top of page

Ketika Rasa Bersalah Menghantui…

Kesalahan merupakan bagian yang alamiah dari kehidupan manusia. Setiap orang tentunya pernah melakukan kesalahan, baik itu disengaja maupun tidak, kecil maupun besar. Beberapa di antara kita tentunya pernah melakukan suatu kesalahan dalam kehidupan sehari-hari, seperti salah mengucapkan kata-kata ketika sedang melakukan presentasi, tidak teliti saat sedang melaksanakan tugas yang diberikan atasan, ataupun mendapatkan nilai ujian yang kurang memuaskan. Selain itu, mungkin kita juga sering kali melakukan kesalahan ketika berinteraksi sosial dengan orang lain, seperti tidak menepati janji, menyinggung perasaan teman, berbicara dengan orang lain dengan menggunakan nada tinggi, dan lain sebagainya.


Tidak hanya dalam konteks hubungan dengan orang lain, kita pun pasti pernah melakukan kesalahan dalam hubungan kita dengan Sang Pencipta. Sebagai makhluk ciptaan Allah ﷻ, manusia tidak terhindar dari perbuatan salah atau dosa. Meskipun dikaruniai dengan akal pikiran, manusia sering kali terjebak ke dalam perangkap godaan dosa karena dorongan hawa nafsu. Beberapa contoh perbuatan yang mungkin pernah kita lakukan adalah berbohong, meninggalkan ibadah kepada-Nya, membicarakan keburukan orang lain, berbicara dengan kata-kata kasar, dan lain sebagainya.


Setelah melakukan perbuatan-perbuatan tersebut, kita dihantui perasaan bersalah, menyesal, malu, dan lain sebagainya. Perasaan tersebut muncul karena diri kita yang berbuat kesalahan dievaluasi secara negatif. Contoh pikiran/pemaknaan yang bisa muncul seperti:

  • “Saya adalah orang bodoh karena salah ucap saat presentasi kerja tadi.”

  • “Atasan saya menegur saya karena pekerjaan saya tidak maksimal. Saya memang selalu mengecewakan orang-orang di sekitar saya.”

  • Seharusnya saya tidak berbuat kesalahan seperti itu.

  • “Kesalahan saya sepenuhnya disebabkan oleh saya sendiri.

  • Saya adalah orang yang berdosa, dan saya tidak pantas menerima ampunan dan kasih sayang Allah ﷻ”.


Self-Judgment dan Keyakinan yang Negatif Mengenai Diri

Dalam ilmu psikologi, fenomena membentuk penilaian terhadap diri sendiri secara negatif dikenal sebagai self-judgment (Neff, 2011; Phaedonos & Anastassiou-Hadjicharalambous, 2011). Tentunya, self-judgment merupakan reaksi yang bisa kita bilang manusiawi setelah seseorang melakukan suatu kesalahan. Self-judgment juga akan semakin rentan dilakukan oleh seseorang yang memiliki belief, atau keyakinan, yang negatif (terutama terkait dengan dirinya). Dalam CBT (Cognitive Behavioral Therapy), keyakinan tersebut dapat berbentuk helpless (keyakinan bahwa diri tidak berdaya, tidak efektif, atau tidak kompeten), worthless (keyakinan bahwa diri adalah seseorang yang buruk secara moral), juga unlovable (keyakinan bahwa diri tidak dicintai) (Beck, 2011). Lebih lanjut, ketika melakukan kesalahan, keyakinan yang negatif tersebut aktif dan memengaruhi evaluasi atau bagaimana kita berpikir mengenai diri kita.


Cara berpikir yang terdistorsi dan dilakukan secara otomatis yang khas dari self-judgment adalah “shouldand “muststatements—ketika seseorang memiliki ekspektasi, standar, atau aturan yang kita anggap penting, namun kaku, terhadap diri sendiri (Beck, 2011; Greenberger & Padesky, 2015). Ketika ekspektasi dan standar tersebut tidak dipenuhi dan berpikir bahwa "seharusnya” dapat lebih baik/tidak melakukan kesalahan, perasaan bersalah akan muncul. Contohnya ketika seorang mahasiswa menetapkan standar bahwa dirinya harus selalu mendapatkan nilai A, ia akan merasa bersalah kepada dirinya apabila mendapatkan nilai A- atau B+.


Selain itu, ada pula distorsi berpikir seperti ketika kita hanya terus-menerus berfokus dan “membesar-besarkan” kesalahan di masa lampau, tanpa mempertimbangkan bahwa dirinya sebenarnya juga pernah melakukan perbuatan baik sebelumnya (atau disebut tunnel vision dan magnification/minimization). Kemudian, cara berpikir tersebut pada akhirnya dapat mendorong seseorang untuk memberikan identitas negatif (labelling) terhadap diri sendiri (misal: “Saya orang yang bodoh”, “Saya seorang pendosa besar”) yang sebenarnya dilakukan tanpa mempertimbangkan bukti-bukti yang proporsional.


Contoh lainnya, ketika seseorang larut dalam self-judgement, muncul cara berpikir all-or-nothing, atau memandang dunia hanya menjadi dua kategori (seperti “hitam atau putih”, “0% atau 100%”, “baik atau buruk”, “sukses atau gagal”) (Beck, 2011; Westbrook et al., 2011). Apabila seseorang memiliki cara berpikir all-or-nothing thinking, akan sangat mudah baginya untuk menyimpulkan bahwa ia merupakan seseorang yang 100% tidak kompeten ketika melakukan kesalahan. Selain itu, seseorang bisa menganggap bahwa kesalahan yang dilakukan adalah 100% disebabkan oleh dirinya seorang. Kemudian contoh lainnya, bagi seorang muslim yang memiliki cara berpikir all-or-nothing thinking, bisa saja dirinya terjebak pada keyakinan bahwa Allah ﷻ tidak akan mengampuninya setelah ia berbuat suatu kesalahan.


Healthy vs. Unhealthy Guilt

Mengakui bahwa diri berbuat kesalahan dan memiliki kekurangan, serta merasa bersalah, malu, dan menyesal karenanya sebenarnya bukan hal yang sepenuhnya buruk. Coba bayangkan apabila kita tidak mengakui kesalahan yang kita perbuat dan memendam rasa bersalah dan menyesal. Kita kemungkinan besar akan kurang terdorong untuk memperbaiki dan tidak mengulangi kesalahan kita. Hal tersebut tentu akan semakin merugikan diri kita sendiri dan orang lain. Dengan demikian, perlu untuk kita ketahui bersama bahwa perasaan-perasaan tersebut merupakan hal yang harus kita sadari dan terima, alih-alih menolaknya atau mencoba untuk menghilangkannya. Inilah yang disebut dengan healthy guilt (Awad & Sultan, 2020; Epstein, 2023), yaitu ketika rasa bersalah yang kita miliki mendorong kita menjadi sosok yang lebih baik.


Healthy guilt adalah hal sangat dianjurkan bagi seorang muslim. Ketika seorang muslim berbuat dosa, memang sebaiknya ia tidak meremehkan kesalahan yang diperbuatnya (Tuasikal, 2010). Artinya, seorang muslim perlu mengakui kesalahan, dibandingkan mengabaikannya. Kemudian, rasa malu bahkan disebut sebagai salah satu cabang dari keimanan. Sebab, rasa malu dapat menjadi pengingat seorang muslim untuk menghindari perbuatan maksiat, mengikuti perintah Allah ﷻ, dan berupaya untuk memohon ampunan-Nya ketika berbuat dosa (Andirja, 2021a; Awad & Sultan, 2020). Dengan kata lain, sangat penting untuk memiliki rasa malu dan bersalah dengan intensitas yang cukup.


حَدَّثَنَا أَبُو الْوَلِيدِ، حَدَّثَنَا مَهْدِيٌّ، عَنْ غَيْلاَنَ، عَنْ أَنَسٍ ـ رضى الله عنه ـ قَالَ إِنَّكُمْ لَتَعْمَلُونَ أَعْمَالاً هِيَ أَدَقُّ فِي أَعْيُنِكُمْ مِنَ الشَّعَرِ، إِنْ كُنَّا نَعُدُّهَا عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم الْمُوبِقَاتِ‏.‏ قَالَ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ يَعْنِي بِذَلِكَ الْمُهْلِكَاتِ‏.‏‏

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Sesungguhnya kalian mengerjakan amalan (dosa) di hadapan mata kalian tipis seperti rambut, namun kami (para sahabat) yang hidup di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menganggap dosa semacam itu seperti dosa besar.” (HR Bukhari No. 6492).


الإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الأَذَى عَنِ الطَّرِيقِ وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الإِيمَانِ

Iman itu ada 70 atau 60 sekian cabang. Yang paling tinggi adalah perkataan ‘laa ilaha illallah’ (tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah), yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalanan, dan sifat malu merupakan bagian dari iman.” **(HR Bukhari No. 9 & HR Muslim No. 35).


Akan tetapi, perlu diperhatikan bahwa rasa bersalah dan malu yang kita rasakan tidak boleh berlebihan dan terus dirasakan secara berlarut-larut. Atau dengan kata lain, kita perlu menghindari unhealthy guilt. Unhealthy guilt muncul karena adanya self-judgement (mengevaluasi diri secara negatif dan kurang realistis) sehingga akan merugikan kita. Hal ini karena self-judgment dapat menghambat seseorang untuk mengembangkan dan memperbaiki diri (Cohen, 2021). Sebagai contoh, ketika seseorang sangat meyakini bahwa dirinya merupakan seseorang yang tidak pandai untuk melakukan presentasi karena orang tersebut pernah salah ucap, maka orang tersebut akan cenderung menghindari situasi di mana dirinya harus melakukan presentasi. Hal ini kemudian membuat kemampuan presentasi dirinya menjadi tidak akan berkembang. Contoh lainnya adalah seseorang yang memandang bahwa dirinya adalah seorang pendosa besar akan berpikir bahwa sudah terlambat untuk memperbaiki diri mengingat dosanya yang teramat besar. Hal tersebut dapat menimbulkan perasaan ragu untuk bertaubat kepada Allah ﷻ karena dirinya meyakini bahwa dirinya tidak akan diampuni oleh Allah ﷻ. Lebih lanjut lagi, self-judgment yang membuat seseorang berputus asa dengan tidak mengembangkan dirinya, berpotensi membuat keyakinan yang negatif mengenai dirinya semakin kuat. Sebab, ia tidak terpapar dengan bukti-bukti yang positif tentang dirinya, seperti kemampuan presentasi yang semakin membaik berkat latihan atau memiliki keimanan yang semakin kuat berkat kegigihannya dalam bertaubat.


Empat Cara untuk Membebaskan Diri dari Self-Judgment dan Unhealthy Guilt

Dari pemaparan sebelumnya, adalah hal yang lebih baik jika kita membebaskan diri dari self-judgment dan unhealthy guilt yang menghantui. Akan tetapi, bagaimana caranya?


Bersikap Baik terhadap Diri Sendiri (Self-Kindness)

Self-kindness adalah lawan/kebalikan dari self-judgment, yaitu bersikap lembut dan pengertian terhadap diri sendiri (Neff, 2011). Alih-alih mencela, mengkritisi, dan menghakimi diri kita sendiri secara berlebihan, kita bisa mencoba memberikan kesempatan bagi diri kita untuk belajar dari kesalahan yang kita perbuat. Self-kindness bisa kita terapkan kepada diri sendiri, seakan-akan kita juga memperlakukan orang lain yang kita sayangi. Apabila orang yang kita sayangi berbuat kesalahan dan merasa bersalah, tentu kita akan cenderung berusaha menenangkannya dengan berkata, “It’s okay to make mistakes. Tidak apa-apa, berbuat kesalahan adalah sesuatu yang wajar.”. Maka dari itu, kita bisa mencoba untuk menerapkan hal yang sama kepada diri kita sendiri. Hal ini dapat membantu kita agar tidak terjebak pada keharusan untuk menjadi manusia yang sempurna.


Kembali kepada contoh seseorang yang merasa bahwa dirinya selalu mengecewakan orang-orang di sekitarnya karena dirinya ditegur oleh atasan atas hasil pekerjaannya yang kurang memuaskan. Pada situasi tersebut, self-judgment bisa kita modifikasi menjadi self-kindness, seperti contoh di bawah ini:



Selain itu, self-kindness juga melibatkan upaya aktif kita untuk menenangkan diri sendiri ketika dihadapkan pada situasi sulit (Neff, 2011). Setelah melakukan kesalahan, pastinya terdapat ketidaknyamanan yang kita rasakan secara fisik maupun psikis, seperti jantung berdegup dengan kencang, cemas, stres, overthinking, dan lain-lain. Dengan self-kindness, kita mencoba untuk menyadari situasi sulit yang sedang kita hadapi dan berusaha menenangkan diri dari ketidaknyamanan yang ditimbulkan dari situasi sulit tersebut. Berikut ini beberapa kegiatan yang dapat membantu kita dalam menenangkan diri ketika berada di situasi sulit (Gould, 2021; Menaldi et al., 2023; Nash, 2022):

  • Latihan pernapasan

  • Melaksanakan kegiatan yang dirasa menyenangkan (hobi)

  • Memijat diri sendiri

  • Melakukan meditasi atau ibadah

  • Mengucapkan kalimat positif terhadap diri sendiri.

  • Menulis catatan harian/journaling mengenai apa yang sedang dipikirkan dan dirasakan.


Memaafkan Diri Sendiri (Self-Forgiveness)

Memaafkan diri sendiri (self-forgiveness) adalah secara sengaja untuk melepaskan perasaan bersalah dan malu yang berlebihan terhadap kesalahan yang telah kita perbuat. Dalam hal ini, kita telah menerima (accepting) terhadap berbagai kesalahan yang telah kita lakukan dan mencoba untuk move-on dari kesalahan tersebut tanpa merenungkannya secara berlarut-larut (Cherry, 2023). Oleh karena itu, memaafkan diri tidak sama dengan melupakan kesalahan yang kita perbuat, serta mengingat bahwa diri tidak hanya berisikan kekurangan dan kesalahan, melainkan juga ada kualitas baik dan keinginan untuk memperbaiki diri (Greenberger & Padesky, 2015). Memaafkan diri sendiri dapat membantu kita untuk tidak berpikir all-or-nothing, yaitu untuk menjadi orang yang baik bukan berarti kita tidak pernah melakukan satu pun kesalahan. Begitu pun sebaliknya, kita tidak serta-merta menjadi seseorang yang jahat apabila kita pernah melakukan satu kesalahan.


Untuk menjadi seseorang yang pemaaf terhadap diri sendiri, kita dapat mencoba untuk bertanya kepada diri sendiri dengan menggunakan beberapa pertanyaan berikut:

  • Mengapa penting bagi saya untuk memaafkan diri sendiri?

  • Apa yang akan terjadi kepada hidup saya apabila saya memaafkan diri saya sendiri?

  • Apa reaksi saya apabila terdapat orang lain yang melakukan kesalahan yang sama seperti saya?


Akan tetapi, bagi beberapa orang, memaafkan diri adalah hal yang sulit untuk dilakukan. Kita mungkin cenderung lebih mudah untuk memaafkan kesalahan orang lain ketimbang diri sendiri. Hal yang dapat menjadi penghambatnya adalah adanya pemikiran bahwa ia sepenuhnya bertanggung jawab atau bersalah atas kesalahan yang diperbuat. Sebagai dampaknya, ia menjadi mengevaluasi bahwa kesalahan tersebut tidak patut/berhak untuk dimaafkan. Akan tetapi, jika kita tinjau kembali, apakah ada orang yang benar-benar 100% murni menjadi penyebab atau bertanggung jawab atas kesalahannya? Bagaimana dengan faktor situasional, lingkungan, dan orang lain yang berada di luar kontrol seseorang? Lebih jauh lagi, bagaimana faktor kehendak dari Tuhan, Allah ﷻ yang Maha Menguasai?


Jika hambatan tersebut dialami, kita bisa mencoba untuk berefleksi apa saja faktor-faktor (baik dari dalam maupun luar diri) yang dapat berkontribusi/berperan terhadap kesalahan yang kita perbuat. Kemudian, kita bisa menggambar yang disebut dengan responsibility pie (bahasa Indonesia: diagram tanggung jawab) (Greenberger & Padesky, 2015), yang contohnya bisa kita lihat pada ilustrasi di bawah. Sebagai tambahan, saat kita membagi diagram ke dalam beberapa potongan, gambarkan kontribusi/bagian dari dirimu terakhir kali. Hal tersebut untuk mencegah bias dalam membagi lingkaran, seperti terlalu banyak mengalokasikan bagian lingkaran untuk diri sendiri. Dengan menggambar responsibility pie, kita akan terbantu untuk semakin menyadari bahwa kesalahan yang kita lakukan tidak seluruhnya disebabkan oleh diri kita sendiri—sehingga kita lebih mudah mengizinkan diri untuk “dimaafkan”. Selain itu, responsibility pie juga dapat membantu kita untuk merefleksikan seberapa besar dampak dari kesalahan yang telah kita lakukan, serta merencanakan hal-hal untuk memperbaiki dampak dari kesalahan tersebut (Greenberger & Padesky, 2015). Perlu diingat juga, cara ini bukan dimaksudkan untuk meminimalisasi kesalahan kita, tapi untuk melihatnya dengan lebih apa adanya dan sesuai realita.


Untuk memudahkan penerapan responsibility pie, kita dapat kembali kepada contoh seseorang yang merasa bahwa dirinya selalu mengecewakan orang-orang di sekitarnya karena dirinya ditegur oleh atasan atas hasil pekerjaannya yang kurang maksimal. Gambar di bawah ini merupakan responsibility pie yang dapat digambar oleh orang tersebut:





Hambatan lainnya adalah ketika kita berpikir bahwa Allah ﷻ tidak akan memaafkan dosa yang kita perbuat. Akan tetapi, perlu kita ingat bahwa Allah ﷻ merupakan Zat yang Maha Pengampun. Dalam 99 nama-Nya (Asmaul Husna), Allah ﷻ memiliki nama Al-Ghafar dan Al-Ghafur yang berarti Maha Pengampun. Allah ﷻ memang ingin hambanya menghindari perbuatan maksiat dan tidak berbuat dosa, namun Allah ﷻ di satu sisi juga menciptakan manusia yang rentan lupa dan menjadikan kesalahan sebagai sifat yang menempel (Andirja, 2021b). Hikmah yang kita bisa petik adalah sebaik-baiknya manusia yang berdosa adalah justru mereka yang secara tulus bertaubat. Oleh karena itu, sebagai hamba-Nya, kita dapat meneladani nama Allah ﷻ yang Maha Pengampun dengan berlatih untuk menjadi manusia yang pemaaf, termasuk kepada diri sendiri. Selain itu, kita wajib berbaik sangka kepada Allah ﷻ, bahwa sepanjang kita berupaya untuk bertaubat, kasih sayang dan pemaafan Allah ﷻ akan menghampiri kita tanpa perlu kita ragukan. Kemudian, kita bisa kembali bertanya kepada diri kita sendiri, jika Allah ﷻ akan memaafkan kita, apakah hal yang bijak untuk tidak memaafkan diri kita sendiri?


Muhasabah Diri (Self-Introspection)

Dalam ajaran Islam, terdapat suatu konsep bernama muhasabah diri. Dalam bahasa Indonesia, muhasabah diri biasa dikenal dengan istilah ‘evaluasi diri’, ‘introspeksi diri’, atau juga ‘mengoreksi diri’. Secara umum, muhasabah diri diterapkan dengan melihat kembali amalan yang telah dilakukan, lalu secara bertanggung jawab mengoreksi kesalahan kemudian menggantinya dengan amal shalih (Tuasikal, 2017). Tujuan dari muhasabah diri adalah untuk menghindarkan sifat sombong dari diri kita dan memotivasi kita agar memanfaatkan waktu secara maksimal dalam hal beramal baik dan beribadah kepada Allah ﷻ (Andirja, 2021c; Tuasikal, 2017).


Anjuran untuk mengamalkan muhasabah diri telah ditegaskan melalui firman Allah ﷻ maupun berdasarkan perkataan salah satu sahabat Nabi Muhammad ﷺ, Umar bin Khattab radhiyallahu 'anhu:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍۚ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ خَبِيْرٌ ۢبِمَا تَعْمَلُوْنَ

“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. Al-Hasyr: 18)


حَاسِبُوا أَنْفُسَكُمْ قَبْلَ أَنْ تُحَاسَبُوا، وَزِنُوها قَبْلَ أَنْ تُوزَنُوا، وَتَأهَّبُوا لِلْعَرْضِ الْأَكْبَرِ

Hendaklah kalian menghisab diri kalian sebelum kalian dihisab, dan hendaklah kalian menimbang diri kalian sebelum kalian ditimbang, dan bersiap-siaplah untuk hari besar ditampakkannya amal” (Diriwayatkan oleh At Tirmidzi dalam Shifatul Qiyamah, disebutkan oleh Imam Ahmad dalam kitab Zuhud-nya dan Ibnul Qayyim dalam Madarijus Salikin 1/319)


Sebagai tambahan, agar introspeksi diri dapat lebih menyeluruh, kita juga bisa mengidentifikasi dan mengingat kebaikan yang kita perbuat sepanjang hidup. Hal ini bermanfaat agar kita dapat melihat diri kita secara lebih seimbang, yakni sebagai orang yang rentan berbuat salah (yang pada dasarnya adalah sifat semua manusia) sekaligus sebagai orang yang juga memiliki kualitas terpuji. Dengan begitu, kita dapat lebih sejahtera secara mental dan puas dengan kehidupan kita (Ko et al., 2019). Kita juga dapat membangun keyakinan bahwa diri saya adalah orang yang juga baik, bermanfaat, dan berada dalam proses—bukan orang yang sepenuhnya dan selamanya tidak kompeten, tidak dicintai, dan tidak berharga.


Self-Improvement

Langkah selanjutnya setelah introspeksi diri (terutama menyadari kesalahan) adalah memperbaiki diri (self-improvement). Hal tersebut dilakukan dengan secara tulus bertaubat, berbuat amal baik lebih banyak lagi, dan melakukan berbagai hal yang masih bisa dilakukan untuk memperbaiki kesalahan/kekurangan kita. Kesalahan kita di masa lalu memang tidak bisa diubah. Akan tetapi, kita masih bisa memperbaiki keadaan di masa kini yang berada dalam kendali kita. Dengan demikian, kita bisa menjadi orang yang bertanggung jawab atas kesalahan kita dan mengalami healthy guilt.


Kita bisa mengidentifikasi, menyusun, dan menerapkan rencana dalam upaya perbaikan diri. Kita bisa mengajukan beberapa pertanyaan kepada diri sendiri (Greenberger & Padesky, 2015), seperti:

  • Kepada siapakah saya berbuat kesalahan? (apakah diri sendiri atau pihak lain?)

  • Apa saja kesalahan yang saya lakukan?

  • Mengapa perbuatan saya itu merupakan kesalahan?

  • Apa saja hal-hal yang dapat saya lakukan untuk memperbaiki kesalahan tersebut?

Bagi seorang muslim yang beramal baik, kebaikan tersebut akan dicatat berkali-kali lipat lebih banyak oleh Allah ﷻ dibandingkan dosa/kesalahannya. Bahkan, amalan baik sekecil apa pun tidak akan bersifat sia-sia. Dengan mengingat hal tersebut bersama dengan sifat Allah ﷻ yang Maha Pengampun, kita bisa lebih optimis bahwa selalu ada kesempatan untuk memperbaiki diri.


فَمَنۡ يَّعۡمَلۡ مِثۡقَالَ ذَرَّةٍ خَيۡرًا يَّرَهٗ

“Maka barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya,” (QS. Al-Zalzalah: 7).


إِذَا أَرَادَ عَبْدِيْ أَنْ يَعْمَلَ سَيِّئَةً ؛ فَلَا تَكْتُبُوْهَا عَلَيْهِ حَتَّى يَعْمَلَهَـا ، فَإِذَا عَمِلَهَا فَاكْتُبُوْهَا بِمِثْلِهَا ، وَإِنْ تَرَكَهَا مِنْ أَجْلِـيْ فَاكْتُبُوْهَا لَهُ حَسَنَةً ، وَإِذَا أَرَادَ أَنْ يَعْمَلَ حَسَنَةً فَلَمْ يَعْمَلْهَا فَاكْتُبُوْهَا لَهُ حَسَنَةً ؛ فَإِذَا عَمِلَهَا فَاكْتُبُوْهَا لَهُ بِعَشْرِ أَمْثَالِـهَا إِلَى سَبْعِمِائَةٍ

Jika hamba-Ku berniat melakukan kesalahan, maka janganlah kalian menulis kesalahan itu sampai ia (benar-benar) mengerjakannya. Jika ia sudah mengerjakannya, maka tulislah sesuai dengan perbuatannya. Jika ia meninggalkan kesalahan tersebut karena Aku, maka tulislah untuknya satu kebaikan. Jika ia ingin mengerjakan kebaikan namun tidak mengerjakannya, tulislah sebagai kebaikan untuknya. Jika ia mengerjakan kebaikan tersebut, tulislah baginya sepuluh kali kebaikannya itu hingga tujuh ratus (kebaikan).” (QS. Al-Bukhari No. 7561)


Penutup

Dengan demikian, kita dapat mengambil hikmah bahwa sesungguhnya kita tidak luput dari penyesalan atas kesalahan yang telah kita lakukan. Akan tetapi, perasaan menyesal tersebut hendaknya tidak mendorong kita untuk mencela dan menjelekkan diri sendiri. Selain itu, perasaan menyesal tersebut jangan sampai membuat kita berputus asa dari rahmat Allah ﷻ. Penyesalan yang dirasakan dapat kita peluk dan arahkan sebagai dorongan untuk menjadi seseorang yang lebih baik dan bertakwa—dengan menerapkan self-kindness, self-forgiveness, self-introspection, dan self-improvement.


Semoga kita bisa lebih bersikap kepada diri sendiri dengan kebaikan dan tidak mendefinisikan diri kita semata-mata berdasarkan kesalahan yang kita perbuat. Tidak ada kata terlambat untuk memperbaiki diri serta masih ada harapan untuk terus berproses.


Oleh Dimas Faturamadhan dan Raissa Fatikha, S.Psi.



Referensi


96 tampilan0 komentar

Postingan Terakhir

Lihat Semua
bottom of page