top of page

Rawat Mentalmu, Allah Menyayangimu

​​بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Bismillahirrahmanirrahim


World Mental Health Day (Hari Kesehatan Mental Sedunia) merupakan peringatan yang diinisiasikan oleh World Federation for Mental Health pada tanggal 10 Oktober setiap tahunnya. Tujuan peringatan ini adalah untuk mengedukasi masyarakat tentang kesehatan mental dan mengurangi stigma seputar masalah kesehatan mental. Dalam rangka memperingati Hari Kesehatan Mental Sedunia tahun ini, World Health Organization (WHO) mengangkat “Mental Health is a Universal Human Right” sebagai tema peringatan tahun ini (WHO, 2023). Tema ini berangkat dari konsep bahwa kesehatan mental merupakan kebutuhan mendasar yang berhak diakses oleh semua orang di seluruh dunia, tanpa memandang latar belakang, agama, ras, jenis kelamin, dan perbedaan-perbedaan lainnya.


Akan tetapi, implementasi terkait hak untuk memperoleh kesehatan mental masih menjadi suatu tantangan besar, termasuk di Indonesia. Salah satu dari banyak faktor yang menghambatnya adalah masih sangat melekatnya stigma terhadap gangguan dan masalah kesehatan mental, seperti dianggap sebagai suatu “aib”, “gila”, ataupun dapat membahayakan orang-orang di sekitarnya (Subu et al., 2022). Bahkan hingga saat ini, orang yang memiliki masalah kesehatan mental masih mendapat perlakuan tidak manusiawi oleh keluarga maupun komunitas, seperti pemasungan ataupun pengurungan (Salam, 2023; Santika, 2023).


Salah satu penyebab dari melekatnya stigma terhadap masalah kesehatan mental tidak lepas dari kepercayaan dan tradisi yang ada di Indonesia. Terdapat anggapan yang beredar di tengah masyarakat Indonesia bahwa masalah kesehatan mental dipercayai sebagai akibat dari kesalahan/perbuatan dosa yang telah dilakukan oleh orang tersebut di masa lampau maupun oleh anggota keluarga pada generasi sebelumnya (Subu et al., 2022). Di sisi lain, terdapat pula anggapan bahwa seseorang yang memiliki masalah kesehatan mental hanya disebabkan oleh kurang beribadah ataupun bersyukur kepada Tuhan. Lebih lanjut, anggapan tersebut seakan-akan menegaskan bahwa proses mengatasi suatu permasalahan, termasuk permasalahan psikologis, hanya dapat dilakukan dengan melakukan ritual ibadah kepada Tuhan, tanpa perlu meminta bantuan kepada ahli.


Stigma negatif terhadap masalah kesehatan mental tersebut pada akhirnya turut memengaruhi bagaimana kita mencari bantuan ketika sedang mengalami gejala permasalahan psikologis. Dalam hal ini, meminta bantuan melalui ahli/profesional kesehatan mental, seperti psikolog atau psikiater, menjadi cenderung dihindari agar tidak mendapatkan stigma atau “label negatif” dari masyarakat (Subu et al., 2022). Stigma juga bisa membuat seseorang cenderung memilih untuk meminta bantuan dari pihak yang bukan ahlinya di bidang kesehatan mental (misal: paranormal). Bahkan, bisa jadi kita memilih untuk sama sekali tidak meminta bantuan kepada orang lain dan mencoba untuk menyelesaikan masalah kita sendiri.


Konsekuensi negatif dari tidak meminta bantuan ke ahli kesehatan mental yang bisa terjadi adalah tidak tertanganinya masalah psikologis yang kita alami dengan tepat. Kemudian, masalah kesehatan yang dibiarkan tanpa penanganan yang tepat dapat memiliki efek domino terhadap berbagai aspek di kehidupan kita. Beberapa contohnya adalah seperti menurunnya kemampuan berkonsentrasi yang menghambat kita belajar/bekerja atau kesulitan mengelola emosi yang membuat kita sulit berhubungan secara positif dengan orang di sekitar kita. Kita juga semakin berisiko untuk terlibat dalam perilaku yang merugikan, seperti menyalahgunakan obat-obatan atau bahkan dapat berujung kepada mengakhiri hidup.


Terlebih lagi, stigmatisasi kesehatan mental dan meminta bantuan ke ahli yang masih melekat dalam masyarakat juga dapat berdampak pada kualitas hubungan kita dengan Sang Pencipta. Misalnya, ketika kita sangat menginternalisasi stigma yang menyatakan masalah kesehatan mental akibat dari kesalahan/dosa yang kita perbuat kita dapat mengembangkan keyakinan bahwa kita sedang dihukum oleh-Nya (Kaya & Akturk, 2023). Hal ini pada akhirnya dapat menimbulkan perasaan sedih, bersalah, atau bahkan marah terhadap Tuhan. Akibatnya, kualitas hubungan kita dengan Tuhan menjadi terganggu dan kita juga dapat mengembangkan perasaan putus asa bahwa kondisi kita tidak dapat membaik.

Mengobati Diri sebagai Bentuk Ikhtiar

Sekarang coba kita bayangkan ketika kita sakit fisik, apa yang akan kita lakukan? Tentu, sudah sewajarnya kita akan mencari pengobatan agar sembuh dengan mencoba pergi ke dokter. Mencari pengobatan secara medis itu adalah bagian dari ikhtiar atau usaha kita dalam merawat kesehatan. Akan tetapi, janganlah kita lupa bahwa kesehatan itu tidak hanya fisik, namun juga mencakup kesehatan mental. Maka dari itu, dan merawat keduanya adalah sesuatu yang sama-sama penting. Hal ini juga berdasarkan larangan Allah ﷻ untuk menyakiti diri dan membuat diri kita berada dalam kebinasaan. Allah ﷻ menginginkan kita untuk menyayangi dan menghargai keberfungsian diri kita sebagai manusia.


…وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ…

"...Dan janganlah kamu menjatuhkan (diri sendiri) ke dalam kebinasaan dengan tangan sendiri...." (Q.S. Al-Baqarah: 195) (The Qur'an, 2010)


وَلَا تَقْتُلُوْٓا اَنْفُسَكُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيْمًا…

"Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sungguh Allah Maha Penyayang kepadamu." (Q.S. An-Nisaa’: 29) (The Qur'an, 2010)


Ketika kita sakit, kita juga diperintahkan Allah ﷻ untuk bergantung kepada-Nya dan percaya bahwa hanya Allah ﷻ yang dapat menyembuhkan kita. Namun, hal tersebut tidak berarti dapat menyempitkan usaha kita hanya dengan berdoa. Tentunya, kita juga perlu mencari pengobatan ke ahlinya, seperti halnya kita meminta bantuan dokter sebagai usaha kita mengobati penyakit pada fisik kita. Seorang muslim dapat menganggap kesehatan sebagai hadiah dari Tuhan yang perlu dirawat, sebab Allah ﷻ menurunkan penyakit pasti dengan obatnya. Mengenai perawatan masalah kesehatan mental, menariknya, rumah sakit jiwa pertama di dunia berdiri di Baghdad, Irak yang dibangun tahun 705 M oleh al-Razi yang merupakan seorang ilmuwan muslim. Dengan demikian, Islam justru menjadi pionir dalam menekankan holistic care untuk masalah kesehatan mental (Awaad, et al., 2021; Sabry & Vohra, 2013).


Lebih lanjut, seorang ilmuwan medis Islam ternama bernama Ibnu Sina juga mengatakan bahwa masalah kesehatan mental adalah kondisi yang perlu ditangani secara medis menggunakan psikoterapi dan obat-obatan (Sabry & Vohra, 2013). Secara ilmiah, psikoterapi yang dipandu oleh profesional akan efektif membantu masalah kesehatan mental. Salah satu psikoterapi yang efektif adalah Cognitive Behavioral Therapy (CBT) yang sudah diuji dan terjamin keefektivitasannya, serta terus berkembang seiring berjalannya waktu (David et al, 2018). Oleh karena itu, meminta bantuan ke ahli untuk mendapatkan psikoterapi dapat menjadi opsi ikhtiar untuk merawat kesehatan mental kita.


وَاِذَا مَرِضۡتُ فَهُوَ يَشۡفِيۡنِ

“Dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkan aku.” (Q.S. Asy Syu’ara’: 80) (The Qur'an, 2010)


مَا أَنْزَلَ اللَّهُ دَاءً إِلاَّ أَنْزَلَ لَهُ شِفَاءً

“Rasulullah SAW berkata, ‘Tidaklah Allah menurunkan penyakit kecuali pasti menurunkan juga obatnya’” (Sahih al-Bukhari 5678) (Sunnah, n.d.)

Ketika kita mencari pengobatan terbaik dari para profesional, tentunya itu akan berdampak positif pada diri kita, salah satunya dapat mengembalikan fungsi kita untuk menjalankan peran kita sehari-hari. Dalam peran kita sebagai seorang muslim, kita perlu menjaga akal sehat yang kita miliki untuk bisa beribadah dan memahami Islam lebih dalam. Pada akhirnya, dampak terbesarnya adalah kita bisa menjadi hamba Allah ﷻ yang taat dan lebih dekat dengan-Nya. Jadi, ketika kita merasa masalah kesehatan mental yang kita alami sudah sangat mengganggu, akan lebih baik jika kita dapat mencari pengobatan untuk menyelesaikannya.


Akan tetapi, apakah meminta bantuan ke para profesional itu hanya menjadi opsi satu-satunya yang bisa kita pilih? Apakah artinya melakukan ibadah atau melakukan upaya mandiri merawat kesehatan mental itu tidak perlu dilakukan?


Treatment Internal

Hal ini dapat dijelaskan oleh penjelasan Abu Zayd al-Balkhi, salah satu ilmuwan muslim terhebat di masanya yang juga merupakan pionir psikoterapi dalam menangani masalah kesehatan mental. Menurutnya, ketika kita memiliki masalah kesehatan mental, kita dapat melakukan dua bentuk treatment, yaitu secara internal dan eksternal (Badri, 2013).


Treatment internal adalah upaya yang dapat dilakukan oleh individu seorang diri. Contohnya adalah ketika kita mencoba mempelajari coping skills, atau cara-cara mengatasi stres dalam hidup. Bentuk coping dapat kita bagi menjadi dua, yaitu emotion-focused coping dan problem-focused coping. Emotion-focused coping mengacu pada cara mengatasi stres dengan mengelola emosi seperti relaksasi dan melakukan hal-hal yang menyenangkan, sedangkan, problem-focused coping adalah cara mengatasi stres dengan menyelesaikan permasalahan yang dihadapi seperti merencanakan tindakan untuk menyelesaikan masalah yang ada (King, 2020).


Selain emotion-focused dan problem-focused coping, terdapat juga islamic positive coping methods atau positive religious coping, yaitu cara mengatasi tekanan hidup secara religius atau islami. Beberapa contohnya adalah berdoa meminta ampunan dan pertolongan, serta mempelajari kisah nabi untuk menjadi pedoman hidup kita (Raiya & Pargament, 2010). Selain itu, kita juga bisa melakukan ibadah dan mengingat Allah ﷻ (Badri, 2013). Ibadah bukan hanya dapat berbentuk ritual ibadah seperti shalat dan puasa, namun juga dapat berbentuk berbuat baik kepada orang lain, sedekah, dan lain-lain. Selain itu, mengingat Allah ﷻ bisa juga dilakukan dalam bentuk membaca dan memahami isi Al-Qur’an sebagai bentuk upaya kita mencari penguatan diri, ketenangan, dan solusi atas permasalahan hidup kita.


…قُلْ هُوَ لِلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ هُدًى وَشِفَآءٌ ۖ…

"Al-Qur’an adalah petunjuk dan penyembuh bagi orang-orang yang beriman" (Q.S. Fussilat: 44) (The Qur'an, 2010).


…اَلَا بِذِكْرِ اللّٰهِ تَطْمَىِٕنُّ الْقُلُوْبُ ۗ …

“Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram” (Q.S. Ar-Ra’d: 28) (The Qur'an, 2010)


Hal menarik lainnya adalah ketika kita melakukan ibadah, kegiatan tersebut dapat termasuk praktik mindfulness. Saat ini, mindfulness dianggap sebagai salah satu cara yang efektif untuk menjaga kesehatan mental kita, seperti mengurangi stres, kecemasan, dan mengurangi reaktivitas emosional (Davis & Hayes, 2012; Galante, et al, 2023). Mindfulness merupakan keadaan di mana kita secara sengaja dan dengan kesadaran yang utuh (awareness) memusatkan perhatian pada situasi sini-kini (here and now) (Kabat-Zinn, 2004). Lalu, bagaimana bisa ibadah bisa menjadi contoh praktik mindfulness? Dengan beribadah kepada Allah ﷻ, seperti salat, zikir, ataupun membaca Al-Quran, kita dapat melatih bagaimana untuk khusyuk, yakni menghadirkan hati saat beribadah di hadapan Allah ﷻ (Taslim, 2021). Dengan menerapkan khusyuk, maka kita akan mengingat dan memiliki kesadaran penuh atas kehadiran Allah ﷻ sehingga hati kita menjadi tenteram.


Dengan demikian, pemahaman, keyakinan, dan pemaknaan agama yang positif dapat menjadi “alat” yang sangat akan membantu individu untuk merawat kesehatan mentalnya (Raiya & Pargament, 2010). Terlebih lagi, strategi ini akan sangat membantu bagi individu yang menganggap spiritualitas dan religiusitas adalah hal yang bermakna dan penting dalam hidupnya. Positive religious coping berbeda dengan negative religious coping, yaitu ketika seseorang memaknai ujian hidup sebagai hukuman dan merasa selalu tidak puas pada kekuatan Tuhan (Pargament et al., 1998).


Pemaparan di atas menekankan bahwa mengelola diri secara mandiri—baik secara emotion-focused, problem-focused, termasuk religius—dapat membantu kita untuk merawat kesehatan mental. Akan tetapi, bukan berarti tulisan ini bertujuan untuk memperkuat stigma negatif bahwa masalah kesehatan mental hanya karena seseorang kurang beribadah. Sebaliknya, cara mengelola stres secara religius dapat menjadi dukungan yang bermakna untuk menjaga kesehatan mental bersama dengan faktor lainnya—seperti treatment eksternal.


Treatment Eksternal

Kemudian, di samping upaya internal yang dapat dilakukan tersebut, kita juga perlu melakukan upaya eksternal—terutama ketika kita tidak dapat menyelesaikan permasalahan kita sendirian (Badri, 2013). Upaya ini biasanya lebih efektif dalam membantu kita, seperti datang ke professional kesehatan mental seperti psikiater atau psikolog, terutama ketika masalah kesehatan mental yang kita miliki sudah mengganggu keseharian kita (Badri, 2013).


Namun, menanggapi stigma yang ada, apakah pergi ke profesional dan melakukan psikoterapi itu berlawanan dengan ajaran agama Islam? Jawabannya adalah tidak, karena justru psikoterapi dapat menjadi sebuah manfaat untuk seorang muslim yang memiliki masalah kesehatan mental (Raiya & Pargament, 2010). Maka dari itu, kita dapat mencari pengobatan pada ahli dalam penanganan masalah yang kita miliki (‘Aziz, 2007), seperti yang dijelaskan oleh Allah ﷻ dalam ayat berikut:


فَاسْـَٔلُوْٓا اَهْلَ الذِّكْرِ اِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَۙ…

“...maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (Q.S. An Nahl: 43) (The Qur'an, 2010)


Kemudian, jika merasa lebih nyaman dengan psikoterapi dengan nilai religius, psikoterapi dengan nilai Islami juga dapat dilakukan. Dalam penerapannya, teknik psikoterapi dapat dikombinasikan dengan nilai-nilai Islam yang berasal dari Al-Qur’an dan hadis. Selama terapi, terapis dan klien juga bisa saling berdiskusi mengenai isu religius yang berhubungan dengan masalah yang dimiliki. Psikoterapi dengan nilai islami juga bisa mengingatkan klien untuk menerapkan strategi positive religious coping, seperti selalu menyandarkan diri kepada Allah ﷻ dalam situasi sulit, bertaubat ketika berbuat kesalahan, dan fokus beribadah (sebagai salah satu bentuk praktik mindfulness) (Hamdan, 2008). Namun perlu diingat kembali, niat kita untuk melakukan penanganan masalah kesehatan mental itu tetap dengan niat meminta bantuan pada Allah ﷻ. Psikolog atau psikiater adalah perantara atau perpanjangan tangan Allah ﷻ saja, sebab kesembuhan kita hanyalah datang dari Allah ﷻ. Selanjutnya, masih banyak yang bisa kita bahas mengenai psikoterapi dengan nilai Islam, insyaAllah akan kita sama-sama pelajari di artikel Mind Institute selanjutnya.


Dengan pembahasan yang telah kita sama-sama pelajari, dapat disimpulkan bahwa stigma terkait kesehatan mental, merawat diri, dan meminta bantuan itu adalah sebuah hal-hal yang sia-sia. Dapat disebut juga bahwa hal itu melawan ajaran agama Islam dapat dikatakan sebagai sesuatu yang salah. Sebaliknya, yang sesuai dengan ajaran agama kita adalah menyayangi diri kita sendiri. Dengan demikian, seorang muslim tidak perlu ragu untuk mencari bantuan profesional jika dirasa butuh ke depannya.


Wallahu a’lam.


Oleh: Ayu Friztyana Putri, S.Psi., dan Dimas Faturamadhan


Referensi

  • Awaad, R., Elyased, D., & Helal, H. (2023, August 11). Holistic healing: Islam’s legacy of mental health. Yaqeen Institute. https://yaqeeninstitute.org/read/paper/holistic-healing-islams-legacy-of-mental-health

  • ‘Aziz, ‘A. (2007). Ensiklopedi adab islam: Menurut al-qur’an dan as-sunnah (Jilid 1). Daar Thaybah.

  • Badri, M. (2013). Abu Zayd al-Bakhi's sustenance of the soul: The cognitive behavior therapy of a ninth century physician. The International Institute of Islamic Thought.

  • David, D., Cristea, I., & Hofmann, S. G. (2018). Why cognitive behavioral therapy is the current gold standard of psychotherapy. Frontiers in Psychiatry, 9(4), 1-3. https://doi.org/10.3389/fpsyt.2018.00004

  • Davis, D.M. & Hayes, J. A. (2012, July). What are the benefits of mindfulness. American Psychological Association. https://www.apa.org/monitor/2012/07-08/ce-corner

  • Galante, J., Friedrich, C., Aeamla-Or, N., Arts-de Jong, M., Barrett, B., Bögels, S. M., Buitelaar, J. K., Checovich, M. M., Christopher, M. S., Davidson, R. J., Errazuriz, A., Goldberg, S. B., Greven, C. U., Hirshberg, M. J., Huang, S.-L., Hunsinger, M., Hwang, Y.-S., Jones, P. B., Medvedev, O. N., … White, I. R. (2023). Systematic review and individual participant data meta-analysis of randomized controlled trials assessing mindfulness-based programs for mental health promotion. Nature Mental Health, 1(7), 462–476. https://doi.org/10.1038/s44220-023-00081-5

  • Hamdan, A. (2008). Cognitive restructuring: An Islamic perspective. Journal of Muslim Mental Health, 3(1), 99–116. https://doi.org/10.1080/15564900802035268

  • Harris, R. [Mindfulness 360 - Center For Mindfulness] (2020, June 13). Five myths about mindfulness | Dr. Russ Harris [Video]. YouTube. https://www.youtube.com/watch?v=27vTehu_2gI

  • Kabat-Zinn, J. (2004). Wherever you go, there you are: mindfulness meditation for everyday life. Piatkus Books Ltd.

  • Kaya, A. E., Akturk, B. E., KAYA, A. E., & AKTURK, B. E. (2023). The Relationship Between Religious Coping and Internalized Stigma Among Patients With Bipolar Disorder. Cureus, 15(8). https://doi.org/10.7759/cureus.43511

  • King, L. A. (2020). The science of psychology (5th ed.). McGraw-Hill Education.

  • Pargament, K. I., Smith, B. W., Koenig, H. G., & Perez, L. (1998). Patterns of Positive and Negative Religious Coping with Major Life Stressors. Journal for the Scientific Study of Religion, 37(4), 710. doi:10.2307/1388152

  • Prakoso, I. D. (2021, October 11). Meditasi dalam Islam: Boleh atau tidak?. Riliv. https://riliv.co/rilivstory/meditasi-dalam-islam/

  • Raiya, H. A., & Pargament, K. I. (2010). Religiously Integrated Psychotherapy With Muslim Clients: From Research to Practice. Professional Psychology: Research and Practice, 41(2), 181–188. https://doi.org/10.1037/a0017988

  • Sabry, W. M., & Vohra, A. (2013). Role of Islam in the management of Psychiatric disorders. Indian journal of psychiatry, 55(Suppl 2), S205–S214. https://doi.org/10.4103/0019-5545.105534

  • Salam, H. (2023, March 28). Dua ODGJ di Cikakak Sukabumi yang dikerangkeng kembali di evakuasi, kesos panti sosial : habis obat. Radar Sukabumi. https://radarsukabumi.com/berita-utama/dua-odgj-di-cikakak-sukabumi-yang-dikerangkeng-kembali-di-evakuasi-kesos-panti-sosial-habis-obat/

  • Santika, E. F. (2023, April 14). Masih ada ODGJ yang dipasung hingga triwulan II 2022. Kata Media Network. https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2023/04/14/masih-ada-odgj-yang-dipasung-hingga-triwulan-ii-2022

  • Sprout Social. (n.d.). World Mental Health Day: What it is and how to celebrate. https://sproutsocial.com/social-media-holidays/world-mental-health-day/

  • Subu, M. A., Holmes, D., Arumugam, A., Al-Yateem, N., Maria Dias, J., Rahman, S. A., ... & Abraham, M. S. (2022). Traditional, religious, and cultural perspectives on mental illness: a qualitative study on causal beliefs and treatment use. International Journal of Qualitative Studies on Health and Well-being, 17(1), 2123090.

  • Sunnah. (n.d.). Medicine. Sunnah. https://sunnah.com/bukhari/76

  • Taslim, A. (2021, December 1). Meraih khusyu’ dalam ibadah (1). Muslim.or.id. https://muslim.or.id/13989-meraih-khusyu-dalam-ibadah-1.html

  • The Qur'an (Bukhara: Al-Qur'an Tajwid & Terjemah). (2010). PT Sygma Examedia Arkanleema.

  • World Mental Health (n.d.). World mental health day. https://www.who.int/campaigns/world-mental-health-day

  • Young on Top (2023, May 15). 7 stigma negatif ketika konsultasi ke psikolog. https://www.youngontop.com/7-stigma-negatif-ketika-konsultasi-ke-psikolog/




56 tampilan0 komentar

Postingan Terakhir

Lihat Semua
bottom of page