top of page
Gambar penulisFirman Ramdhani, M.Psi., Psikolog

Anti gagal

Diperbarui: 14 Des 2021

Carol Dweck dalam bukunya berjudul Mindset menjelaskan perbedaan antara Fixed Mindset dan juga Growth Mindset. Disana dia juga memaparkan berbagai hasil penelitiannya dalam area tersebut. Salah satunya adalah bahwa mereka yang memiliki growth mindset sangat terbuka terhadap tantangan dan memiliki pandangan bahwa semua itu berproses, tidaklah instan. Sebaliknya, mereka yang memiliki fixed mindset, lebih anti terhadap tantangan karena takut akan kegagalan, sehingga ia akan kehilangan sebuah pengakuan dari lingkungan.


Membaca itu membuat saya mengingat bagaimana zaman sekolah dahulu. Kebanyakan dari kita (mungkin juga termasuk saya) sangat takut mendapatkan nilai jelek, sehingga sering kalah dengan dorongan untuk mencontek ketika ujian. Namun disisi lain, tidak juga memiliki kekuatan mental untuk belajar mendalami materi, sehingga bisa paham sampai ke tulang-tulangnya. Sehingga terciptalah generasi yang superficial, yang cetek, yang tidak resilien. Sekolah bagi kebanyakan kita hanya sebagai sarana untuk menghabiskan waktu dari pagi - sore. Tidak secara sungguh-sungguh kita manfaatkan untuk belajar.


Tentu jika ingin dicari akar permasalahan ini tidaklah mudah, dan juga pasti tidak akan terlepas dari peran orang tua dalam pengasuhan di rumah. Bagaimana orang tua bisa memberikan atmosfir “hey, its oke kalau kamu salah, bisa diperbaiki kok”, bukan malah “gimana sih, sudah berkali-kali dikasih tau masih saja salah”. Sebuah penekanan yang kadang diucapkan orang tua agar si anak merasa kalau dia itu salah dan dia harus kudu wajib mengakuinya. Yang terkadang justru malah membuat anak jadi merasa tidak pernah cukup dan tidak kompeten, bahkan mungkin berpikir “saya tidak bernilai”. Yang nantinya membangun karakter diri menjadi anti mencoba atau anti tantangan.





Bagaimana kita bisa membangun Mindset bahwa semua itu berproses, gagal itu wajar, its oke kalau sekarang belum bisa, coba terus pantang menyerah ?. kita bisa memulai dengan mendefinisikan konsep kegagalan itu sendiri. Kadang kita memaksakan konsep kegagalan yang kita pahami untuk dimengerti dan diinternalisasi oleh anak usia balita. Ketika mereka diajarkan membaca huruf dan selalu salah dihuruf tertentu, orang tua membentaknya “kamu gimana sih, kan sudah belajar berkali-kali”. Orang tua berpikir seakan-akan ketika salah mengucapkan huruf maka anaknya sudah gagal. Yes betul, interaksi tersebut menggambarkan si orang tua yang mengasuh anak dengan cara berpikir yang juga fixed mindset. Mereka anti kegagalan dan tidak suka berproses, sehingga tidak bisa melihat kegagalan dialami anak mereka.


Orang tua juga memperparah pikiran tersebut dengan sudut pandang “kalau saya bentak anak ini, maka dia akan terpacu untuk lebih baik”. Ingat..!! Dalam teori behavioristik, reaksi orang tua seperti itu akan membentuk sebuah asosiasi dibenak si anak, BELAJAR = TIDAK MENYENANGKAN, BELAJAR = MENEGANGKAN, MENAKUTKAN. Sehingga, ketika ada kegiatan belajar berikutnya mereka sudah apatis dan bahkan membentuk mental block terlebih dahulu. Tanpa sadar kita membangun generasi yang anti belajar. Wow.. ini bukanlah hal sepele, belajar itu bukan cuma perihal akademis, belajar juga termasuk dalam pengembangan diri, misal belajar untuk bisa kontrol emosi, berkomunikasi dengan asertif, menangani konflik dengan pasangan atau belajar menjadi orang tua.


Orang tua perlu belajar bagaimana mengambil jeda untuk mempertimbangkan reaksi ketika berinteraksi dengan anak. Mempertimbangkan apakah pikiran “kalau saya bentak anak ini, maka dia akan terpacu untuk lebih baik” benar apa adanya? Apakah selama in perilaku anak tetap ada dan selalu terulang? Kalau iya, apakah bisa disebut strategi kita tidak efektif ? Apakah kita Anda pernah bereaksi sebaliknya ? bereaksi dengan lemah lembut dan penuh kasih sayang.? Jika iya, apa efeknya.?. Ini yang sering disebut, psikoterapi tidak hanya sekedar curhat-curhatan, melainkan sebuah media eksplorasi diri. Terapis dan pasien akan mengidentifikasi bagaimana cara yang tepat untuk bisa memaksa adanya jeda tersebut. Ada beberapa yang mengajarkan tehnik mindfulness, grounding / anchoring, atau sesederhana membiasakan diri untuk reflektif dengan self-talk, bertanya pada diri sendiri.


Oleh Firman Ramdhani, M.Psi., Psikolog

14 tampilan0 komentar

Postingan Terakhir

Lihat Semua

Comments


bottom of page