top of page
Gambar penulisFirman Ramdhani, M.Psi., Psikolog

Kecanduan Media Sosial dan Kepribadian Narsisistik

Diperbarui: 15 Jan 2023

Tahukah kamu? per tahun 2021, jumlah pengguna media sosial di Indonesia sudah mencapai sekitar 170 juta orang (Statista, n.d.). Oleh karenanya, Indonesia merupakan negara dengan pengguna media sosial terbanyak di Asia Pasifik setelah Tiongkok dan India. Fakta menarik juga datang dari segi jumlah durasi penggunaan media sosial di orang Indonesia. Pengguna di Indonesia rata-rata menggunakan media sosial selama 3 jam dan 17 menit per harinya (Data Reportal, 2022). Hal tersebut membuat Indonesia menempati peringkat ke-10 di dunia sebagai negara dengan durasi penggunaan media sosial tertinggi.


Durasi penggunaan media sosial yang tinggi dapat menjadi salah satu indikator kecanduan/adiksi media sosial, atau perilaku media sosial yang bermasalah. Meskipun demikian, durasi saja kurang menentukan apakah seseorang memiliki kecanduan media sosial. Layaknya kecanduan narkoba, kecanduan media sosial juga salah satunya ditandai dengan durasi penggunaan media sosial yang semakin lama karena menggunakan media sosial dengan jumlah durasi sebelumnya (yang lebih sedikit) dianggap kurang memuaskan/menyenangkan (Griffits et al., 2014).


Kira-kira, apa yang membuat kita “betah” menggunakan media sosial?


Jika kita telisik, desain dan fitur media sosial itu sendiri menggoda kita untuk menghabiskan banyak waktu disana. Ketika membukanya dan mulai scrolling, kita dihadapkan dengan banyaknya konten—yang bahkan terlihat tidak ada habisnya (Bhargava & Velasquez, 2020). Algoritma media sosial juga membuat konten-konten yang muncul bisa sangat personalized, sesuai dengan apa yang sedang kita minati. Hal tersebut akan menarik perhatian kita dan membuat kita benar-benar fokus dan terlibat (engage) hingga melupakan waktu (Montag et al., 2019). Desain media sosial yang minim akan “natural stopping cue” (seperti adanya bagian akhir di media sosial) juga mempersulit kita berhenti menggerakkan jempol kita (Bhargava & Velasquez, 2020). Melihat kebelakang, Instagram dan Facebook diawal peluncurannya masih memiliki fitur “mentok” ketika kita scrolling. Butuh beberapa menit untuk tersedia konten baru dari orang-orang yang kita follow, sehingga mendorong perilaku kita untuk jeda dari aktivitas sosmed karena belum ada hal lain yang baru dan menarik untuk dilihat. Namun kini, kita bisa berjam-jam scrolling tanpa ada batas. Konten baru dan personalized bisa muncul dalam hitungan sepersekian detik, sehingga tidak sempat ada jeda dalam pikiran kita kecuali kita tertarik semakin dalam dan dalam.


Selain itu, ada pula fitur media sosial, yaitu pull-to-refresh, yang membuat kita “penasaran” dan menunggu-nunggu kemunculan konten yang menarik bagi kita (Bhargava & Velasquez, 2020). Secara psikologis, mendapatkan hal yang menyenangkan/rewarding, namun tidak dapat diprediksi (apakah kita akan mendapatkannya atau tidak) cenderung lebih kuat memprediksikan kemunculan perilaku yang berulang (Powell et al., 2013). Mekanisme yang sama juga menjelaskan mengapa seseorang bisa kecanduan berjudi. Orang terus-menerus bermain judi karena mengantisipasi kemenangan yang tidak terprediksi.


Fitur adiktif dari media sosial lainnya yang penting adalah like dan subscriber/follower dimana menjadi social reward, atau suatu hal yang membuat kebutuhan kita untuk diterima, diakui, dan dipandang positif oleh orang lain terpenuhi (Bhargava & Velasquez, 2020; Montag et al., 2019). Tentunya secara natural manusia ingin mendapatkan social reward tersebut, sehingga apa yang mereka unggah adalah hal-hal yang positif dari dirinya saja. Beberapa orang bisa sangat sensitif dengan seberapa unggahannya mendapatkan atensi dari followers-nya. Beberapa lainnya dapat mengaitkan antara like, subscriber atau follower dengan self-worth, seakan-akan dirinya tidak bernilai jika unggahannya tidak mendapatkan respons.


Kita juga bisa melihat tidak sedikit pengguna media sosial yang mengunggah konten dengan tujuan untuk bisa viral dan dikenal banyak orang. Salah satu alasan utamanya adalah cuan, semakin terkenal semakin banyak cuan-nya. Mereka rela terkenal meskipun dapat terlihat konyol atau bahkan merugikan dan membahayakan diri serta orang lain. Elemen finansial ini menjadikan internet dan media sosial menjadi semakin digdaya dalam membuat kita kecanduan.


Kepribadian Narsisistik dan Daya Tarik Media Sosial


Media sosial bisa sangat menarik bagaikan magnet untuk digunakan bagi individu dengan kepribadian narsisistik (trait narcissism atau narsisisme). Pada orang dengan kepribadian ini, besar kebutuhan mereka untuk diakui dan dilihat sebagai sosok yang superior oleh orang lain. Kemudahan untuk mengontrol apa yang ingin ditampilkan dari diri dan fitur yang memberikan social reward dari media sosial membantu orang dengan kepribadian narsisistik untuk memenuhi kebutuhannya tersebut (Casale & Banchi. 2020; Casale & Fioravanti, 2018; Wegmann & Brand, 2019). Dorongan untuk menampilkan sesuatu yang bagus dan menarik sesuai dengan belief yang ia miliki “Saya harus melindungi image saya”. Karena untuk menjadi sosok yang dianggap spesial, mereka harus memastikan tidak ada postingan yang dapat membuatnya terlihat kurang. Dan semua lebih mudah dilakukan di media sosial dibandingkan dunia nyata—sehingga mereka sangat rentan untuk tenggelam di dalamnya.


Disisi lain, mereka juga rentan mengalami apa yang disebut dengan FoMO, atau fear of missing out (Servidio et al., 2021). Mereka yang mengalami FoMO akan selalu merasa butuh untuk ter-update dengan berbagai berita terkini atau issue yang dialami teman-teman circle-nya—“Kalau gak tahu isu terkini, rasanya kayak habis tinggal di gua, kuno banget”. Jika digali lebih jauh dengan pertanyaan “Memangnya apa buruknya jika kamu menjadi individu yang “dari gua kuno” tersebut?”, terbayang dalam benak mereka berbagai sensasi tak nyaman ketika itu benar terjadi yang disertai dengan pikiran lainnya “Saya tidak akan bisa membangun komunikasi dengan orang”, “Orang lain akan menganggap saya “Teman yang biasa, tidak memiliki sesuatu yang spesial””, “Saya akan ditinggal dan menjadi sendirian”. Media sosial dan internet akan memudahkan mereka untuk selalu update sehingga mereka rela untuk investasi waktu mereka di sana.


Orang dengan kepribadian narsisitik berpandangan bahwa orang lain adalah “pengagumnya” dan “mereka semua melihat ke arah saya dan berharap jadi saya”. Ide ini menjadi sangat subur di era sekarang di mana mudah sekali seseorang menjadi viral dalam hitungan hari. Terlebih untuk viral, mereka tidak perlu usaha yang tinggi, hanya butuh handphone dan berbagai kekonyolan. Dan jangan lupa, seperti yang sudah dibahas sebelumya, viral = cuan. Pada akhirnya mungkin kecanduan internet dan media sosial tidak jauh berbeda dengan kecanduan judi, karena keduanya berharap akan menghasilkan sejumlah uang.


Fenomena lain adalah online bullying. Mudahnya seseorang menjadi anonym (tanpa identitas), membuat jempol ini terasa ringan untuk menulis komentar yang merendahkan orang lain. Semakin pesat dan cepatnya penetrasi internet dan gadget pendukungnya, semakin mudah pula seseorang melakukan online bullying, terlebih ketika mereka memiliki kepribadian narsisistik. Mengapa begitu ? alasannya adalah karena salah satu overdeveloped behavior strategies dari kepribadian narsisistik adalah bully inferiors. Ada sensasi “Saya lebih baik dibanding Anda” ketika mereka berkomentar yang bernada merendahkan atau menyerang orang lain.


Tentunya kepribadian narsisistik tidak sepenuhnya buruk, bahkan semua jenis kepribadian seperti dua sisi mata koin, ada sisi baik dan buruknya. Ketika bisa dikelola dan mendapatkan pengarahan dengan tepat, mereka yang memiliki kepribadian narsisistik bisa sangat menonjol dalam hal prestasi. Untuk bisa memenuhi beliefnya “i am special”, mereka akan berusaha untuk berada pada posisi yang "pantas”. Ini dapat menjadi motivasi dia untuk selalu improve dan menjadi lebih baik.


Tipe kepribadian apa lagi yang ingin kamu bahas ? Komen dibawah ya..!! Dan jika kamu tertarik dengan topik bagaimana menangani kecanduan media sosial kamu bisa ikuti webinar kami ( klik gambar dibawah ini )


Oleh Firman Ramdhani, M.Psi., Psikolog dan Raissa Fatikha, S.Psi.




Referensi



60 tampilan0 komentar

Postingan Terakhir

Lihat Semua

Comments


bottom of page