Saya banyak menerima keluhan dari teman, keluarga dan juga pasien, bahwa selama masa pandemi ini bukannya kerjaan mereka berkurang, malahan jauh lebih sibuk. Se-sederhana, ketika mereka di kantor, mungkin satu hari maksimal hanya ada 2 – 3 meeting saja. Tapi ketika WFH (work from home) justru jumlahnya meningkat. Karena banyak proses yang dipotong, misalnya, ketika WFO (work from office) akan ada banyak basa-basi, seperti ngobrol di depan ruang meeting terlebih dahulu, menunggu kopi atau hidangan cemilan, atau hal lainnya. Sedangkan ketika WFH , hal itu tidak lagi menjadi urgensi.
Hal berikutnya yang menjadi keluhan, utamanya untuk mereka dan termasuk saya sendiri, yang sudah memiliki anak-anak. Selain WFH, anak-anak juga melakukan yang kita sebut PJJ (Pembelajaran Jarak Jauh). Kurang lebih kegiatannya mirip dengan orang tuanya, mereka harus stand by didepan laptop atau gadgetnya, pantengin zoom dan merespon kegiatan yang diberikan gurunya. Makin kecil usianya, makin perlu di dampingi. Dan menjadi tantangan tersendiri untuk orang tuanya, bagaimana manage waktu mereka untuk kerja, menemani anak zoom, mengerjakan tugas kantor, dan mendampingi anak menyelesaikan tugas sekolah. belum lagi berbagai permasalahan rumah tangga lainnya. Its so overwhelming.
Longgarkan Jadwal
Tak sengaja, saya mendengar keyword ini ketika belajar Cognitive Behavioral Therapy dari Judith Beck. “Under-scheduling” dia menjelaskan kepada kliennya filosofi manajemen waktu yang ia miliki ketika anak-anaknya masih kecil (bukan terkait isu pandemi). Dia mendapatkan banyak manfaat ketika ia menyusun jadwal lebih longgar, tidak terlalu ketat. Karena, pasti kebutuhan anak tidak bisa ditebak. Bisa saja, dia butuh kita temani karena tantrum, karena sakit, atau hal lainnya. Yang notabennya, sulit kita penuhi ketika jadwal kita ketat. Kita juga akan lebih mudah tersulut emosinya karena konflik antara peran sebagai orang tua, dan tuntutan memenuhi jadwal.
Coba cek jadwalmu selama pandemi ini, seketat apa? Jika memang terlalu ketat, apa yang bisa kamu longgarkan? Apakah ada side hustle yang perlu dikurangi? atau kegiatan lain yang sekiranya tidak menuntut urgensi. Atau kita tidak pernah buat jadwal selama ini? Jika tidak, you’d better try. Buat dirimu lebih terorganisir dan jangan meremehkan scheduling. Karena dalam CBT sendiri, membuat jadwal kegiatan itu merupakan salah satu moda terapi yang biasa digunakan pada masalah gangguan depresi. Tidak hanya soal menuliskan apa saja yang kita akan kerjakan, tapi juga soal apa yang kita maknai dari kegiatan tersebut, emosi apa yang muncul ketika kita melakukannya. Termasuk juga nantinya membuat skala prioritas.
Manfaat Jeda
Ketika jadwal tidak begitu padat, kita sebenarnya punya banyak waktu untuk mengasah keahlian intrapersonal. Intra = bagian dalam, personal = diri kita sendiri, yaitu kurang lebih ketika kita memfokuskan diri pada apa yang ada di dalam, seperti emosi, pikiran, reaksi fisik, dan lainnya. Dimana kegiatan ini jarang sekali kita lakukan , jika jadwal kita terlalu padat. Pikiran kita tidak akan memiliki nafas untuk bisa kosong bahkan hanya untuk sebentar. Berpotensi menjadi hypervigilance atau terlalu waspada. Kita berpikir tentang apa yang akan terjadi di meeting nanti, apakah saya akan ditanya dan dicecer?, atau apa yang akan dibicarakan dosen pembimbing aku nanti mengenai draft skripsi ini?.
Ingat, sebelum pandemic kita pernah berada pada rutinitas macet di jalan, yang justru pada saat itu pikiran kita sering ngawang-ngawang, melayang mengunjungi berbagai folder cerita di pikiran kita. Pada saat itu kita sedang refeksi, pengalaman kita kemarin, minggu lalu, atau bahkan tahun lalu. Kita mencoba mengintrospeksi diri, apa yang salah dan apa yang sudah maksimal kita lakukan. Yang berujung pada kontemplasi diri, dimana barangkali akan mengarahkan kita untuk mengambil pelajaran dari pengalaman tersebut.
Bagi kalian yang tumbuh di era 80 atau 90-an, mungkin akan sangat familiar dengan hal tersebut. Minim hiburan, kita biasanya menghabiskan waktu kadang sendirian di rumah, membuka buku atau sekedar manjat pohon dan memakan buahnya langsung. Its so mindful..!!!. By the way, itu saya yang suka manjat pohon jambu dan juga genteng rumah, untuk melihat pesawat melintas. Mungkin juga karena dulu tidak ada kerjaan dan merasa bosan kita jadi seperti itu. Tapi jangan salah, perasaan bosan dengan kadar yang tepat, sangat bermanfaat loh buat kita.
Lebih lanjut, apa mungkin, karena sekarang banyak sekali media hiburan, mulai dari game, youtube, Netflix, spotify, dan lainnya, kita jadi sulit untuk menjadi mindful..?? sulit untuk melakukan kontemplasi..?? sulit untuk punya kemampuan intrapersonal..??. Mungkin ada baiknya kita sesekali merasakan bosan dalam kadar yang tepat.
Bosan
Rasa bosan dapat dijadikan sebagai stimulus untuk berubah, mengarahkan kita kepada berbagai ide yang lebih baik, menaikkan ambisi dan kesempatan yang lebih luas. Banyak pencapaian manusia itu diraih diawali dengan rasa bosan (Burton, 2014).
Bertrand Russell, seorang filsuf menyebutkan sebuah teori menarik “a generation that cannot endure boredom will be a generation of little men….” (diambil dari bukunya The Conquest of Happiness). Orang tua modern kekinian terkadang tidak tahan memberikan anaknya berbagai kegiatan. Anak akan beranjak dari satu kegiatan ke kegiatan lainnya, terlebih kegiatan itu sangat stimulating atau exciting. Justru hal ini akan membuat anak ketagihan dengan stimulus itu, seakan-akan terbentuk suatu standar didalam dirinya untuk bisa merasa seperti itu lagi. Yang pada akhirnya akan berbentuk seperti adiksi, lama kelamaan standar tersebut akan naik dan naik. Anak perlu diberikan kegiatan yang Russell sebut sebagai fruitful monotony, berupa kegiatan yang sibuk dan seperti bekerja (ada target atau tujuan), yang tidak melulu membuatnya terstimulai atau excited (Educationviews.org, 2017).
Saya merasa kita perlu menjadi kaum tengah, dimana tidak terlalu memiliki jadwal yang padat dan tidak juga terlalu kosong melompong. Kaum tengah artinya kita masih punya alokasi waktu untuk merasa bosan secukupnya, bisa digunakan untuk berkontemplasi, menelaah pikiran sendiri, atau juga untuk daydreaming, mengkhayal disiang bolong. Ingat, kuncinya adalah semuanya ada porsinya, tidak berlebihan tidak juga kekurangan.
Lebih lanjut, ada beberapa riset yang memperkuat data mengenai efek positif dari rasa bosan, diantaranya; dapat membuat kita menjadi lebih kreatif, lebih goal-oriented, penting untuk kebahagiaan kita, dan juga mendorong pada perilaku altruistic. (Gillet, 2016). Ingat..!!! ini bosan bukan sembarang bosan..!
Aware of Self-Comparison
Ini yang membuat kita membabi buta tanpa sadar mengencangkan jadwal kita, meningkatkan intensitas kerja kita, karena kita berpikir untuk tidak mau kalah dengan orang lain. Orang lain yang kita lihat di media sosial sudah memiliki segudang pencapaian. Dimana bahkan orang tersebut tidak kita kenal secara pribadi. Terlebih yang Namanya media sosial, mereka hanya akan menampilkan yang baik-baik saja. Sehingga, orang yang melihat hanya dari video ataupun gambar lagnsung berpikir bahwa hidup orang lain jauh lebih baik. Tak ayal muncullah standar hidup yang irasional untuk kita ikuti. Irasional karena hanya kita ambil dari sosial media dan tidak apple to apple.
Jadi kita harus aware betul mengenai hal ini, karena pasti akan memunculkan sensasi-sensasi tidak nyaman di tubuh kita. Kita perlu menyusun ulang lagi apa target kita dalam jangka waktu dekat ataupun panjang. Mana yang perlu kita prioritaskan segera, mana yang bisa kita kurangi atau bahkan kita hilangkan sementara. Tujuannya adalah supaya kita bisa atur jadwal agar lebih lenggang dan bisa bernafas.
Skala Prioritas dan Menulis Jadwal
Tentunya tidak sah jika kita tidak bahas kompensasi dari under-scheduling, apa yang perlu kita siapkan..?. Saya mencoba menganalisanya dan mengerucut pada beberapa aspek, yaitu ; Bagaimana membuat Skala Prioritas. Kita mengutip cara yang umum dari bukunya Stephen Covey, A. Roger Merrill, dan Rebecca R. Merrill berjudul First Things First (1994). Dibuku tersebut kita dipandu untuk membuat kotak prioritas dan membagi kegiatan kita ke dalam 4 kotak atau quadran. 1) Kegiatan yang penting dan mendesak, ini perlu lakukan sekarang, 2) tidak penting dan tapi mendesak, ini bisa kita masukkan ke dalam rencana sesegera mungkin, 3) penting tak mendesak, mungkin kita bisa minta bantuan orang lain untuk mengerjakannya, 4) Tidak penting dan tidak mendesak, ini bisa kita tunda atau langsung tinggalkan.
Ingat selalu, dalam cognitive behavioral therapy tugas-tugas tertulis seperti ini akan sangat bermanfaat jika kita sasar juga aspek kognitifnya. Bagaimana pemaknaan kita pada tugas tertentu. Apa yang terlintas dalam benak kita ketika terpikir mengenai kegiatan tersebut ? apa yang membuat kita sulit mendrop kegiatan tersebut, padahal ada di kolom tidak mendesak dan tidak penting. ? Apa yang kita khawatirkan akan terjadi ? apa konsekuensi terburuk yang kita bayangkan ?.
Biar lebih komprehensif, buatlah jadwal mingguan. Bagi yang tidak terbiasa menulis, bisa juga membuatnya di aplikasi yang ada di gadget kita. Cara tersebut membuat cara berpikir kita lebih tertata, sehingga minim ada miss dalam pelaksanaan kegiatan kita. Jadi jangan skeptis dulu soal membuat jadwal yaaa..!!!. Luangkan setiap hari minggu untuk Menyusun agendamu. Lalu review setiap harinya, apa yang perlu atau sudah dikerjakan. Lambat laun, pikiran kita lebih terlatih dan mungkin pada saat itu tidak memerlukan jadwal mingguan lagi.
Dan mengutip dari bagaimana cognitive behavioral therapy mengajarkan scheduling pada pasien dengan gangguan depresi, kita juga bisa menambahkan beberapa aspek. Misalnya menulis kegiatan apa saja yang menimbulkan sense of mastery dan juga sense of pleasure. Apakah kegiatan yang kita buat seimbang ? jangan-jangan kita terlalu banyak kegiatan yang memberikan sense of pleasure atau rasa senang yang notabennya adalah kegiatan-kegiatan yang gak produktif. Untuk lebih lanjutnya mungkin teman-teman bisa baca artikel di mindinstitute.id mengenai Behavioral Activation untuk Produktivitas selama Pandemi.
Kesehatan Mental
Tujuan besarnya adalah ketika kita sudah dapat mengatur jadwal kita menjadi tidak terlalu ketat adalah well-being kita sendiri. Bagaimana kita bisa less stress, sehingga dapat lebih nyaman dalam menjalani hidup kita. Atau bisa kita bilang tujuan utamanya adalah kesehatan mental kita sendiri yang nantinya bisa juga berimbas kepada orang-orang disekitar kita.
Jika kita memforsir kegiatan kita mungkin akan banyak kerjaan yang bisa kita selesaikan dan terkesan menjadi sangat produktif. Tapi apa artinya ketika kita merasa tertekan dan akhirnya jadi emosional. Dalam cognitive behavioral therapy, pasien kadang perlu diarahkan untuk berpikir konsekuensi tindakannya untuk jangka panjang atau for the long run. Mungkin untuk short run, kegiatan padat terlihat menguntungkan buat kita atau kocek kita (bagi yang sudah bekerja), lebih di apresiasi oleh atasan. Tapi for the long run, kita akan kelelahan dan bisa jadi akan terkapar. Jika kita lebih memilih long run, kita bisa meraih karir lebih panjang, hidup lebih bermakna, psikologis diri lebih sehat, mungkin juga fisik yang tetap prima. Mana yang ingin kamu pilih ?.
Analoginya persis seperti lari maraton, apakah kita akan nekat forsir di depan ? padahal track lombanya sampai 50 km ? Tentu tidak.. Jika kita ingin berlari sampai garis finish, kita perlu atur energi, kecepatan, konsentrasi dan banyak lainnya. Sekarang, tanyakan pada dirimu, apa yang kamu jadikan sebagai garis finish ?
Belum lagi ketika kita “salah memilih” untuk fokus pada kegiatan di media sosial kita dibandingkan dengan kegiatan lain yang lebih bermakna. Yes, memang akan ada semacam tuntutan tak terlihat untuk kita selalu update informasi atau selalu membalas cepat berbagai pesan yang masuk atau selalu terlibat dalam diskusi group. Karena memang semua itu didesain untuk menjadi adiktif. Membuat kita kembali dan kembali lagi, menjadi impulsif tidak lagi mementingkan hal lain. For the short run, followers kita bisa bertambah, teman main ataupun teman kantor kita akan sangat apresiasi karena kita responsif. Tapi for the long run, bisa saja kita kehilangan waktu untuk bisa menikmati hari-hari bersama orang tua atau anak-anak kita. Tak terasa orang tua kita makin menua dan meninggal, atau tak terasa anak kita sudah remaja dan tidak lagi bisa tatap-tatapan mata dan tertawa saling menggelitik. Malah kita menjadi lebih emosional di rumah dibanding dengan followers atau teman kita di whatsapp. Itukah yang mau kita cari ?? Bukankan sebaik-baiknya manusia adalah manusia yang baik dengan keluarganya ? Siapa yang nanti akan menemani kita ketika kita sakit ? apakah followers atau teman main atau teman kerja di whatsapp ? Tidakkah kamu berpikir ???.
Terakhir, waktu jeda yang kita punya sebenarnya dapat sekali kita manfaatkan untuk lebih mendekatkan diri kepada Yang Maha Esa. Betapa banyak mereka yang terlalu sibuk, ketika ibadah, misalnya shalat tidak lagi bisa fokus pada bacaannya. Pikiran tetap melayang membayangkan target dan tugas yang masih menggantung. Tidak bisa saya sebutkan satu-satu, tapi banyak sekali penelitian yang menyebutkan tingkat religiusitas dengan psikologis kita.
Jika kamu sampai pada paragraf ini artinya kamu sudah membaca semua tulisan mengenai under-scheduling. Pastinya masih banyak poin yang belum di bahas oleh saya. Jika ada masukkan please let me know. Kamu bisa menghubungi saya di Instagram pribadi @firman.ram.dhani atau di @mindinstitute.id. Dan jika kamu mendapati tulisan ini bermanfaat, please don’t hestitate to share. Bagikan sebanyak-banyaknya dan semoga tulisan sederhana ini bisa jadi amal jariyah untuk kita semua.
Firman Ramdhani, M.Psi., Psikolog.
Comments