top of page

Inilah yang Membuat Kita Mengkonsumsi Narkoba

Kita awali pembahasan ini dengan mengucapkan selamat memperingati Hari Anti Narkotika Internasional atau yang sering dikenal sebagai HANI, yang jatuh setiap tanggal 26 Juni 2020. Narkoba sendiri adalah masalah klasik yang dihadapi dunia, terkhusus juga Indonesia. Akan tetapi, masih banyak orang yang tidak memahami apa penyebab orang tertarik mengkonsumsi zat ini.


Dilansir dari materi edukasi NIDA (National Institute on Drug Abuse) semacam Lembaga penelitian narkoba di US. Disebut ada empat penyebab mengapa kita tertarik mengkonsumsi narkoba. Kita bahas satu persatu ya..


To Feel Good.

Narkoba dapat memberikan perasaan bahagia, senang, gembira yang intens. Perasaan ini diikuti dengan berbagai perasaan kuat lainnya, seperti percaya diri, mengingkatnya energi atau juga perasaan relaks dan puas. Bergantung dari jenis narkoba yang dikonsumsi. Apa iya ada orang yang pakai narkoba hanya untuk happy ? apa gak ada acara lain? Mungkin ada beberapa orang yang punya pertanyaan seperti itu. Jawabannya adalah, sangat mungkin..!!! karena bagi beberapa orang, sulit bagi mereka untuk memiliki perasaan seperti itu. Bahagia dan senang adalah emosi yang perlu diusahakan, kadang tidak ujug-ujug muncul begitu saja. Misalnya saja, ada orang yang baru saja kehilangan pacarnya karena kegep selingkuh dengan sahabatnya sendiri (agak sinetron yaaa) dan merasa sangat sedih dan terpukul. Ia perlu berusaha mengubah sudut pandangnya yang awalnya mungkin berpikir “tidak ada lagi yang bisa buat bahagia selain dia” menjadi “untung ketahuan sekarang, kalau Taunya pas sudah menikah, pasti lebih repot”, “saya diselamatkan dari lelaki tidak baik”. Coba resapi, apakah mudah mengubah sudut pandang seperti itu??


Itulah yang menyebabkan, daripada repot-repot mengubah sudut pandang atau mindset. Udahlah, mending langsung konsumsi narkoba yang instan membuat kita happy. Dan bukankah manusia sangat menyukai yang instan-instan?? Kita tidak menyukai kerepotan dan keribetan jika memang ada yang menawarkan yang instan. Sangat logis dan masuk akal kita, ketika ada google translate, kamus tebal akan ditinggalkan. Ketika sudah ada Microsoft word, mesin tik akan ditinggalkan (btw saya masih ngalamin jaman kuliah dulu pakai mesin tik… hihi). Ketika sudah ada google maps, peta konvensional sudah ditinggalkan. Atau seperti Yellow Pages, ada yang pernah ngalamin zaman itu? Ketika mencari nomor telpon orang kita lihat dari sebuah buku yang tebalnya ratusan halaman.??.


Walhasil, narkoba banyak fansnya, karena dengan instan memberikan rasa bahagia, senang, gembira tersebut. Tapi tidak dengan dampak buruknya, kebiasaan menggunakan instan pastinya tidak baik buat tubuh kita. Tengoklah mie instan, yang sudah dibahas oleh berbagai pakar dan dianjurkan untuk tidak terlalu sering mengkonsumsinya. Atau bahkan dari contoh diatas, yaitu google maps, dengan kemudahannya, membuat otak kita malas berpikir dan mengingat peta. Padahal dulu kita dipaksa mengetahui arah mata angin, rute perjalanan bahkan patokan-patokan penting di Jakarta. Efeknya apa?? Banyak sekali, buat otak kita, makin banyak stimulus positif makin baik. Dengan mencoba mengingat rute, membantu kita melatih focus dan atensi kita. Melatih kemampuan spasial dan memori kita. Ingat otak sifatnya use it or lose it, kalau gak dipakai maka akan di cukur (pruning).


Lebih jauh, ketertarikan kita untuk mencari berbagai hal yang instan tidak terlepas dari lemahnya kita menghadapi tekanan. Kita cenderung berkembang jadi orang yang kurang tahan banting atau kerennya disebut low frustration tolerance. Kurang lebih gambarannya seperti ini, coba kita tanya orang tua kita, berapa tahun dia bekerja di perusahaan sekarang? Ada yang bilang 20 tahun, 30 tahun, Luar biasa bukan..!! coba tengok rekan-rekan kerja kita, ada yang baru dimarahi atasan sekali langsung resign, ada yang merasa tidak cocok dengan pekerjaannya langsung minta mengundurkan diri. Yeah, pastinya ini bukan factor tunggal, banyak factor yang terlibat di dalamnya, termasuk bagaimana zaman sekarang tersedia lebih banyak lapangan pekerjaan termasuk kesempatan besar berwirausaha dengan modal minim. Walhasil membuat anak-anak zaman now, menjadi nothing to lose untuk meninggalkan pekerjaannya. Tapi kita bisa bayangkan bagaimana tahan bantingnya kedua orang tua kita menghadapi berbagai aral melintang dalam kehidupannya, mungkin mereka memang pantas disebut sudah mencicip asam dan garam kehidupan.!!!


To Feel Better

Konsumen narkoba juga banyak yang berawal dari permasalahan psikologis yang mereka miliki. Banyak yang pada awalnya menderita stress yang kronis dan sampai pada gangguan cemas ataupun depresi. Mereka mengkonsumsi narkoba untuk mengurangi intensitas gejala psikologis yang membuatnya sangat tidak nyaman.


Sebagaimana judulnya, to feel better (untuk merasa lebih baik) sangat terkait dengan poin sebelumnya dimana orang menyukai apa-apa yang sifatnya instan. Ketika kita mengalami stress yang kronis dan tidak memiliki kemampuan coping dalam menghadapinya, kita akan merasa sangat overwhelmed. Analogi saya seperti korban kapal legendaris, Titanic. Setelah kapal tenggelam, ratusan penumpang masih mengapung ditengah Samudra Atlantik dan di dalam kegelapan malam. Mereka perlu tetap berusaha mengapung di atas permukaan laut, atau tenggelam. Mereka yang tidak memiliki kemampuan menghadapi stress akan berada seperti tokoh Jack dimana ia mengapung dan hanya kepala yang diatas permukaan. Sampai akhirnya dia tidak kuat untuk bertahan dan tenggelam di Samudra Atlantik. Itulah kondisi ketika kita tenggelam dalam emosi, kita bisa saja memiliki pikiran irasional yang sangat kuat, sehingga membuat kita menjadi sangat emosional dan mengambil keputusan atau berespon dengan tidak tepat. Kita perlu menjadi seperti Rose, yang tetap mengapung di atas papan sehingga bisa tetap hidup meskipun susah payah karena kedinginan.


In fact, ketika kita pergi ke psikiater kita akan diberi obat-obatan yang bisa berperan sebagai penenang. Itulah yang menyebabkan obat-obatan dari psikiater tergolong diatur ketat, tidak sembarangan dijual bebas. Perlu tanggung jawab yang tinggi dalam mengkonsumsinya dengan tetap berkonsultasi dengan doker Sp.Kj (Spesialis Kejiwaan) untuk mendapatkan dosis dan rentang waktu konsumsi yang tepat. Karena dengan minum obat antipsikotik, mereka yang memliki gangguan skizofrenia bisa lebih terkontrol gejalanya, halusinasinya bisa berkurang. Orang yang punya gangguan depresi, dengan meminum antidepressant dapat meningkatkan mood mereka. Lalu, orang yang punya gangguan cemas dengan mengkonsumsi anticemas, dapat membuat mereka lebih tenang dalam menghadapi stimulis cemasnya. Kurang kuat apa itu obat..!!!.


Obat-obatan dari psikater tidak ubahnya seperti narkoba, mereka sama-sama mengubah kadar neurotransmitter di otak. Tidak jarang obat-obatan penenang dijadikan alat untuk teler atau ngefly oleh mereka yang tidak bertanggung jawab. Akan tetapi, apabila penggunannya sudah ditakar sesuai dosis yang tepat yang sudah dipertimbangkan matang oleh dokter yang kompeten, obat tersebut akan sangat bermanfaat. Tengoklah generasi narkoba zaman dulu, seperti morfin, yang sebenarnya digunakan dalam dunia kedokteran sebagai anastesi.


Apakah mengubah kadar neurotransmitter hanya bisa melalui obat-obatan atau narkoba ? Tentu tidak..!!! kita punya potensi internal sendiri untuk melakukannya. Dengan mengubah mind kita akan mengubah cara kerja brain kita, dan akan menstimulasi berbagai neurotransmitter tersebut. Itulah yang menjadi landasan nama kita MIND AND BRAIN INDONESIA..!!


To Do Better

Sebagai seorang pelajar ataupun pekerja kita kadang merasa tuntutan orang disekitar kita terkadang terlalu tinggi yang tidak jarang membuat kita greget sendiri karena sulit memenuhinya. Bayangkan apabila menjadi seorang atlit, tuntutan itu bisa berkali-kali lipat. Apalagi sebagai atlit yang mewakili negara, 270 juta orang di belakangnya…!!! Kondisi tersebutlah yang dapat menjerumuskan kita kepada narkoba. Lagi-lagi prinsip instan dan kurang tahan banting tidak terelakkan. Karena untuk memenuhi tuntutan tersebut kita perlu bekerja keras dan tidak semua manusia bisa struggling dalam kerja keras tersebut.


Permasalahan ini tidak bisa dipandang dari satu sisi saja. Karena pasti ada pertanyaan, andaikan sudah bekerja maksimal tapi masih belum memenuhi tuntutan lingkungan artinya yang salah siapa ?? disini kita perlu hentikan dulu, ketika pertanyaannya “siapa yang salah?” biasanya berujung kurang baik karena saling menyalahkan. Ada satu poin dalam CBT (cognitive behaviour therapy) yang saya suka, yaitu kembalikan permasalahan tersebut kembali kepada individunya. Dan dalam kasus ini adalah self-esteem, atau nilai diri, bagaimana kita menilai diri kita sendiri. Ketika self-esteem kita lemah, kita menjadi lebih sensitive dan lebih emosional. Kita memandang diri kita rendah, tidak mampu, tidak dicintai, tidak diinginkan dan berbagai pikiran negative lainnya. Kapan-kapan kita bahas spesifik mengenai self-esteem ya.


Ketika tuntutan lingkungan menjadi tidak masuk akal, artinya kita perlu punya kualitas diri untuk menerima itu. Kita perlu mengembangkan kemampuan kita untuk acceptance , menerima bahwa kita tidak sempurna dan punya keterbatasan (baik keterbatasan fisik, energi, pikiran ataupun waktu). Termasuk menerima bahwa ada orang lain yang lebih baik dibanding kita. Nah, coba kita refleksi diri dari pengalaman pribadi, pernahkah kamu berada pada posisi tersebut? Bagaimana rasanya? Sesak sekali di dada bukan???. Akhirnya, terkadang pilihan untuk mengkonsumsi narkoba menjadi masuk akal dibanding berusaha keras dengan kemampuan sendiri atau menerima kelemahan dan kekurangan diri.


Lebih jauh lagi, ketika kita punya self-esteem yang lemah, bahkan tuntutan yang sebenarnya tidak adapun bisa kita persepsikan nyata adanya. Salah satunya dengan paparan sosial media. Kebanyakan orang akan memposting semua kegiatan atau pencapaian positifnya saja. Misalnya, video anak ketika menurut makan di meja makan tidak dengan video ketika si anak rusuh dan tidak mau makan. Orang-orang yang melihat video itu bisa merasa tertonjok, ketika anaknya sendiri tidak mau makan. Muncul dalam pikirannya sebuah standar atau ekspektasi yang tidak nyata, tidak apple to apple. Atau ketika kita nonton drama korea, dimana kehidupan berpasangan terlihat unyu unyu. Kita jadi punya ekspektasi dan tuntutan terhadap hubungan kita dengan pasangan. Yang membuat kita jadi merasa kurang saja ketika tidak sesuai dengan ekpektasi atau standar yang fake (palsu) tersebut


Kita bisa elaborasi lebih dalam lagi, ketika perasaan negatif yang bertubi-tubi menyerang pada saat kita merasa tidak mampu menjadi lebih baik dari tiap tuntutan membuat kita beralih dari to do better menjadi to feel better.


Curiousity and social pressure

Poin ini banyak tejadi pada remaja. Otak remaja lebih mendapatkan “reward” dibanding otak dewasa. Mereka cenderung berpikir bukan bagaimana resiko apa dari perilaku yang akan dia lakukan, tapi lebih kepada hadiah/ganjaran/reward apa yang akan dia dapat. Jadi sudah terbayang dipelupuk matanya apa nikmat-nikmat yang sudah dijanjikan jika ia datang ke tongkrongan temannya, ketika dia dipuji karenaa mengikuti tren ngaco dari gengnya, atau ketika menang permainan di PUBG atau mobile legend. Tidak terbayang bahwa banyak dampak negative dari narkoba, tidak terbayang apa nilai ulangan yang jelek akan mempengaurhinya untuk bisa masuk perguruan tinggi favorit, atau berbagai dampak negative lainnya.


Di otak, reward sangat terkait dengan salah satu neurotransmitter, yaitu dopamine. Neuron dopamine di otak pada tikus remaja ketika distimulasi bisa menembakkan Action Potential lebih banyak dibanding tikus dewasa, yang berarti remaja lebih cenderung mencari reward dibanding rentang usia lainnya. Mereka sangat sensitive terhadap perilaku yang rewarding.


Neuron dopamine dari VTA pada tikus remaja ketika distimulasi bisa menembakkan Action Potentioal lebih banyak dibanding tikus dewasa, remaja lebih cenderung mencari reward

Yang jadi permasalahan berat adalah bagian otak yang berfungsi sebagai rem belum berfungsi maksimal, yaitu Prefrontal Cortex. Yang membuat mereka seakan “buta” terhadap berbagai konsekuensi negatif dari narkoba. Tapi selalu diingat, ini sifatnya individual, karena ada juga remaja yang punya kontrol diri yang bagus.


Salah satu perilaku yang rewarding adalah ketika remaja bisa diterima oleh teman-temannya. Apabila mereka bertemu dengan lingkungan negative, mudah sekali mereka terjerumus. Bisa juga disebut social pressure. Remaja yang memiliki self-esteem yang lemah akan sangat mudah mengikuti dorongan negative teman-temannya. Ia bisa berpikir “Kalau gw gak ikutan coba, nanti gw gak diterima geng ini, nanti gimana?” “gak ada yang bisa ngertiin dan solid kayak mereka”. Seakan-akan seperti sebuah kutub, ketika ia tidak diterima teman-temannya, tidak adalagi yang akan menerimanya. Loh kok begitu? Kan masih ada keluarga..?. Iyess, inilah core to the core, intinya inti. Banyak dari remaja menganggap keluarganya berlawanan dengannya. Komunikasi dengan orang tua hanya berisi nasihat dengan nada-nada yang judgemental. Tidak ada komunikasi yang menyenangkan seperti dengan teman-teman gengnya. Padahal salah satu bahan bakar dari self-esteem adalah utamanya love and belonging yang didapat dari keluarga inti.


Otak remaja tidak melulu buruk. Dorongan ingin tahu yang tinggi dan kurang begitu mengindahkan resiko, sebenarnya cocok untuk dipakai dalam eksplorasi berbagai keahlian. Ditambah dengan energi yang besar membuat mereka sangat cocok disebut sebagai learning machine. Karena di usia remaja juga terjadi apa yang disebut sebagai pruning, yaitu ketika sambungan neuron yang tidak digunakan akan dicukur, dan yang sering digunakan akan diperkuat. Jadi tinggal bagaimana si remaja mendapat lingkungan yang baik dan terlebih juga bisa mendapatkan mentor sekaligus role model yang tepat, insyallah dapat membuat mereka lebih terarah dan berjalan di jalan yang lurus.


oleh Firman Ramdhani, M.Psi., Psikolog

6 tampilan0 komentar

Postingan Terakhir

Lihat Semua
bottom of page