top of page
Gambar penulisFirman Ramdhani, M.Psi., Psikolog

Apakah Marah Bisa Ditahan?

Dalam beberapa waktu belakangan ini, mungkin kita kerap mendengar kasus kekerasan yang terjadi di masyarakat. Contohnya seperti kasus penganiayaan yang dilakukan oleh seorang anak pejabat di suatu badan pemerintahan. Menurut hasil penyelidikan sejauh ini, penganiayaan tersebut dilakukan karena pelaku mengetahui kekasihnya mendapat perlakuan yang tidak baik dari korban.


Penganiayaan atau sebagai salah satu bentuk kekerasan fisik merupakan contoh dari perilaku agresi (atau agresivitas)—yaitu perilaku yang bertujuan untuk menyakiti orang lain (Kassin et al., 2017). Tidak hanya berbentuk fisik, perilaku agresi bisa juga verbal (contoh: berkata kasar) maupun relasional (contoh: mengucilkan seseorang (Kassin et al., 2017). Terdapat beberapa faktor atau alasan yang memicu seseorang melakukan tindakan agresi. Mulai dari faktor biologis seperti hormon, psikologis seperti kepribadian dan kemampuan individu untuk mengontrol dirinya (self-control), maupun sosial seperti budaya, lingkungan sosial, juga pola asuh yang menghalalkan atau melihat penggunaan kekerasan sebagai sesuatu yang wajar (Kassin et al., 2017). Bahkan menariknya, faktor situasi seperti suhu udara yang panas bisa menjadi pemicu perilaku agresi (Anderson & Bushman, 2002). Akan tetapi, tulisan ini akan lebih spesifik membahas suatu faktor pemicu yang penting lainnya dari perilaku agresi, yaitu emosi marah.


Emosi Marah dan Agresivitas

Banyak definisi dari emosi, namun jika disederhanakan, pada dasarnya emosi adalah reaksi individu terhadap situasi/peristiwa di lingkungan (Shiota & Kalat, 2012). Kemudian, emosi juga terdiri dari beberapa aspek, seperti (1) reaksi fisik (misal: jantung berdebar, otot menegang), (2) interpretasi terhadap situasi (pikiran), dan (3) perilaku (misal: tertawa, menangis, kabur, melawan). Selain itu, emosi sebenarnya perlu kita bedakan dengan mood/suasana hati (Gross, 2014). Emosi lebih bersifat jangka pendek dan dipicu oleh situasi yang spesifik (misal: bangga setelah mendapatkan penghargaan, takut karena sesuatu yang menakutkan/mengancam hidup, sedih ketika kehilangan hal yang berharga atau mengalami penolakan). Sedangkan, mood lebih bersifat menetap/jangka panjang dan tidak begitu spesifik pemicunya (misal: cemas, depressed/low mood, euforia).


Marah sendiri merupakan emosi yang dialami ketika seseorang menganggap/berpikir dirinya disakiti, disinggung, dihina, dan/atau diperlakukan tidak adil secara sengaja oleh orang lain (Shiota & Kalat, 2012; Greenberger & Padesky, 2016). Sebagai contoh, seseorang marah ketika ketika dirinya dipanggil dengan sebutan-sebutan yang mengejek atau ketika seorang karyawan dipecat tanpa alasan yang jelas. Meskipun demikian, sebenarnya diperlakukan secara tidak menyenangkan oleh orang lain bisa memicu emosi lain seperti sedih atau malu. Akan tetapi, pada orang yang marah, mereka menyalahkan orang lain (dibandingkan diri sendiri) atas ketidaknyamanan yang dialami. Kemudian, emosi marah muncul ketika perbuatan orang lain tidak sesuai dengan ekspektasi atau aturan yang kita miliki (Greenberger & Padesky, 2016). Kental pikiran yang polanya “should-and-must” (Beck, 2010). Misalnya orang tua yang marah kepada anaknya karena tidak menuruti perkataan orang tua—karena ekspektasi atau aturan bahwa anak seharusnya patuh kepada orang tuanya.


Kemudian, marah bisa jadi berguna—dengan tujuan mengenali apa saja hal yang tidak patut dilakukan kepada seseorang dan mengambil tindakan untuk melindungi diri. Coba bayangkan kalau kita tidak bisa sama sekali untuk marah. Bisa saja kita tidak bisa menjaga diri kita (juga orang terdekat) dari diperlakukan secara semena-mena oleh orang lain. Akan tetapi, sebagai salah satu bentuk dari emosi negatif, marah yang berlebihan justru bisa menjadi bumerang. Seperti yang diulas sebelumnya, ekspresi kemarahan dari anak pejabat sebagai pelaku penganiayaan sampai mengancam nyawa korbannya. Tentunya, ada konsekuensi hukum pidana yang turut mengikuti. Dampak dari emosi marah yang berlebihan dapat pula kita refleksikan dari pengalaman pribadi. Mungkin saja Anda pernah marah atau bahkan sampai berperilaku agresif kepada orang lain (atau sebaliknya orang lain yang marah atau berperilaku agresif kepada Anda). Sebagai akibatnya, emosi dan perilaku tersebut merusak hubungan yang telah terjalin dan memunculkan luka batin yang berbekas (jika tidak ada upaya untuk rekonsiliasi/berbaikan). Tidak hanya itu, bagaikan lingkaran setan, marah dan perilaku agresif berpotensi memicu kemarahan dan perilaku agresif lainnya—atau balas dendam (Beck, 2010). Untuk tambahan, emosi marah yang tidak dikelola dengan baik merupakan gejala dari gangguan psikologis, seperti intermittent explosive disorder (IED), gangguan mood, dan beberapa gangguan kepribadian (Novaco, 2010).


Manifestasi perilaku yang bermasalah dari emosi marah ialah agresivitas. Menurut Aaron T. Beck dalam bukunya yang berjudul “Prisoners of Hate” (2000), ditemukan beberapa kesalahan/distorsi berpikir yang mendasari perilaku agresif. Contohnya adalah personalization, yaitu menggunakan diri sebagai referensi/penyebab dari perilaku orang lain, juga mengabaikan kemungkinan bahwa perilaku orang lain bisa jadi netral (mental filter/selective abstraction). Seakan-akan, seseorang bisa membaca maksud dari tindakan orang lain (mind reading). Akibatnya, orang lain cenderung dilihat sebagai “musuh” yang perlu “dilawan” atau “dihukum”. Misalnya perilaku agresif di jalan raya—ketika perilaku mengemudi orang lain (misal: menyalip, berbelok tiba-tiba) memunculkan pikiran “Pasti dia menganggap saya remeh” atau “Dia mau mencelakai saya” dibandingkan pikiran “Dia sedang buru-buru ke tujuannya” atau “Dia belum terbiasa menyetir”. Akibatnya, muncul perilaku seperti mengumpat atau bahkan perkelahian di jalan. Menurut referensi lain, bentuk pikiran itu disebut hostile attribution bias, yaitu mengartikan adanya niat yang jahat/mencelakai di balik provokasi orang lain (Dogde & Coie, 1987). Maka dari itu, perilaku agresif digunakan sebagai bentuk pertahanan (secara berlebihan) dari orang lain yang dianggap mengancam.


Bagaimana pikiran yang terdistorsi tersebut muncul dibandingkan pikiran yang lebih realistis? Menurut kerangka teori CBT (Cognitive Behavior Therapy), pikiran berakar dari belief yang dimiliki individu. Pada orang yang kecenderungannya “senggol-bacok”, dimiliki kepercayaan (belief) negatif yang kaku dan overgeneralized mengenai dirinya (misal: “Saya adalah orang yang rentan”, “Saya adalah korban”), orang lain (misal: “Orang lain selalu menyakiti saya dengan sengaja”, “Pada dasarnya manusia itu jahat”), dan dunia (misal: “Dunia adalah tempat yang berbahaya”) (Beck, 2000). Terkait dengan belief tersebut, individu yang rentan marah dan agresif cenderung memiliki self-esteem yang rapuh dan penting bagi mereka untuk memiliki status sosial yang tinggi. Dalam hal ini, untuk menjaga keberhargaan diri, mereka bertendensi untuk melihat orang lain sebagai “pelaku” dan memilih untuk “balik melawan” ketika merasa dirinya diserang.


Berkembangnya belief berasal dari pengalaman hidup individu dan bagaimana individu memaknai pengalamannya tersebut. Beberapa contoh pengalaman hidup yang berkaitan dengan bias dalam berpikir dan agresivitas adalah riwayat mengalami childhood maltreatment (dalam bentuk abuse/kekerasan atau neglect/penelantaran), menyaksikan langsung tindakan kekerasan (misal: penembakan, perampokan), dan berteman dengan orang yang memiliki tendensi hostile attribution (Bradshaw et al., 2009; Halligan & Philips, 2010; Zhu et al., 2020). Pengalaman hidup tersebut memungkinkan individu “belajar” cara berpikir dan berperilaku (yang maladaptif) jika berhadapan dengan situasi yang memicu kemarahan.


Apakah Bisa Menahan Marah?

Apakah marah itu salah? Jawabannya adalah tidak—asalkan ekspresi marah sesuai pada tempatnya dengan porsi yang cukup. Akan tetapi, manusia sebagai makhluk emosional terkadang “kalap” sehingga merugikan diri sendiri maupun orang lain. Kita sering mengambil keputusan berdasarkan emosi. Seseorang bisa berteriak, memukul, atau berperilaku agresi lainnya karena didasari alasan emosi marah belaka. Padahal emosi itu tidak bisa dijadikan sebagai landasan satu-satunya dalam mengambil keputusan. Coba tengok dari pengalaman pribadimu, pernahkah kamu menyesal pada saat mengambil satu keputusan ketika sedang emosional? Jika iya, pasti penyesalanmu datang setelah emosimu mulai reda. Secara biologis, aktivasi otak emosi (amygdala) akan “membajak” area pertimbangan (prefrontal cortex) sehingga kita cenderung mengambil keputusan yang cepat dan tanpa pertimbangan yang panjang kali lebar.


Sifat emosi adalah seperti ombak yang tidak akan selamanya tinggi, pasti akan turun dalam waktu yang dekat. Ketika “rasa” emosi marah ada di puncak, dorongan untuk mengambil keputusan segera dan tanpa pertimbangan matang sangatlah menggoda. Padahal, jika ia bisa menunggu sampai “ombak” emosi itu melandai, ia akan dapat mengaktifkan otak pertimbangan dengan lebih optimal. Sehingga, keputusan yang diambil akan lebih tepat. Namun, bagaimana caranya menunggu “ombak” emosi itu melandai? Apakah cukup menahannya dengan diam saja? atau dengan menggunakan mantra-mantra dan afirmasi diri? Atau ada proses lain yang bisa dilakukan?


Menahan marah dengan diam sebenarnya bisa menjadi salah satu strategi agar marah kita tidak diekspresikan secara negatif. Lalu, apakah menahan marah bermanfaat bagi kita? Jawabannya adalah tergantung pada bagaimana cara kita menahan marah.


Pada beberapa orang, menahan marah dilakukan dengan menolak dan mengabaikan bahwa dirinya sedang marah (Szazs et al., 2011). Selain itu, menahan marah dapat pula berbentuk memendam marah yang masih “membara” ke dalam diri dan tidak mengekspresikannya ke luar (Spielberger et al., 1995; Spielberger & Reheiser, 2010). Bentuk “diam” inilah yang sebenarnya kurang adaptif dan cenderung pasif. Cara-cara tersebut justru kurang efektif dalam meredakan amarah yang dirasakan (Szazs et al., 2011), membuat individu kesulitan dalam mengenali apa yang dirasakannya (karena terbiasa mengabaikan), menganggap marah sebagai emosi yang buruk (Gross & John, 2003), bahkan memicu kemunculan perilaku agresif di kemudian hari (Kaplan & Çuhadar, 2020).


Menahan Marah yang Produktif

Sebaliknya, menahan marah akan lebih produktif ketika kita menjadikannya sebagai hasil dari pembuatan keputusan dengan kesadaran dan hasil pertimbangan yang mendalam. Pertimbangan tersebut bisa berupa: “Saya sedang kepancing marah nih, dan saya tahu betul jika saya mengucap satu kata saja pasti ending-nya buruk”, “Kalau saya meladeni kemarahan ini, saya tahu persis konsekuensinya berat, terlebih bisa berurusan dengan ranah hukum”, “Marah saya rasanya sudah di angka 70 dari 100, dan ini adalah angka kritis, saya sebaiknya berusaha menenangkan diri saya”, “Apakah benar orang itu sengaja berbuat salah kepada saya? Atau mungkin ada penjelasan lain di balik perilakunya?”. Atau contoh lain pada mereka yang punya kepercayaan agama yang kuat akan mengatakan “Rasulullah pernah berkata, ‘Jangan Marah Bagimu Surga’, maka sekarang kesempatan saya mengikuti Beliau”.


Oleh karena itu, tipe menahan marah ini bersifat lebih aktif dan rasional, dibandingkan secara spontan atau otomatis. Terjadi banyak aktivitas internal di dalam pikiran kita, di mana otak kita aktif untuk mengingat, menimbang, dan menganalisis berbagai hal. Selain itu, berbeda dengan yang dibahas sebelumnya, menahan marah secara aktif relatif dilakukan sambil berupaya mengontrol diri dan menenangkan emosi yang dialami (Spielberger & Reheiser, 2010).


Akan tetapi, perlu digarisbawahi, hal ini tidak akan terjadi begitu saja. Seseorang perlu berlatih untuk punya keterampilan ini. Bahkan dari satu kalimat pikiran “Saya sedang kepancing marah nih, dan saya tahu betul jika saya mengucap satu kata saja pasti ending-nya buruk” itu merefleksikan proses yang mendalam dan diperoleh dari:

  • Kesadaran bahwa selama ini ekspresi marahnya lebih banyak berakhir buruk, melukai perasaan orang lain, membuatnya dijauhi, dan lain sebagainya.

  • Ingatan bahwa keuntungan yang ia dapat dari meluapkan marah hanya rasa lega yang hanya sementara.

  • Bagaimana ia terlatih untuk menyadari titik ambang amarahnya, kapan amarahnya bisa menjadi destruktif.

  • Ilmu bahwa emosi seperti ombak, akan ada puncaknya namun pasti akan turun dalam waktu dekat.

  • Pemahaman bahwa satu langkah saja (dalam hal ini ucapan darinya) ketika marah dapat menjadi bola salju.

  • Mengingat bahwa ia bisa memberikan respons lain dari hanya sekedar berteriak—dan respons lain jauh lebih tepat dan menguntungkan untuknya.

  • Dan lain sebagainya.


Proses berpikir mendalam ini lebih mudah dilatih ketika seseorang mendapatkan partner diskusi. Salah satunya, adalah bersama seorang terapis atau psikolog, utamanya yang menggunakan teknik CBT. Dalam CBT klien akan belajar untuk merestrukturisasi cara berpikirnya yang cenderung kaku. Mulai dari mengidentifikasi, menggali (discovery), termasuk meresponsnya dengan lebih adaptif.


Lebih lanjut, psikolog tidak hanya akan membahas sampai disitu. Mereka akan mencoba menggali pemaknaan yang lebih mendalam serta mencari sumber mengapa seseorang bisa sangat terpancing kemarahannya pada situasi tertentu. Apakah ia memiliki trauma di masa lalu yang masih belum bisa diproses ? atau ada belief lain yang sekiranya lebih mendasar dan lebih kuat ?. Yang biasanya jika tidak “diselesaikan” maka seseorang akan kembali pada siklus kemarahan yang sama.


Buat Kamu yang Memiliki Anger Issue..!!

Jangan lewatkan webinar kami di hari Minggu ini ya..!! kami akan mencoba membahas lebih detail mengenai proses berpikir dalam menahan amarah, termasuk berbagai strategi lain yang juga efektif. Daftar melalui link dibawah ini..




Oleh Raissa Fatikha, S.Psi. dan Firman Ramdhani, M.Psi., Psikolog.



Referensi

  • Anderson, C. C., & Bushman, B. J. (2002). Human aggression. Annual Review of Psychology, 53, 27–51. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/11752478

  • Beck, A. T. (2000). Prisoners of hate: The cognitive basis anger, hostility, and violence. HarperCollins.

  • Bradshaw, C. P., Rodgers, C. R. R., Ghandour, L. A., & Garbarino, J. (2009). Social-cognitive mediators of the association between community violence exposure and aggressive behavior. School Psychology Quarterly, 24(3), 199–210. https://doi.org/10.1037/a0017362

  • Dodge, K. A., & Coie, J. D. (1987). Social-information-processing factors in reactive and proactive aggression in children’s peer groups. Journal of Personality and Social Psychology, 53(6), 1146–1158. https://doi.org/10.1037/0022-3514.53.6.1146

  • Gross, J. J. (2014). Emotion regulation: Conceptual and empirical foundations. In J. J. Gross (Ed.), Handbook of emotion regulation (2nd ed.). Guilford Press.

  • Gross, J. J., & John, O. P. (2003). Individual differences in two emotion regulation processes: Implications for affect, relationships, and well-being. Journal of Personality and Social Psychology, 85(2), 348–362. https://doi.org/10.1037/0022-3514.85.2.348

  • Greenberger, D., & Padesky, C. A. (2016). Mind over mood: Change how you feel by changing the way you think (2nd ed.). Guilford Press.

  • Kassin, S., Fein, S., & Markus, H. R. (2017). Social psychology (10th ed.). Cengage Learning.

  • Kaplan, V., & Çuhadar, D. (2020). The levels of anger and aggression in street children with substance dependence. Journal of Child and Adolescent Psychiatric Nursing, 33(4), 239–247. https://doi.org/10.1111/jcap.12275

  • Shiota, M. N., & Kalat, J. W. (2012). Emotion (2nd ed.). Wadsworth, Cengage Learning.

  • Spielberger, C. D., Reheiser, E. C., & Sydeman, S. J. (1995). Measuring the experience, expression, and control of anger. Issues in Comprehensive Pediatric Nursing, 18(3), 207–232. https://doi.org/10.3109/01460869509087271

  • Spielberger, C. D. & Reheiser, E.C. (2010). The nature and measurement of anger. In M. Potegal, G. Stemmler, & C. Spielberger (Eds.), International handbook of anger (pp. 403–412). Springer. https://doi.org/10.1007/978-0-387-89676-2

  • Szasz, P. L., Szentagotai, A., & Hofmann, S. G. (2011). The effect of emotion regulation strategies on anger. Behaviour Research and Therapy, 49(2), 114–119. https://doi.org/10.1016/j.brat.2010.11.011

  • Novaco, R. W. (2010). Anger and psychopathology. In M. Potegal, G. Stemmler, & C. Spielberger (Eds.), International handbook of anger (pp. 465–498). Springer. https://doi.org/10.1007/978-0-387-89676-2

  • Zhu, W., Chen, Y., & Xia, L. X. (2020). Childhood maltreatment and aggression: The mediating roles of hostile attribution bias and anger rumination. Personality and Individual Differences, 162(September 2019), 110007. https://doi.org/10.1016/j.paid.2020.110007





119 tampilan0 komentar

Postingan Terakhir

Lihat Semua

Comments


bottom of page