Pembahasan mengenai toxic pada keluarga sangatlah banyak yang biasanya terfokus pada bagaimana orang tua memperlakukan anaknya. Sikap orang tua yang toxic ini bukanlah barang baru, namun baru belakangan ini diberi label toxic. Bahkan sepertinya orang tua jaman dulu lebih kasar dan keras dalam mendidik anak, tidak jarang banyak yang main tangan. Akan tetapi, hal tersebut dulu dianggap wajar sebagai “pendidikan orang tua terhadap anak”. Pada tulisan ini, saya tidak ingin membandingkan perbedaan zaman, namun ingin menyoroti apa efek samping dari perilaku toxic orang tua.
Indikator perilaku toxic orang tua sangatlah luas, namun bisa disederhanakan ketika orang tua membuat anak merasa cemas, sedih atau marah ketika berinteraksi dengan mereka. Beberapa anak bahkan bisa merasakan emosi yang intens hanya dengan membayangkan orang tua mereka. Anak bisa merasakan trauma dengan perilaku orang tua mereka. Semakin besar efek trauma yang ditimbulkan, maka semakin beracun hubungan orang tua - anak tersebut. Meskipun tidak disebut dalam teorinya, namun sikap orang tua bisa memberikan Adverse Childhood Experiences atau disingkat ACEs.
ACEs secara singkat merupakan situasi atau pengalaman yang berpotensi menimbulkan traumatis pada masa anak - anak, seperti adanya perilaku kekerasan (fisik, emosional maupun seksual), pengabaian atau penelantaran, disfungsi di rumah tangga (ada anggota keluarga yang memiliki masalah penggunaan zat terlarang, gangguan mental, kekerasan rumah tangga, perilaku bunuh diri, kriminal (masuk penjara), orang tua berpisah, dll).
Semakin banyak ACEs yang dialami oleh seorang anak, maka akan semakin besar kemungkinan ia menderita berbagai masalah. Mulai dari kesehatan fisik, psikis, kesempatan mengembangkan potensi dalam pendidikan maupun pekerjaan. Misalnya, pada masalah fisik, seperti adanya potensi penyakit diabetes, obesitas, penyakit jantung, kanker, stroke, penyakit menular seksual dan berbagai penyakit lainnya. Anak juga berpotensi menderita berbagai masalah mental, seperti gangguan depresi, percobaan bunuh diri dan adiksi. Lebih lanjut, mereka yang mengalami ACEs berpotensi memiliki pencapaian akademis yang buruk, termasuk rendahnya performa dalam bekerja nantinya.
Well, sangat bisa dibayangkan bahwa ACEs akan membuat seorang anak menderita stress kronis atau mungkin bisa kita sebut toxic stress. Dimana akan membuat stress-response-system anak aktif secara berlebihan, yang secara analogi seperti sebuah mobil yang mesinnya dinyalakan selama berhari-hari atau berminggu-minggu. Pada manusia, kondisinya lebih gawat, karena stress berlebihan bisa menurunkan imun sistem kita, sehingga bisa membuat kita rentan menderita berbagai penyakit.
Secara psikologis, tumbuh dengan toxic stress akan sangat mempengaruhi bagaimana seseorang membina hubungan yang stabil dengan orang lain. Karena didalamnya terdapat banyak aspek, seperti self-esteem, regulasi emosi, kemampuan komunikasi dan berempati ( yang notabennya akan bermasalah karena toxic stress tersebut ). Hal tersebut jugalah yang akhirnya menyebabkan seseorang struggling dalam pekerjaan, finansial dan termasuk berbagai masalah gangguan psikologis, seperti gangguan depresi. Lebih jauh, bayangkan jika sang tersebut menikah dan menjadi orang tua? Bisa jadi episode ACEs akan kembali terulang namun kali ini ia bukanlah korban melainkan menjadi pelaku.
Sadari dan benahi, mungkin itu yang bisa kita lakukan sekarang. Bila Anda sudah menjadi orang tua, tugas Anda adalah memotong siklus tersebut agar tidak kembali terulang kepada anak Anda. Jika Anda masih dalam masa perkembangan dan memang merasakan berbagai efek negatif karena ACEs, segera cari bantuan profesional disekitar Anda.
Firman Ramdhani, M.Psi., Psikolog.
Kommentare