Bulan Ramadhan sudah sampai diujungnya yang akan ditutup dengan perhelatan Idul Fitri. Pada beberapa budaya, utamanya di Indonesia, momen Idul Fitri kadang dimanfaatkan untuk saling maaf-maafan. Anak meminta maaf kepada orang tua, suami ke istri atau sebaliknya, adik ke kakak atau sebaliknya. Tidak hanya keluarga, di lingkungan sesama tetangga ataupun lingkungan pertemanan juga tidak luput dari tradisi maaf-maafan ini. Tradisi yang positif, meskipun bagi kita, tradisi tersebut sebaiknya tidak dikhususkan di bulan suci Ramadan. Kadang ada beberapa orang yang nantinya akan berpikir “Ah nanti aja minta maafnya sekalian Idul Fitri”, “Gw tunggu maafnya dia nanti pas Idul Fitri”.
Dalam tulisan ini kita ingin mencoba menggali lebih dalam terkait pemaafan. Satu kata sederhana yang memiliki arti yang dalam dan banyak dari kita yang belum memahami apa arti pemaafan itu sebenarnya. Apakah sebenarnya pemaafan itu? Bagaimana prosesnya? pemaafan itu hanya khusus pada memaafkan kesalahan orang lain? Atau bisa juga kita pakai istilahnya ketika kita memaafkan kesalahan diri sendiri? Yuk simak tulisan panjang kali lebar di bawah ini. Jangan lupa share ya, semoga manfaatnya bisa tersebar luas.
Pemaafan atau dalam bahasa Inggris disebut forgiveness adalah ketika terjadinya penurunan motivasi individu untuk membalas dendam dan untuk menghindari orang lain, yang dibarengi dengan peningkatan motivasi individu untuk melakukan niat baik dan berdamai dengan orang lain (McCullough, 2008). Makna yang sangat dalam dan luas ya dari sebuah kalimat. Mungkin ada beberapa dari kita yang membaca definisi pemaafan langsung merasa makjleb, karena berat dan sulitnya membayangkan itu. Membayangkan kita mendekati kembali sosok yang buat kita marah, sedih atau kecewa, membayangkan bagaimana kita beramah tamah dan berbuat baik dengan mereka. Setelah, sekian lama kita pendam emosi negatif tersebut dan sekian lama itu juga kita memutuskan tali silaturahim.
Definisi lain juga menarik kita pelajari. “Forgiveness is the willful giving up of resentment in the face of another’s (or others’) considerable injustice and responding with beneficence to the offender even though that offender has no right to the forgiver’s moral goodness” (See for example, Enright & the Human Development Study Group, 1991). Pemaafan adalah ketika kita mampu bersikap murah hati kepada seseorang yang memperlakukan kita secara tidak baik dan sebenarnya dia juga tidak pantas mendapatkan perlakuan itu. Nampaknya definisi ini jauh lebih berat ya untuk diterapkan.
Pemaafan dibedakan dari rekonsiliasi, rekonsiliasi melibatkan dua orang bersama kembali dalam mutual trust, sementara pemaafan adalah pilihan satu orang untuk melepaskan kebencian, dendam, kemarahan, kedongkolan (dan kata lainnya yang sejenis) dan menawarkan perilaku sebaliknya (kemurahan hati). Kita bisa saja memaafkan tanpa adanya rekonsiliasi. Selain itu pemaafan juga beda dengan melupakan. Pengalaman negatif yang emosional akan sulit untuk kita lupakan. Akan tetapi, ketika kita mengambil opsi memaafkan, kita mungkin akan tetap mengingat kejadian tersebut, tapi kita akan mengingatnya dengan cara dan pemaknaan yang baru, sehingga emosi yang diproduksi lebih positif.
Manfaat dari Memaafkan
Lalu, sekarang kita masuk kepada manfaat dari memaafkan itu sendiri. Dengan definisi seberat itu, harusnya efeknya juga luar biasa ya. Souders (2020) menyatakan bahwa setidaknya ada 9 manfaat memaafkan, yang kita rangkum dalam beberapa poin :
Menurunkan emosi negatif
Memunculkan pemikiran yang lebih positif
Memulihkan hubungan kita dengan orang lain
Menurunkan gejala kecemasan atau depresi yang muncul
Menguatkan aspek spiritualitas kita
Meningkatkan self-esteem atau citra diri
Memberikan rasa harapan yang lebih besar
Meningkatkan kapasitas mengelola konflik yang lebih baik
Meningkatkan kemampuan untuk menghadapi stres
Ternyata memaafkan tidak hanya berdampak pada sisi spiritual dan psikologis kita,
namun juga ada dampaknya ke fisik kita yang seringkali tidak kita sadari. Apa aja tuh?
Menurunkan potensi masalah pada sistem kardiovaskular
Menurut Worthington dan Scherer (2004), dengan memaafkan artinya kita menurunkan amarah dan sikap permusuhan kita. Sikap permusuhan secara langsung berpengaruh pada sejumlah masalah kesehatan, utamanya paling merusak sistem kardiovaskular. Menurut Wong, Na, Regan, dan Whooley (2013), sikap permusuhan merupakan prediktor signifikan pada pasien jantung koroner. Tidak hanya itu, masalah pada sistem kardiovaskular juga terkait dengan penyakit seperti cardiac infarction, hipertensi, dan stroke. Memaafkan dianggap sebagai cara menghadapi masalah yang berfokus pada emosi dan telah dinyatakan dapat menurunkan amarah dan sikap permusuhan (Al-Mabuk et al., 1995 dalam Worthington & Scherer, 2004). Oleh karena itu dengan memaafkan maka kita menurunkan potensi memiliki masalah pada sistem kardiovaskular kita. Untuk lebih mendalaminya, coba kamu ingat ketika kamu marah, terasa kah detak jantungmu meningkat? Yes, itu karena sistem saraf otonom kita sangat sensitif terhadap stres, dan akan membuat kita masuk ke fase “fight or flight”. Jika ini terjadi dalam kurun waktu yang lama, tidak heran sistem kita bisa menjadi overwhelmed.
Memengaruhi sistem imun
Stres dapat memengaruhi sistem imun kita, lho (Worthington & Scherer, 2004). Kok bisa sih? Ternyata, stres yang disebabkan oleh perilaku tidak memaafkan dapat meningkatkan emosi negatif dan menyebabkan disregulasi pada sistem imun (Kiecolt-Glaser dkk., 2002 dalam Worthington & Scherer, 2004). Stres dan emosi negatif memengaruhi cytokines yang berfungsi untuk melawan infeksi pada luka yang terjadi di tubuh kita. Selain itu juga cytokines berperan untuk mengatur suhu tubuh dan memengaruhi metabolisme. Belum lagi kita bicarakan mengenai hormon stres kita, yaitu kortisol yang ketika stres ini berlebihan, akan membuat menurunkan fungsi natural killer cells. Ya, sederhananya tubuh kita dibuat fokus pada menghadapi stres dibandingkan menghadapi bakteri, jamur, virus atau penyusup bahaya lainnya. Oleh karena itu, dengan memaafkan, itu dapat membuat kita menurunkan potensi stres dan menjaga sistem imun kita.
Memicu pelepasan hormon oxytocin dan prolactin
Secara tidak langsung, dengan memaafkan kita mengedepankan perdamaian (Worthington & Drinkard, 2000 dalam Worthington & Sceherer, 2004). Orang-orang yang lebih mudah memaafkan biasanya memiliki jaringan dukungan emosional yang lebih banyak. Kualitas dan kuantitas dukungan emosional memiliki pengaruh pada kesehatan fisik. Melalui dukungan sosial, hal tersebut dapat memengaruhi pelepasan neuropeptides seperti hormon oxytocin dan prolactin. Seperti yang kita tahu, hormon oxytocin menurunkan tekanan darah, denyut jantung, dan level cortisol (hormon terkait stres) (Petersson dkk., 1996 dalam Worthington & Scherer, 2004). Oxytocin itu adalah hormon kasih sayang yang banyak muncul ketika seorang ibu memeluk anaknya dengan cinta. Coba bayangkan! Damai sekali kan?
Proses Memaafkan
Mengingat efek memaafkan yang luar biasa dan sebegitu sulit mempraktekannya, kita akan mencoba membahas bagaimana melalui proses pemaafan dengan relatif lebih mudah.
Menurut artikel dari Thomas W. Baskin and Robert D. Enright dengan judul “Intervention studies on forgiveness : a meta-analysis”, disebutkan ada empat proses untuk memaafkan orang lain, yaitu uncovering phase, decision phase, work phase dan yang terakhir adalah outcome phase.
Uncovering phase
Pada proses ini kita perlu memiliki deep understanding atau pemahaman yang mendalam mengenai diri kita sendiri. Kita perlu mendeskripsikan hal apa yang buat kita tidak terima dari perilaku orang lain. Apa justifikasi kita mengenai perilaku tersebut? Apa efek dari perilaku tersebut kepada diri kita? Fase ini seperti mengidentifikasi inti dari masalah yang sebenarnya terjadi. Fase awal ini sangat tidak mudah, mengingat ketika kita masih emosional, pikiran kita cenderung bias, sehingga sulit mendudukkan masalah dengan objektif. Mungkin ini tips ini bisa dipakai, kamu bisa mengajak pihak ketiga yang relatif netral untuk membantu agar tidak terlalu subjektif dalam berpikir.
Mungkin di fase awal ini akan memunculkan rasa tidak nyaman, karena kita akan mencoba flashback pada peristiwa yang bisa jadi traumatis buat kita. Akan tetapi, ini kita perlukan untuk bisa memahami konteks lebih mendalam. Hal ini juga biasa ditemui dalam Cognitive Behavior Therapy (CBT). Ada beberapa tugas tertulis dimana pasien diminta menulis situasi yang memunculkan emosi negatif. Malah, oleh psikolog biasanya akan diarahkan untuk menulis situasi secara spesifik dan detail.
Disini juga diajari untuk aware terhadap emosi negatif apa yang muncul. Persis seperti tugas Daily thoughts record dalam CBT, ada pertanyaan mengenai emosi apa yang muncul, bahkan sampai berapa persen rate-nya. Sehingga kita belajar mengidentifikasi “SIAPA KITA”, apa saja yang kita rasa, apa yang buat kita terganggu. Semakin kita mengenal diri sendiri, semakin jelas apa yang harus kita lakukan atau keputusan apa yang harus kita ambil.
Decision phase
Beranjak ke fase ke-dua, disini kita mulai belajar mengambil keputusan. Apakah kita akan memaafkannya atau tidak? Kita mulai belajar mempertimbangkan, apa keuntungan dan kerugian dari keputusan untuk memaafkan dia. Kita juga belajar apa hal yang mungkin berbeda ketika kita memaafkan dia. Kita mengajak pikiran kita mempertimbangkan berbagai opsi yang rasional.
Pada fase ini, kita mungkin bisa juga membaca kembali edukasi mengenai apa efeknya memaafkan untuk psikis dan fisik kita. Karena bisa jadi, kita punya pemikiran kalau kita memaafkan berarti kita kalah, kita menyerah, lemah atau menjadi pecundang. Padahal, mereka yang memaafkan itu adalah orang yang kuat karena bisa mengontrol gejolak emosi. Ketika mencoba memaafkan, kita sedang menaiki tangga untuk menjadi manusia yang lebih baik. Karena kita akan melepaskan belenggu emosional yang selama ini mengganggu. Efeknya untuk kita sendiri sangat luar biasa dan akan sangat membantu stabilisasi mood kita untuk bisa tetap produktif dalam mengejar cita-cita. Atau bisakah kita sebut, memaafkan orang lain itu adalah proses mencintai diri sendiri?
Work phase
Setelah mengambil keputusan, kita perlu bekerja keras untuk melakukannya. Masuklah kita pada fase ke-tiga, yaitu work phase. Di sini kita belajar untuk melihat dari sudut pandang orang lain, utamanya dari individu yang sudah menyakiti hati kita. Alasan apa yang menjadi dasar dari perilakunya tersebut? Kita belajar untuk memahaminya. Kita mulai menumbuhkan empati, berdiri diatas sepatu orang lain. Yes ini tidak mudah, tapi kita belajar bahwa perilaku orang lain selalu ada “pesan” di baliknya.
Dalam Cognitive Behavior Therapy, kita tahu betul bahwa yang membuat kita punya emosi dan perilaku tertentu adalah disebabkan oleh pikiran kita yang terdistorsi dan cenderung tidak rasional. Ketika kita sulit memaafkan orang lain adalah cenderung karena kita mengatribusikan kesalahan 100% kepada orang tersebut. Kita merasa merekalah yang menyebabkan munculnya berbagai emosi negatif dalam diri kita, seperti marah, sedih, kecewa, atau lainnya. “Gara-gara dia nih gw jadi sengsara gini”, “Dia khianatin gw, buat gw jadi kecewa parah” dan berbagai pikiran lainnya. Kita terkunci pada pikiran tersebut dan seakan-akan tidak ada opsi lain yang mungkin terjadi. Kita seperti pakai kacamata kuda dan terfokus pada pikiran tersebut, meskipun banyak fakta lain yang bisa jadi berlawanan dengan pikiran kita.
Proses pemaafan, salah satunya adalah dengan mencoba mengatribusikan persentase kekecewaan, kekesalan, dan emosi negatifnya tidak hanya kepada orang lain, tapi juga kepada diri kita sendiri. Mereka tidak 100% bersalah, ada sekian persen peran kita, peran orang lain, peran lingkungan, ataupun kalau kita punya sisi relijius bisa kita tambah peran takdir di situ.
Proses tersebut tidak lah mudah, mengapa? (Kayaknya semua tahap tidak ada yang mudah ya) karena sudah kuatnya labeling kita terhadap orang tersebut. Bahkan emosi negatif bisa muncul, tanpa bertemu secara tatap muka. Misalnya, ketika akan ada acara reuni sekolah atau keluarga, kita sudah membayangkan akan bertemu orang yang pernah menyakiti kita. Dengan otomatis, perasaan negatif muncul, sehingga dapat membuat kita mengurungkan niat datang atau cenderung menghindar.
Manusia, merupakan makhluk yang penuh strategi defensif. Ketika ada serangan psikologis, kita secara otomatis akan masuk ke dalam benteng kita. Kita akan melakukan berbagai cara untuk mempertahankan benteng kita. Mengakui bahwa kita juga memiliki persentase peran pada situasi tidak nyaman atau traumatis itu adalah langkah yang berat dan terkesan tidak masuk di akal. Secara alamiah kita ingin menjadi yang paling benar. Apalagi pada karakter kepribadian tertentu, yang cenderung ingin selalu mendapatkan panggung, menjadi spotlight, atau menjadi yang paling superior.
Outcome phase
Dari fase terakhir ini kita digiring untuk memiliki insight, memahami apa makna dibalik semua kejadian ini. Bahwa rasa sakit dan tidak nyaman memiliki arti untuk kita bisa tumbuh dan berkembang menjadi manusia yang lebih baik. Seperti ujian sekolah, bisa jadi peristiwa itu dapat mengantarkan kita naik ke kelas lebih tinggi. Manusia mana yang tidak diuji? Adakah yang ujiannya lebih berat dari kita? Atau jangan-jangan ujian tersebut adalah sumber ilmu buat kita. Ilmu yang nantinya bisa kita ajarkan ke orang lain, utamanya ke anak cucu kita. Ilmu bersosialisasi, berkomunikasi, dan yang lebih penting ilmu untuk berdamai dengan diri sendiri.
Sekali lagi, proses memaafkan tidaklah mudah. Paparan kami di atas tentunya belum menggambarkan secara utuh betapa sulit dan rumitnya proses tersebut. Lebih lanjut, kami mencoba membuat worksheet sederhana yang dapat teman-teman isi. Dalam worksheet ini terdapat bebagai pertanyaan yang memandu kita dalam proses pemaafan. Ini masih dalam versi beta, let us know jika ini bisa membantumu atau sebaliknya.
Referensi :
Baskin, T. W., & Enright, R. D. (2004). Intervention studies on forgiveness: A meta‐analysis. Journal of Counseling & Development, 82(1), 79-90.
(2018). Forgiveness Definitions, Perspectives, Contexts, and Correlates. Journal of Psychology and Psychotherapy Vo. 8 Issue 3, p1-5.
Souders, B. (2020). What is forgiveness & what are the benefits? https://positivepsychology.com/forgiveness-benefits/
Wong, J. M., Na, B., Regan, M. C., & Whooley, M. A. (2013). Hostility, health behaviors, and risk of recurrent events in patients with stable coronary heart disease: findings from the Heart and Soul Study. Journal of the American Heart Association, 2(5), e000052. https://doi.org/10.1161/JAHA.113.000052
Worthington, Everett & Scherer, Michael. (2004). Forgiveness is an emotion-focused coping strategy that can reduce health risks and promote health resilience: Theory, review, and hypotheses. Psychology & Health – PSYCHOL HEALTH. 19. 385-405. 10.1080/0887044042000196674.
Comments