“hei, tau gak sih kalau dia itu begini…. “
“masa sih, padahal pasangannya baik ya….”
Apakah kamu familiar dengan percakapan seperti ini? Ya.. perilaku ini kita sebut dengan gosip. Sebuah percakapan dimana topik yang dominan adalah mengenai kejelekan, kekurangan, atau keburukan orang lain. Atau pada intinya membicarakan hal negative mengenai orang lain. Perilaku ini cenderung dianggap sepele, namun secara psikologis bisa menggerogoti kita. Mengapa bisa begitu, yuk kita bahas.
Gosip sebenarnya juga menjadi sorotan dalam agama Islam, namun lebih familiar dengan istilah Ghibah. Banyak sekali dalil larangan untuk meng-ghibah, karena dalam Islam sangat menjunjung tinggi kehormatan sesama manusia, terlebih sesame saudara muslim. Membicarakan kelemahan atau kejelekan orang lain akan berujung pada ghibah jika itu memang benar (ada faktanya), atau fitnah jika ternyata cerita itu tidak ada landasan faktualnya. Dan dua-duanya adalah keburukan yang nyata..!
Mengapa gossip menjadi sesuatu yang buruk ?
Ketika apa yang dibicarakan tidak benar, maka obrolan ini akan menjadi fitnah besar. Terlebih mungkin teman-teman pernah dengar, bahwa hal negative lebih mudah diingat dibanding yang positif. Mudah sekali pembicaraan kita tersebar, biasanya dengan kalimat pembuka “Jangan disebarin ya cerita ini….”. Lalu mereka menggunakan pembukaan yang sama juga kepada orang yang lain. Setelah berita ini tersebar, maka berita yang hoax dan tidak ada buktinya ini bisa menjadi sebuah kebenaran. Yang orang ambil adalah “ini pasti benar, karena banyak orang yang ngomong ini” . Kalau sudah seperti ini, bukankah seperti pembunuhan karakter yang sangat kejam.
Sebaliknya, jika apa yang kita gosipkan benar adanya. Tidak akan juga bermanfaat buat kita. Beberapa point yang menjadi pertimbangan adalah diantaranya kita akan membentuk labeling kepada orang tersebut. Dan membuat orang lain yang mendengar gossip kita memiliki cara berpikir yang sama. Ingat, if you label it, you limit it..!! Dalam Cognitive Behavioral Therapy kita belajar yang membuat kita emosi adalah ketika kita kaku dalam berpikir. Seakan-akan hanya satu sudut pandang yang tersedia..!!. Pikiran kita mulai mempercayai bahwa dia pasti begitu..!!. Padahal yang namanya perilaku manusia itu sangat terbuka sekali untuk berubah dan diubah. Coba ingat, adakah teman SMP atau SMA mu yang dulu urakan, bandel, nilai jeblok, sekarang jadi berbeda 180 derajat?? Atau coba baca sejarah, betapa masyarakat yang jahiliyahpun masih bisa berubah drastis.
Lebih lanjut, dengan menggosip meskipun beritanya itu factual tetap akan membuang banyak waktu kita sia-sia. Karena biasanya ketika kita menggosip, kita membicarakan keburukan atau kejelekan orang lain bukan dalam konteks untuk membantunya. Justru malah lebih sering menjerumuskan kita pada perasaan superiority, merasa kita lebih baik dari dirinya. Ini berpotensi membuat kita menjadi individu yang lebih egosentris. Its all about me..!!. Malahan mungkin membuat kita tidak terlatih untuk melihat ke dalam diri sendiri. Ini juga bisa mendorong kita menyalahkan factor eksternal (utamanya orang lain) dalam berbagai situasi konflik. Sulit bagi kita memandang bahwa ada bagian dari diri kita yang kurang.
Keseringan menggosip atau mendengarkan gossip membuat kita belajar untuk mencari kelemahan, mengkritik dan menilai orang lain. Dan semakin sering kita belajar, tentunya akan membuat kita semakin pandai. Bisa jadi kita seperti orang yang memiliki ciri narcissistic personality, yang cenderung merasa dirinya special dan orang lain lebih inferior dibanding dirinya. Yang punya aturan “karena saya special, maka saya perlu mendapatkan perlakuan special”, “saya harus menjaga image diri saya”, “jangan sampai ada yang lebih baik dari saya”. Yang punya perilaku cenderung ingin memanfaatkan orang lain untuk kepentingan diri dan senang sekali menyerang atau membully. Yang kurang mampu berempati dan mengontrol emosinya. (beberapa point ciri narcissistic personality ini diambil dari buku Cognitive Therapy of Personality Disorders dari Aaron Beck, Denise Davis dan Arthur Freeman).
Dan jangan lupakan, ketika kita menceritakan gosip justru kita sedang melabeli diri sendiri dihadapan orang lain. orang akan memandang kita negative. Orang menjadi tidak percaya untuk menceritakan cerita mereka kepada kita. Terlebih mereka takut, kejelekan mereka diceritakan oleh kita kepada orang lain. Ini akan merusak kredibilitas dan integritas kita.
Mengapa kita menggosip ?
Pertanyaan ini ternyata tidak mudah untuk dijawab. Saya sendiri mencoba sedikit riset di sosial media (yang sepertinya masih perlu di eksplor lagi). Tidak banyak bahasan utamanya dari dunia psikologi terkait hal ini. Namun, saya coba rangkum beberapa yang saya temukan dan juga beberapa dari buah pikiran saya sendiri.
Pertama-tama, sebagai peniru ulung tidak menutup kemungkinan kita belajar perilaku membicarakan kejelekan orang lain dari orang tua kita sendiri. Kita melihat dan mendengar percakapan mereka mengenai tetangga atau teman kerja mereka. Ingat..!! makanan untuk pikiran kita adalah apa yang kita lihat dan apa yang kita dengar. Tak jarang, percakapan orang tua ketika di mobil bersama anak-anak mereka adalah membicarakan keburukan orang lain.
Disini anak belajar bahwa ketika kita melihat atau mendengar cerita mengenai keburukan atau kejelekan orang lain harus kita CERITAKAN juga kepada orang lain. Terbentuk asosiasi yang kuat antara cerita keburukan atau kejelekan orang lain = harus diceritakan kembali ke orang lain juga. Pembelajaran ini berulang-ulang puluhan atau bahkan ratusan kali, yang akhirnya menjadi otomatis di dalam otak kita. Pikiran dan mulut kita tanpa sadar bergerak meneruskan berbagai cerita negative mengenai orang lain yang pernah kita dengar.
Selain yang kita lihat dari contoh di lingkungan, ternyata perilaku gossip juga disediakan di layar kaca kita. Atau malah sekarang jauh lebih buruk, disediakan di dalam genggaman kita. Di setiap media sosial yang kita pegang, tersebar berbagai konten gambar, video, kata-kata yang fokusnya membicarakan kelemahan, keburukan dan kejelekan orang lain. Tanpa sadar hal tersebut makin memperkuat pembelajaran kita dan membuat menggosip menjadi top of the mind kita..!
Ada sebuah artikel diinternet yang menyebutkan salah satu hal yang membuat kita terjebak dalam gossip adalah karena ingin membuka pembicaraan. Dan membicarakan orang lain terlihat sangat appealing dalam ranah sosial. Coba sekarang pikirkan, ketika sedang kumpul bersama teman-teman, topik apa saja yang bisa dibicarakan selain menggosip??. Pastinya banyak sekali..!!! Atau jangan-jangan point ini sangat terkait dengan minimnya kemampuan interaksi sosial kita, sehingga kita stuck sama cara itu saja.?
Faktor low self-esteem sepertinya tidak bisa kita lepaskan dari perilaku negative ini. Untuk yang belum tahu, definisi self-esteem kurang lebih adalah evaluasi kita mengenai nilai diri kita sendiri. Diatas sempat dibahas bahwa menggosip cenderung membuat kita merasa lebih superior dan merasa menjadi makhluk yang lebih baik disbanding orang yang sedang kita bicarakan. Kurang lebih skemanya seperti ini, orang lain perlu terlihat rendah / jelek / kurang bernilai à baru kita merasa bernilai. Its so destructive..!!!!!. Kita akan memiliki perasaan superior yang palsu, karena disitu kita tidak fokus untuk mengembangkan diri kita sendiri dalam berbagai aspek untuk bisa menjadi lebih baik yang nantinya bisa membuat kita lebih bernilai, namun kita malah fokus merendahkan orang lain untuk merasa bernilai.
So, What to do..??
Jika kita adalah pelaku atau penikmat gosip kita perlu mengingat berbagai dampak yang sudah dibicarakan diatas. Karena manusia tempatnya lupa dan salah. Pada banyak kasus, kita tahu berbagai konsekuensi negative dari suatu perilaku, namun seringkali kita lupa. Oleh karena itu, barangkali catatan kecil bisa jadi pengingat kita untuk tidak mengulangi perilaku ini. Dalam cognitive behavioral therapy, tidak jarang pasien mendapatkan tugas untuk membaca catatan yang biasanya dimulai dengan kata “Remind my self…”. Catatan ini dihasilkan dari pembahasan dalam sesi terapi bersama psikolognya. Begitupula jika kita berperan sebagai pihak ketiga. Kita perlu mengingatkan rekan atau saudara kita bila mereka melakukan yang sama. Barangkali sedikit pengingat bisa membuat mereka “sadar” untuk tidak melanjutkan atau memulai gosip.
Berikutnya memfokuskan dirikita pada berbagai kesempatan untuk meningkatkan keterampilan yang bermanfaat untuk karir atau dunia pendidikan. Hal ini didasari salah satu aspek yang mendukung self-esteem yaitu ketika individu memiliki sense of achievement dan penguasaan keterampulan tertentu. Tentunya tidak mudah, karena untuk bisa meningkatkan keterampilan, individu perlu menjadi resilien terlebih dahulu. Perlu menjadi individu yang tahan banting. Tidak ada keterampilan tanpa persistensi, pengulangan, pengorbanan dan tantangan lainnya. Artinya juga, kita tetap perlu belajar bagaimana meregulasi emosi negative yang biasanya menjadi penghalang kita.
Semoga kita dihindarkan dan dijauhkan dari perilaku buruk ini. Dan dimudahkan untuk memutusnya, agar tidak menjadi tradisi ke anak cucu kita.
Firman Ramdhani, M.Psi., Psikolog.
Comments