top of page
Gambar penulisFirman Ramdhani, M.Psi., Psikolog

Pelajaran dari Cognitive Behavioral Therapy untuk Mencegah Bunuh Diri

10 September adalah hari peringatan pencegahan bunuh diri sedunia. Tahun lalu saja kita dipaparkan dengan data setiap 20 detik terdapat satu orang meninggal karena bunuh diri. Data yang sangat mencengangkan..!!! bagaimana dengan tahun ini? Dengan adanya pandemic mudah-mudahan tidak menjadi lebih buruk ya.


Terdapat banyak pendekatan dalam rangka mencegah bunuh diri, salah satunya adalah dengan menggunakan pendekatan Cognitive Behavioral Therapy (CBT). Dalam konteks psikoterapi, CBT terbukti efektif dalam menangani kasus suicide, yang biasanya terdapat pada gangguan depresi. Akan tetapi, dalam tulisan ini kita akan membahas bagaimana menggunakan aplikasi cognitive behavioral therapy (CBT) untuk menolong diri sendiri atau yang biasa kita kenal dengan self-help.


Ketika seseorang bunuh diri, hal pertama yang dilakukan masyarakat adalah menilai orang tersebut melalui lingkungan sosialnya. Sebagai contoh, di berbagai media tidak sedikit yang melaporkan tingkat bunuh diri artis korea sangatlah tinggi. Pasti, impresi pertama kebanyakan orang adalah “loh kok dia bunuh diri? Padahal kan dia cantik, terkenal, punya segalanya”. Atau juga, contoh pada beberapa kasus komedian yang bunuh diri. beberapa orang berpendapat seperti ini “padahal kalo kita liat di tv, dia seneng aja tuh. Setiap hari ngelawak, kok bisa ya?”. Contoh pernyataan berikut mengindikasikan bahwa seseorang yang bunuh diri dinilai dari lingkungannya, bukan dari pemikiran mendalam tentang apa yang dirasakan orang tersebut.


Kecenderungan orang untuk melakukan bunuh diri dapat dilihat melalui sebuah kontinum. Seperti sebuah garis panjang dengan dua ujung. Mereka yang berada dikontinum paling kiri adalah mereka yang menyatakan akan melanjutkan hidupnya dan kontinum ekstrem kanan menyatakan seseorang akan mengakhiri hidupnya. Pergeseran kontinum terjadi apabila adanya suatu perubahan yang terjadi pada orang yang ingin bunuh diri. Contohnya, seorang pria yang didiagnosa berpotensi untuk bunuh diri pada titik ekstrim sebelah kanan menggeser kontinum ke kanan cenderung melanjutkan hidupnya. Hal ini dikarenakan istrinya yang sedang mengandung, dan ia merasa senang. Sebaliknya, seorang pekerja kantoran yang berada di sisi kiri kontinum, tiba-tiba sakit dan jatuh miskin, akan cenderung untuk menggeser kontinum ke arah kanan.





Sering kali kita terjebak untuk selalu mengambil sisi garis kontinum yang paling ujung. Cara berpikir ini disebut juga Dichotomous thinking atau kadang disebut all or none thinking, Ketika kita hanya berpikir bahwa hanya ada dua opsi, seakan hanya ada hitam dan putih saja. Padahal yang Namanya garis kontinum itu tidak hanya dua ujung saja. Misalnya, Ketika dia dapat nilai jelek di sekolah, ia berpikir bahwa ia adalah orang yang gagal. Padahal kegagalan tidak hanya dilihat dari satu nilai, dan bisa jadi nilai tersebut hanya punya persentasi kecil dari nilai diakhir semester.


Ketika ditanya mengapa seseorang ingin bunuh diri, alasan yang sering muncul meliputi empat pernyataan berikut: “Tidak ada gunanya hidup. Tidak ada hal yang saya perlu nantikan / tunggu lagi”, “Saya tidak kuat dalam menjalani hidup ini. Saya tidak pernah bisa bahagia”, “Saya merasa tidak berdaya, dan ini adalah salah satunya cara untuk keluar dari situasi ini”, dan “Saya adalah beban bagi keluarga saya, mereka lebih baik hidup tanpa saya”. Pernyataan diatas menunjukan adanya keputusasaan atau Hopelessness yang berkorelasi dengan niat seseorang bunuh diri. Orang tersebut melihat dirinya berada di situasi yang buruk sehingga bunuh diri adalah cara yang paling baik.


Kita mengutip dari teori REBT (Rational Emotive Behavior Therapy) oleh Albert Ellis. Pola pikir (atau Bahasa Ellis adalah Belief system ) yang tergolong irasional memiliki lima karakteristik; a) kaku atau ekstrim b) tidak logis c) false d) tidak membantu kita meraih tujuan e) mengganggu hubungan interpersonal dan berpotensi mengembangkan gangguan psikologis. Ketika individu berpikir “saya tidak pernah bisa Bahagia” dengan pola pikir yang kaku dan ekstrem akan membuatnya stuck dan tidak mampu melihat berbagai opsi dan fakta lain. Bahwa dia bisa Bahagia dengan cara lain, bahwa dia belum pernah mencoba cara lain tersebut. Bahwa banyak orang yang sebenarnya perduli dengannya dan kebahagiannnya. Seakan-akan seperti menggunakan kacamata yang hanya bisa melihat satu titik di depannya saja.


Beck dalam bukunya cognitive therapy of depression menjelaskan mengenai motif bunuh dir yang dapat tergolong dalam dua kategori. Yang pertama, apabila orang tersebut betujuan untuk menyerah dan pergi dari kehidupanya sekarang. Dalam kategori ini, mereka merasa kehidupan yang terlalu membebani dan tidak melihat solusi satupun dalam masalah yang mereka hadapi. Bisa juga, mereka sudah terlalu “lelah” untuk mencari solusi sehingga mereka berpikir dengan bunuh diri dapat menyelesaikan permasalahan mereka. Kategori ini sering dikatikan dengan situasi eksternal yang dihadapi individu, seperti orang yang tinggal dalam tingkat kemiskinan yang tinggi, atau orang yang merasa sangat terisolasi. Kategori yang kedua adalah kondisi dimana bunuh diri dijadikan sebagai ancaman. Contohnya, seseorang pada kategori ini menjadikan percobaan bunuh diri sebagai harapan bahwa akan ada perubahan dari situasi di sekitarnya. Ia berharap dengan percobaanya, orang-orang sekitar dia akan menyadari bahwa ia butuh pertolongan ke pihak profesional, yaitu psikolog atau psikiater. Untuk kategori pertama Beck menamainya dengan “Escape from life” dan yang kedua adalah “Manipulation of others”. Terkadang individu memiliki dua motif sekaligus. Beck juga menambahkan Ketika motivasi utamanya adalah manipulation of others maka suicide attempt atau percobaan bunuh diri cenderung lebih tidak seserius Ketika motif utamanya adalah escape from life.


Dalam cognitive behavioral therapy (CBT) otot kognitif kita akan dilatih agar tidak kaku dalam berpikir utamanya pada situasi emosional. Persis seperti yang disebut Ellis untuk salah satu karakteristik pola pikir rasional “flexible or non-extreme”. Bagian otak yang terkait hal tersebut utamanya di Prefrontal Cortex (tepat di jidat / dahi kita). Prefrontal cortex tidak aktif begitu saja ada syarat dan ketentuan yang berlaku yang diperoleh dari sepanjang kehidupan kita. Dengan potensi neuroplasticity di otak kita, membuat kita selalu punya kesempatan untuk melatih bagian otak kita tersebut.


Untuk Langkah awal kita bisa mulai dari sebuah quotes “Just because you think something, doesn’t necessarily mean that it’s true”. Ketika sebuah pikiran muncul dalam benak kita, tidak berarti pikiran tersebut adalah benar 100 % dan perlu kita percayai betul. Bisa jadi pikiran itu muncul karena kita melihatnya dengan kacamata depresi. Judith Beck dalam course CBT for depression memberikan analogi, Ketika orang memiliki gangguan depresi, mereka seakan-akan melihat dunia dengan kacamata yang kacanya terhalang oleh cat bewarna bewarna hitam, sehingga dunia kita terlihat sangat gelap, tidak ada harapan, penuh pesimistis, dan hal negatif lainnya. CBT melatih kita untuk membersihkan cat tersebut sehingga kita bisa melihat dunia dengan lebih jelas dan realistis.


Banyak cara untuk melatih otot kognisi kita dengan CBT. Salah satunya adalah dengan membuat pertimbangan pros / advantages and cons / disadvantages of suicide, sehingga bisa dilanjutkan untuk menggali “reason for living” dan “reason for dying”. Buat dua kolom dengan masing-masing kita isi dengan berbagai alasan mengapa kita memilih pilihan tersebut. Pastinya tidak akan mudah, karena ketika kita memiliki kecenderungan untuk bunuh diri biasanya akan sulit melihat berbagai aspek positif dalam hidupnya dikarenakan; a) bisa jadi karena kita sudah melupakannya, b) mengabaikannya, c) menganggapnya tidak bernilai (mengurangi nilainya). Misalnya, pada kolom no sucide kita akan mengisi keuntungan apa yang akan kita dapatkan jika kita tetap bertahan (pros / advantages). Kita mungkin mengisi, “saya masih belum melakukan semua cara dalam menghadapi masalah saya, saya bisa mencoba cara lain yang mungkin saja berhasil”, “bisa mendapatkan pasangan yang lebih baik”, “bisa belajar menghadapi tekanan, dan menggunakannya untuk tantangan dimasa depan”, dan berbagai hal lainnya. Di kolom kerugian bertahan hidup (cons / disadvantages) misalnya kita mengisi; “ekstra effort untuk belajar menghadapi tekanan”, “masih akan merasakan stress”, dan berbagai hal lainnya. Lalu berikutnya kita akan mengisi pada kolom suicide untuk menggali keuntungan dan kerugian kita memilih opsi mengakhiri hidupmu.


Seperti yang sudah kita jelaskan sebelumnya, keputusasaan atau hopelessness menjadi salah satu point penting yang mendorong seseorang serius ingin mengakhiri hidup. Beck dalam bukunya menjelaskan hal penting yang perlu dipertimbangkan dalam menyasar hoplessness tersebut, yaitu a) ada banyak interpretasi alternatif dari situasi dalam hidupmu dan masa depan yang tidak seburuk bayanganmu, b) bahwa kita punya pilihan lain dibanding respons / perilaku / keputusanmu sekarang.


Hal lain yang dapat membantumu juga adalah dengan mengenal apa itu Cognitive Dissonance atau disonansi kognitif, yaitu ketika kita memiliki belief system atau pola pikir yang kontradiksi satu dengan lainnya. Sebagai contoh, seorang wanita yang bercerai ingin mengakhiri hidupnya namun dia merasa tidak mampu hidup tanpa suaminya, dengan memunculkan bukti bahwa selama pernikahannya suaminya pun jarang tinggal dirumah (sudah punya wanita lain), bahwa ia sebelum menikah ia adalah lebih bahagia dan justru setelah menikah dia lebih banyak tertekan, bahwa jika bercerai masih banyak laki-laki yang mungkin tertarik dengannya (karena sebelum menikah dia cukup popular), bahwa selama ditinggal suami ia mampu hidup sendirian, dan pertimbangan lainnnya. Dapat membuatnya moodnya kembali naik, lebih optimis, dan perlahan membuatnya keluar dari suicidal crisis.

Kita bisa mencari tahu, apakah kita punya disonansi kognitif seperti kasus di atas? Dimana kita punya dua belief system yang saling bertolak belakang atau kontradiktif. Jika iya, kita perlu mencari lagi bukti – bukti dari berbagai pikiranmu. Misalnya, pada saat ada pikiran kita “tidak Bahagia lagi tanpanya”, coba bertanya “sebelum kenal dia apakah kita tidak pernah Bahagia?”, “setelah bersamanya, lebih banyak Bahagia atau sedihnya?”.


Beck juga menjelaskan bahwa salah satu intervensi yang bisa dilakukan adalah dengan problem-solving. Mencoba membantu pasien keluar dari masalahnya dengan mengambil keputusan segera. Buat mereka yang punya emosinya bergerjolak tidaklah mudah untuk mencari jalan keluar dari satu masalah. Seakan-akan muncul mental block. Ia tidak mampu menggali informasi serta pengetahuan yang sudah dipelajar dan mengaitkannya dengan konteks dan pengalaman di berbagai situasi lain. Ia stuck sama satu ide saja, meskipun idenya tersebut membuatnya terkurung dalam siklus negatif yang berulang.


Menurut Beck saat ada seseorang yang ingin ingin bunuh diri, ia cenderung “overestimate the magnitude and insolubility of problems”. Seakan-akan masalah yang dialami sangat berat dan tidak ada solusi yang bisa mengurainya. Lebih jauh, mereka juga cenderung tidak merasa yakin dan percaya diri dengan sumber daya yang mereka miliki untuk dapat menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi. Akhirnya mereka cenderung memproyeksikan hal buruk akan terjadi di masa depan. Mereka menunjukkan adanya “Cognitive Triad” pandangan yang berlebihan dalam melihat dunia, diri sendiri dan masa depannya. Seseorang yang rentan bunuh diri juga mempunyai pikiran bahwa bunuh diri dapat menyelesaikan masalahnya seperti “Semua masalah saya akan berakhir ketika saya mati”, sedangkan sebagian lainnya mungkin akan berpikir “Mungkin saya bisa menyelesaikan masalah ini atau mungkin juga tidak”, dengan mencoba mencari berbagai solusi. Sedangkan individu yang rentan bunuh diri memiliki sedikit sekali toleransi dalam ketidakpastian. Apabila ia tidak bisa memikirkan solusi, ide buruk mengenai masa depannya muncul lagi dan mulai muncullah pemikiran “Kematian adalah satu-satunya solusi”. Misalnya, seorang ayah yang di PHK memiliki pikiran seperti “Saya tidak berharga, karena tidak dapat memberi nafkah” dan menggeneralisasikannya menjadi “keluarga saya akan lebih baik jika saya mati”. Mudah sekali pikiran kita terkunci, yang membuat seakan-akan tidak ada jalan keluar. Maka yang harus dilakukan adalah menemukan solusi untuk dapat tetap memberi nafkah, dengan mendefinisikan masalah yang di hadapi untuk kembali bekerja, melamar pekerjaan, atau memulai bisnis.


Dalam bukunya, Beck menjelaskan salah satu teknik yang digunakan oleh terapis yaitu stress-inoculation technique di mana pasien akan berlatih menggunakan imagery (membayangkan) ataupun eksperimen langsung di lapangan (exposure) pada situasi menekan yang memicu tidak nyaman dan ide bunuh diri. Lalu memfokuskan pikiran pada solusi realistis yang sudah dirancang dan disiapkan sebelumnya. Untuk self-help kita bisa menggunakan berbagai skema problem-solving yang sekiranya sesuai dengan masalah yang kita hadapi. Misalnya, masalah kita adalah bagaimana komunikasi dengan pasangan. Kita bisa belajar bagaimana berkomunikasi secara asertif. Coba googling, kita bisa mendapati banyak kursus online yang dapat mengajarimu bagaimana berkomunikasi secara asertif.


Sekali lagi, perlu diingat jika kita masih belum mampu keluar dari pikiran bunuh dirimu jangan sungkan untuk meminta bantuan dari pihak professional. Perdalam juga pemahamanmu mengenai bunuh diri secara khusus dan bagaimana menghadapi tekanan serta mengembangkan diri secara umum dari berbagai kanal edukasi. Semoga bermanfaat..!!!


Oleh Firman Ramdhani, M.Psi., Psikolog., Nadia Luthfi Khairunnisa, S.Psi., Devina Faustanisa dan Pratiwi Utami.


Sumber :

  • Beck, A. T., Rush, A. J., Shaw, B. F., Emery, G. (1979). Cognitive therapy of depression. New York : Guild Press.

  • Dryden, W. & Ellis, A. (2003). Albert Ellis Live !. London : Sage Publications Ltd.

440 tampilan0 komentar

Postingan Terakhir

Lihat Semua

Comments


bottom of page