top of page

Alasan di Balik Bunuh Diri

Trigger warning (Peringatan)

Artikel ini mengandung pembahasan mengenai bunuh diri. Dimohon untuk membaca dengan bijak. Segera hubungi nomor darurat 119 (nomor Kemenkes/Ambulans) atau 112 (integrasi semua nomor darurat). Bisa juga ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) di rumah sakit terdekat apabila terdapat situasi darurat yang mengancam nyawa.


Menumbuhkan harapan melalui berbagai usaha dan tindakan nyata untuk mencegah bunuh diri adalah fokus utama dari upaya pencegahan bunuh diri (WHO, 2023). Pencegahan bunuh diri merupakan hal yang penting dan perlu mendapatkan perhatian lebih, termasuk di Indonesia. Angka bunuh diri di Indonesia pada tahun 2023 ini disebutkan mengalami peningkatan sebesar 75% dibandingkan tahun sebelumnya (Pusiknas Bareskrim Polri, 2023). Sayangnya, sistem pencegahan bunuh diri di Indonesia masih jauh dari kata ideal. Bahkan, angka kematian akibat bunuh diri di Indonesia yang tercatat sebenarnya jauh lebih sedikit dibandingkan angka kematian yang sebenarnya terjadi (Asosiasi Pencegahan Bunuh Diri Indonesia, n.d.). Meskipun begitu, segala perhatian dan usaha dari berbagai pihak, tidak peduli seberapa besarnya, tetap berarti untuk menekan kasus bunuh diri yang terjadi.


Mengenali Motif Bunuh Diri

Sebelum memberikan bantuan kepada mereka yang sedang memiliki keinginan untuk mengakhiri hidup, tentunya kita harus memahami terlebih dahulu motif yang mendorong keinginan tersebut muncul. Aaron Beck (1979) dalam bukunya yang berjudul Cognitive Therapy of Depression menyebutkan bahwa terdapat dua motif yang melatarbelakangi seseorang untuk terpikir dan/atau memilih mengakhiri hidupnya, yakni escape from life dan manipulation of others. Artikel ini hanya akan membahas motif manipulation of others secara lebih mendalam, juga sekilas mengenai bentuk kepercayaan/pikiran lainnya yang melatarbelakangi bunuh diri. Pembahasan mengenai motif escape from life sudah dibahas sebelumnya dan dapat Anda temui pada artikel “Suicide Mind” di sini.


  • Manipulation of Others

Manipulation of others disebutkan menjadi salah satu alasan pada sebagian orang yang mencoba untuk mengakhiri hidupnya. Lebih lanjut, motif ini adalah ketika seseorang mencoba untuk bunuh diri dengan harapan bahwa tindakan mereka dapat membuat orang yang dianggap penting/signifikan kembali kepada mereka dan membuat orang lain sadar bahwa mereka membutuhkan bantuan (Beck et al., 1979; Kovacs et al., 1975). Dengan kata lain, motif manipulation of others adalah ketika seseorang menginginkan perubahan terjadi pada konteks hubungannya dengan orang lain, meskipun cara yang digunakan membahayakan dirinya. Sebelumnya, pada penelitian yang melibatkan 200 pasien yang dirawat inap karena percobaan bunuh diri (Kovacs et al., 1975), ditemukan bahwa 13% dari para partisipan menyebutkan alasan tindakannya terkait dengan tema manipulation of others. Selain itu, penelitian pada 72 tentara aktif di Amerika serikat juga menemukan 80,1% partisipan menyebutkan alasan yang berada dalam satu tema dengan motif manipulation of others, yaitu ketika upaya bunuh diri ditujukan untuk mendapatkan keuntungan dari lingkungan sosial (social reinforcement) (Bryan et al., 2013).


Tentu, motif ini perlu kita sikapi dengan bijak untuk menghindari stigma terkait bunuh diri. Perlu bagi kita untuk mendalami kembali alasan lainnya yang dapat mendahului adanya motif manipulation of others. Terkait pemaparan sebelumnya, ada situasi pemicu yang membuat motif tersebut muncul pada seorang individu, seperti masalah interpersonal dengan orang terdekatnya. Selain itu, dipilihnya opsi untuk mencoba mengakhiri hidup bisa mencerminkan bagaimana individu tersebut kurang mengetahui cara yang lebih adaptif untuk menyelesaikan masalahnya. Bisa jadi, ia tidak terpikir dan menguasai cara lain yang lebih efektif untuk menyelesaikan masalah interpersonal, seperti berkomunikasi. Kemudian, ada kemungkinan bahwa pengalamannya di masa lalu membentuk cara seseorang tersebut dalam berpikir dan berperilaku ketika berada dalam masalah. Meskipun begitu, tetap menjadi hal yang penting bagi seseorang yang mencoba bunuh diri dengan alasan ini untuk dibantu belajar dan menguasai cara yang lebih adaptif untuk mengatasi permasalahannya (Beck et al., 1979).


Selain itu, apakah motif ini adalah faktor pendorong tindakan bunuh diri yang paling kuat? Apakah motif ini ditemukan pada semua orang yang mencoba atau akhirnya meninggal karena bunuh diri? Berdasarkan riset atau literatur, sejauh pencarian tim penulis, belum banyak bukti yang menyebutkan manipulation of others sebagai faktor pendorong bunuh diri terkuat (Bryan et al., 2013; O’Connor & Nock, 2014; Wenzel et al., 2004; lihat juga meta-analisis dari Franklin et al., 2017 pada riset-riset dalam 50 tahun terakhir). Alasan ini cenderung lemah dalam memprediksikan kemunculan intensi dan percobaan bunuh diri yang aktual dibandingkan faktor lainnya, seperti hopelessness atau escape from life (Beck et al., 1979; Bryan et al., 2013). Motif ini juga belum banyak dieksplor secara empiris/melalui penelitian secara lebih lanjut sehingga terlalu dini bagi kita untuk dapat menyimpulkan hal tersebut (Bryan et al., 2013).


Oleh karenanya, memberikan label yang terlalu menggeneralisasi bahwa semua orang yang mencoba bunuh diri bersifat “manipulatif” atau juga “pencari perhatian” bukanlah menjadi sikap yang paling membantu. Perlu kita pahami, sikap tersebut berpotensi menjadi stigma bunuh diri yang menghambat orang yang memiliki keinginan bunuh diri untuk mencari bantuan (Oexle et al., 2022). Selain itu, kita sulit memprediksikan kapan secara pasti seseorang akan pada akhirnya memutuskan untuk mengakhiri hidup (Esposti & Kaufman, 2023). Bahkan, seseorang bisa memiliki motif bunuh diri yang berbeda secara bersamaan (Beck et al., 1979). Dengan demikian, kita sebaiknya tidak meremehkan dan mengabaikan motif bunuh diri ini beserta orang yang memiliki motif tersebut.


  • Perceived Burdensomeness & Thwarted Belongingness

Selain escape from life dan manipulation of others, individu yang bunuh diri bisa juga memiliki kepercayaan bahwa dirinya adalah beban bagi orang-orang di sekitarnya, atau disebut perceived burdensomeness. Mereka berpikir bahwa dirinya bukan orang yang “pantas”, “berhak”, atau “cukup berharga” untuk hidup. Selain itu, mereka percaya orang lain akan lebih bahagia jika dirinya tidak lagi ada di dunia dan bersama mereka. Di satu sisi, ada pula faktor lainnya yaitu thwarted belongingness, ketika seseorang menilai bahwa ia tidak memiliki koneksi yang dekat dan hangat dengan orang lain (Joiner et al., 2021). Bisa kita bayangkan, bahwa ketika terpikir dirinya adalah “beban” bagi orang di sekitarnya, pilihan untuk pergi bisa dinilai sebagai hal yang menurutnya terbaik atau paling menguntungkan bagi semua orang. Terlebih lagi, jika ia percaya bahwa dirinya tidak dicintai, dorongan untuk mengakhiri hidup bisa menjadi semakin kuat.


Perceived burdensomeness dan thwarted belongingness akan semakin memprediksikan bunuh diri apabila seseorang juga kehilangan harapan (atau hopelessness). Akan tetapi, hopelessness yang dimaksud ini lebih spesifik/khusus. Hopelessness pada konteks ini adalah ketika seseorang kesulitan melihat jalan keluar dalam memperbaiki situasi agar bisa memiliki hubungan sosial yang bermakna dan bisa menerima dirinya (Joiner et al., 2021).


Adakah Faktor Selain Motif dan Kepercayaan yang Memprediksikan Bunuh Diri?

Motif dan kepercayaan memang menjadi faktor yang penting. Akan tetapi, ada hal lain pula yang membuat bunuh diri menjadi lebih mungkin untuk terealisasikan. Mengacu pada cognitive model of suicide behavior dari Wenzel dan Beck (2008), faktor pertama adalah kerentanan (vulnerability). Dengan kata lain, ada beberapa orang dengan karakteristik tertentu yang memang lebih berisiko untuk memiliki pikiran sampai melakukan bunuh diri. Lebih lanjut, kerentanan tersebut antara lain kepribadian (misal: perfeksionis, neuroticism (atau kepribadian yang rentan akan stres), impulsif), kurangnya keterampilan penyelesaian masalah (problem-solving deficit), dan kecenderungan cara berpikir yang kaku dan maladaptif (O’Connor & Nock, 2014; Wenzel & Beck, 2008).


Selain itu, individu yang memiliki gangguan psikologis, seperti gangguan depresi, kecemasan, hingga gangguan kepribadian, dapat menjadi faktor risiko yang kuat terhadap munculnya ide dan percobaan bunuh diri (Franklin et al., 2017). Kemudian, mengalami peristiwa hidup yang negatif dan/atau traumatis saat masih kecil maupun saat dewasa (contoh: menjadi korban kekerasan, kedukaan orang terdekat, bencana alam, memiliki penyakit kronis, dan lain-lain) (O’Connor & Nock, 2014) bisa menjadi faktor risiko lainnya. Faktor sosial seperti kurangnya dukungan sosial/merasa terisolasi dan status ekonomi sosial yang rendah juga bisa berpengaruh. Tidak hanya itu, adanya akses ke hal-hal yang dapat membahayakan nyawa (misal: senjata, obat-obatan, tempat tinggi, informasi seputar bunuh diri) berisiko membuat bunuh diri semakin mudah dilakukan (Franklin et al., 2017).


Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat kita ketahui bersama bahwa bunuh diri tidak hanya dipicu oleh faktor internal dari orang tersebut. Terdapat banyak faktor eksternal yang turut berperan Dengan demikian, sebaiknya kita tidak dengan mudahnya menarik kesimpulan mengenai keinginan dan perilaku bunuh diri seseorang tanpa terlebih dahulu meninjau motif yang melatarbelakanginya secara menyeluruh.


Bagaimana Jika Orang Terdekat Saya Memiliki Keinginan untuk Mengakhiri Hidupnya?

Menghadapi seseorang yang memiliki keinginan untuk mengakhiri hidup merupakan hal yang yang tidak mudah, apalagi jika hal tersebut dialami oleh orang terdekat kita. Sering kali kita memilih untuk tidak membahas topik terkait bunuh diri dengan mereka karena dikhawatirkan akan membuat keinginan untuk melakukannya semakin kuat. Akan tetapi, berbicara mengenai bunuh diri sebenarnya dapat membantu meredakan perasaan terisolasi yang mereka rasakan (Kring & Johnson, 2018). Sebagian besar orang yang memiliki pemikiran untuk mengakhiri hidup masih ragu-ragu untuk terlibat dalam perilaku bunuh diri. Oleh sebab itu, membicarakan masalah ini secara terbuka dan menjadi seorang pendengar yang baik dapat membantu mereka menemukan alternatif lain untuk mengatasi rasa sakit yang mendorong keinginan tersebut. Terlebih lagi, pemaparan sebelumnya yang membahas terkait motif bunuh diri juga secara tidak langsung mengimplikasikan betapa pentingnya dukungan sosial bagi orang-orang yang rentan untuk bunuh diri.


Berikut ini merupakan beberapa cara yang dapat kita lakukan untuk menjadi pendengar yang baik bagi orang terdekat kita yang memiliki keinginan untuk mengakhiri hidup (Gordon, 2021; Into the Light, 2019):

  1. Memberikan respons secukupnya saat mereka sedang bercerita.

  2. Melakukan parafrase/mengulangi poin-poin penting cerita mereka dengan menggunakan kata-katamu sendiri.

  3. Merangkum percakapan mereka dengan menggunakan kata-katamu sendiri untuk menunjukkan bahwa kamu benar-benar menyimak cerita mereka.

  4. Mengakui/memvalidasi perasaan yang mereka alami. Contoh: “Pasti sangat sulit ya untuk berada di posisimu.”

  5. Tunjukkan bahwa kamu berempati dengan cerita mereka dan bersedia untuk membantu mereka. Contoh: “Saya turut sedih atas kejadian yang kamu alami.” dan “Kalau kamu butuh bantuan, aku ada untukmu.”

  6. Perlihatkan aspek nonverbal untuk menunjukkan bahwa kamu menyimak percakapan, seperti posisi tubuh yang condong ke arah lawan bicara, menganggukan kepala, dan lain-lain.

  7. Menerima cerita mereka dengan apa adanya. Hindari respons yang bersifat menyinggung, seperti menghakimi, berdebat, menyela pembicaraan, ataupun memberikan nasihat saat tidak diminta. Akan tetapi, “menerima” di sini adalah sebatas berempati terhadap motif dan berbagai alasan yang melatarbelakangi bunuh diri—bukan untuk menormalisasi perilaku bunuh diri itu sendiri.

  8. Menentukan batas bahwa perilaku bunuh diri bukanlah cara satu-satunya untuk menyelesaikan masalah.

  9. Dukung dan fasilitasi mereka untuk segera berkonsultasi dengan tenaga profesional kesehatan mental. Akan tetapi, hindari dengan cara yang memaksa atau membawanya mengunjungi tenaga profesional tanpa diskusi dan persetujuan dari yang bersangkutan.


Oleh: Raissa Fatikha, S.Psi. & Dimas Faturamadhan


Referensi

  • Asosiasi Pencegahan Bunuh Diri Indonesia. (2022). Statistik bunuh diri. Retrieved Septmeber 8, 2012, from https://www.inasp.id/suicide-statistics

  • Beck, A. T., Rush, A. J., Shaw, B. F., & Emery, G. (1979). Cognitive therapy of depression. The Guilford Press.

  • Bryan, C. J., Rudd, M. D., & Wertenberger, E. (2013). Reasons for suicide attempts in a clinical sample of active duty soldiers. Journal of Affective Disorders, 144(1–2), 148–152. https://doi.org/10.1016/j.jad.2012.06.030

  • Esposti, M. D., & Kaufman, E. J. (2023). Can suicide risk be predicted to plan for prevention? The Lancet Public Health, 8(3), e162–e163. https://doi.org/10.1016/S2468-2667(22)00339-5

  • Franklin, J. C., Ribeiro, J. D., Fox, K. R., Bentley, K. H., Kleiman, E. M., Huang, X., Musacchio, K. M., Jaroszewski, A. C., Chang, B. P., & Nock, M. K. (2017). Risk factors for suicidal thoughts and behaviors: A meta-analysis of 50 years of research. Psychological Bulletin, 143(2), 187–232. https://doi.org/10.1037/bul0000084

  • Gordon, K. H. (2021). The suicidal thoughts workbook: CBT skills to reduce emotional pain, increase hope, and prevent suicide. New Harbinger Publications, Inc.

  • Into the Light (2019, December 23). Menjadi pendengar yang baik. https://www.intothelightid.org/tentang-bunuh-diri/menjadi-pendengar-yang-baik/

  • Joiner, T. E., Jeon, M. E., Lieberman, A., Janakiraman, R., Duffy, M. E., Gai, A. R., & Dougherty, S. P. (2021). On prediction, refutation, and explanatory reach: A consideration of the Interpersonal Theory of Suicidal Behavior. Preventive Medicine, 152(P1), 106453. https://doi.org/10.1016/j.ypmed.2021.106453

  • Kovacs, M., Beck, A. T., & Weissman, A. (1975). The use of suicidal motives in the psychotherapy of attempted suicides. American Journal of Psychotherapy, 29(3), 363–368. https://doi.org/10.1176/appi.psychotherapy.1975.29.3.363

  • Kring, A. M., Johnson, S. (2018). Abnormal psychology: The science and treatment of psychological disorders (14th ed.). Wiley.

  • O’Connor, R. C., & Nock, M. K. (2014). The psychology of suicidal behaviour. The Lancet Psychiatry, 1(1), 73–85. https://doi.org/10.1016/S2215-0366(14)70222-6

  • Oexle, N., Valacchi, D., Grübel, P., Becker, T., & Rüsch, N. (2022). Two sides of the same coin the association between suicide stigma and suicide normalisation. Epidemiology and Psychiatric Sciences, 31. https://doi.org/10.1017/S2045796022000610

  • Pusiknas Bareskrim Polri. (2023, June 21). Lebih 60 jiwa melayang karena bunuh diri sejak 2022. https://pusiknas.polri.go.id/detail_artikel/lebih_60_jiwa_melayang_karena_bunuh_diri_sejak_2022

  • World Health Organization. (2023). World Suicide Prevention Day 2023. https://www.who.int/campaigns/world-suicide-prevention-day/2023



73 tampilan0 komentar

Postingan Terakhir

Lihat Semua
bottom of page