitaan dari Victor Frankl, Islam juga menekankan adanya makna dari setiap ujian yang dilewati manusia. Allah ﷻ tidak akan memberikan sebuah ujian untuk menjadi sia-sia bagi hamba-Nya. Selain Allah ﷻ menjanjikan pertolongannya bagi hamba-Nya, Ia juga menjanjikan beberapa kebaikan lainnya. Hal ini dijelaskan dalam beberapa firman Allah ﷻ dan hadist:


أَحَسِبَ ٱلنَّاسُ أَن يُتْرَكُوٓا۟ أَن يَقُولُوٓا۟ ءَامَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ (٢)

“Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan hanya dengan mengatakan, ”Kami telah beriman,” dan mereka tidak diuji?(QS. Al-Ankabut: 2) (The Qur'an, 2010)


وَقَطَّعْنَـٰهُمْ فِى ٱلْأَرْضِ أُمَمًۭا ۖ مِّنْهُمُ ٱلصَّـٰلِحُونَ وَمِنْهُمْ دُونَ ذَٰلِكَ ۖ وَبَلَوْنَـٰهُم بِٱلْحَسَنَـٰتِ وَٱلسَّيِّـَٔاتِ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ (١٦٨)

“Dan Kami uji mereka dengan (nikmat) yang baik-baik dan (bencana) yang buruk-buruk, agar mereka kembali (kepada kebenaran).” (QS. Al-A’raf: 168) (The Qur'an, 2010)


عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ ‏ "‏ مَا يُصِيبُ الْمُسْلِمَ مِنْ نَصَبٍ وَلاَ وَصَبٍ وَلاَ هَمٍّ وَلاَ حُزْنٍ وَلاَ أَذًى وَلاَ غَمٍّ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا، إِلاَّ كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ ‏

“Rasulullah (ﷺ) bersabda, “Tidak ada lelah, penyakit, kesedihan, kedukaan, sakit hati, atau kesusahan yang menimpa seorang Muslim, bahkan jika itu adalah tusukan duri yang diterimanya, melainkan dengannya Allah menghapuskan sebagian dari dosa-dosanya.(Sahih al-Bukhari 5641, 5642) (Sunnah, n.d.)


Islam mendorong manusia untuk selalu berkembang. Bahkan ketika seseorang sudah beriman, tetap diuji kembali untuk bisa mengeluarkan potensi terbaiknya dalam hidup. Selain itu, Allah ﷻ juga memberikan ujian untuk menguji keimanan, mengarahkan untuk kembali pada jalan yang benar, menguatkan kesabaran dalam hati hamba-Nya. Seperti yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim ‘alaihissalam, ujian yang diberikan Allah dalam bentuk perintah untuk menyembelih Nabi Ismail ‘alaihissalam diterimanya dengan keimanan, keikhlasan, dan ketaatan. Diceritakan juga bahwa ketika Nabi Ibrahim ‘alaihissalam menanyakan pendapat anaknya mengenai perintah Allah ﷻ tersebut, Nabi Ismail ‘alaihissalam juga memilih untuk taat dengan ikhlas tanpa merasa terpaksa (Firanda, 2021d). Sebagai ganjarannya, Allah ﷻ meningkatkan derajat Nabi Ibrahim ‘alaihissalam—termasuk kita pula jika kita menghadapi kesulitan hidup dengan sikap yang selaras dengan apa yang dilakukan oleh para suri tauladan kita.


وَتَرَكْنَا عَلَيْهِ فِي الْآخِرِينَ، سَلَامٌ عَلَى إِبْرَاهِيمَ، كَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ، إِنَّهُ مِنْ عِبَادِنَا الْمُؤْمِنِينَ

Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian, (yaitu) ”Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim”. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ia termasuk hamba-hamba Kami yang beriman.” (QS. Ash-Shaffat: 108-111) (The Qur'an, 2010)


Ada satu hal yang juga menarik yang mungkin kita sering lupakan ketika kita mendapat rasa sakit dalam hidup ini. Hal ini yaitu, ketika kita mendapatkan rasa sakit, sekecil apa pun itu, Allah ﷻ akan menghapus dosa kita jika kita bersabar dalam menghadapinya (Andirja, 2021e). Hal ini bisa juga menjadi pengingat yang akan membuat kita lebih kuat dan bersyukur ketika kita menderita, karena mengetahui bahwa ada dosa yang gugur karenanya. Maka dari itu, ketika kita menghakimi diri sebagai orang yang dihukum oleh Allah ﷻ karena mengalami musibah, akan lebih bermanfaat jika kita sebaliknya mengingat bahwa ujian yang diberikan adalah bentuk “kasih sayang”-Nya.


Sebagai penutup, penting juga dipahami bahwa hidup yang bermakna dan diri yang berkembang sebenarnya tidak selalu harus dari penderitaan. Mengutip dari Victor Frankl (1984), penderitaan bukanlah syarat dari hidup yang bermakna. Yang ditekankannya adalah hal yang memungkinkan untuk mendapatkan makna hidup dari penderitaan. Jika kesulitan hidup yang kita alami bisa diatasi atau terhindarkan, memang lebih ideal. Bagi seorang muslim, kita juga dianjurkan untuk senantiasa berdoa agar terlindungi dari berbagai kesulitan dan kejahatan dalam hidup, diberikan kesehatan, dan terhindar dari api neraka. Akan tetapi, ketika penderitaan dan ujian tidak dapat kita hindari, kita bisa memilih untuk tidak berputus asa. Selalu percaya dalam setiap usaha yang kita perjuangkan untuk bertahan dalam penderitaan itu, Allah ﷻ selalu hadir untuk menolong kita, dan memaknainya akan membuat hidup kita lebih berarti.


Selain itu, tentunya bukan hal yang mudah untuk memaknai penderitaan secara konstruktif. Dibutuhkan waktu dan usaha yang tidak sedikit dalam prosesnya. Ketika kita kesulitan untuk menghadapi masalah kita sendirian, ada baiknya kita mencari bantuan profesional kesehatan mental, terutama yang memiliki nilai-nilai yang sejalan dengan kepercayaan kita. Meminta bantuan kepada orang lain tidak mengartikan kita sebagai orang yang lemah dan tidak mempercayai pertolongan Allah ﷻ. Melainkan, bantuan yang datang dari orang lain merupakan perpanjangan tangan dari pertolongan Allah ﷻ.


Oleh Ayu Friztyana Putri, S.Psi dan Raissa Fatikha, S.Psi.

Referensi


117 tampilan0 komentar

Postingan Terakhir

Lihat Semua
bottom of page