Tahukah engkau, banyak sekali individu yang mengurungkan niat untuk mencari bantuan profesional hanya karena khawatir dikatakan “gila” oleh masyarakat ?. Ya.. Inilah realitanya. Stigma mengenai gangguan mental masih kuat di Indonesia. Seakan-akan Cuma ada dua golongan di Indonesia, “Waras” dan “Gila”. Orang yang tidak menemui psikiater atau psikolog pastinya “waras” dan sebaliknya mereka yang mencari bantuan mendapat stigma “gila”.
Pastinya itu berurut dari minimnya edukasi di masyarakat. Mereka tidak mengerti bahwa kondisi mental seseorang itu bersifat dinamis dan bukan hanya terbagi dua antara “waras” dan “gila”. Diantara dua kutub itu ada banyak individu yang hanya mengalami stress kerja dan ingin mencari bantuan karena sudah begitu mengganggu produktivitas kerjanya. Ada seorang ibu yang mengalami hormonal imbalance setelah melahirkan plus tidak memiliki supporting system yang membantunya menghadapi masa-masa genting post partum, sehingga ia mengalami apa yang disebut baby blues. Sekali-kali bukan, itu bukan gila.
Stigma membuat mereka mengurungkan niat untuk cari bantuan profesional. Bahkan lingkungan lebih mendukung mereka pergi ke orang pintar atau dukun yang nyatanya tidak pintar sama sekali. Atau lebih parah, mereka menyembunyikannya tahunan, belasan tahun atau bahkan puluhan tahun, menjadi borok yang membusuk. Masih ingat heboh kasus pemasungan para penderita gangguan jiwa ? Inilah pilihan yang ditempuh beberapa dari masyarakat kita. Mungkin kita akan menyalahkan mereka tidak punya empati dan tidak berprikemanusiaan. Tapi pernahkah kita berempati pada kondisi mereka?. Tahukah kita berat sekali rasanya ketika kita punya anggota keluarga yang mengalami gangguan psikologis?. Saking beratnya mereka sampai patah arang, tenggelam dalam emosi dan akhirnya memilih jalan pintas yang tak juga solutif.
Beritahu pada masyarakat kita, kalau memang berat jangan hadapi sendiri, cari bantuan, kerjakan dengan berkolaborasi bersama para tenaga kesehatan kita.
Lebih lanjut, penanganan yang terlambat membuat kondisi penderita menjadi parah atau dalam bahasa medis prognosisnya sangat negatif. Lucunya, ketika coba ditangani secara profesional banyak keluarga yang mengeluh dan menyalahkan para psikolog atau psikiater. Katanya “kok lama”, “kok gak ada perubahan”, “kok masih gini-gini aja”, “kok ini…..”, “kok itu……”. Hadeuhhhhh.. Bagaimana yaaa… karena ini bukan mesin mekanikal yang relatif lebih mudah mencari sumber kerusakan dan cari onderdil di bengkel sebagai penggantinya. Ini adalah manusia, makhluk yang sangat amat kompleks cara berpikirnya. Makhluk yang punya self defense mechanism yang membuat mereka membentengi diri ketika ada ancaman baik secara fisik maupun psikologis.
Permasalahan berikutnya adalah minimnya tenaga ahli kita.
Berita mengenai minimnya tenaga ahli dalam dunia mental health Indonesia bukan lagi menjadi hal yang baru. Baik jumlah psikiater dan psikolog tidak memenuhi proporsi standar dibanding jumlah penduduk Indonesia yang sekarang berada pada angka 270 juta jiwa. Belum lagi kita bicarakan mengenai asuransi. Gangguan mental belum sepenuhnya tercover oleh asuransi swasta maupun BPJS.
Yang lebih fatal adalah minimnya support untuk asuransi pada jasa terapi psikologis. Sekarang terapi psikologis yang murah dan disediakan pemerintah terdapat di RSUD atau puskesmas. Itupun tidak semua kota, tidak semua RSUD dan puskesmas. Sangat sedikit sekali dibanding mereka yang membutuhkan layanan terjangkau. Psikolog klinis biasanya praktek mandiri atau di biro swasta atau di rumah sakit swasta.
Tapi saya coba memandang dari sudut pandang lain, memang sejak kuliah dahulu profesi psikolog klinis dipandang sebagai profesi yang “Kurang Menjanjikan” dibanding misalnya engineer ataupun dokter. Sejalan dengan itu, spesialis kejiwaan atau dikenal dengan psikiater juga dipandang “Kurang Menjanjikan” dibanding spesialis lain seperti bedah maupun obgyn. Dari situ saja kita bisa membayangkan, pastinya tidak akan banyak profesional yang mau terjun ke dunia ini.
Belum lagi budaya Indonesia yang memang tidak mengenal dua profesi garda terdepan mental health ini. Kita lebih mengenal metode yang sifatnya spiritual dibanding scientific. Masyarakat lebih suka datang ke “Orang Pintar” ketika menemukan dirinya atau keluarganya memiliki perilaku yang dianggap aneh. Mistis masih mendarah daging, segala sesuatu dikaitkan dengannya. Sehingga makin dipandang sebelah mata-lah profesi psikolog dan psikiater ini.
Akan tetapi, meningkatnya kepedulian masyarakat terhadap mental health di Indonesia membuka wacana baru. Psikolog klinis dan psikiater menjadi “tulang punggung” informasi jika ada gejala mental health yang terjadi di masyarakat. Tak elak mereka sering diundang berbagai media untuk diminta pendapatnya. Sejalan dengan itu, para psikolog klinis muda lebih mudah langsung menjajaki karirnya setelah lulus. Berbeda sekali dengan pengalaman pribadi beberapa tahun silam, dimana lowongan atau kesempatan berkarir di dunia klinis sangatlah minim.
Biarlah ini berkembang dengan generik apa adanya. Memang kita sekarang minim tenaga ahli, tapi itu sebanding dengan orang yang perduli terhadap mental health mereka. Sekarang, dengan meningkatnya awareness, mudah-mudahan menarik para psikolog klinis yang murtad (tidak praktek, malah memilih kerja di perusahaan misalnya) untuk kembali hijrah. Ataupun menarik para dokter untuk menjadi dokter spesialis kejiwaan.
Jangan sampai, banyak tenaga ahli (psikolog dan psikiater) tetapi tidak ada yang mau menggunakan jasanya. Begitu pula sebaliknya.
Firman Ramdhani, M.Psi., Psikolog.
Comments