top of page
Gambar penulisFirman Ramdhani, M.Psi., Psikolog

Stress-Eating

Dalam menilai kondisi psikologis seseorang kita hanya bisa melihat dari perilaku yang ditunjukkan. Salah satu yang menjadi indikatornya adalah pola makan. Misalnya saja, dalam diagnosa gangguan Major depressive disorder ada salah satu point yang bisa menjadi kriteria diagnosa, yaitu terjadi perubahan pada pola makan bisa lebih banyak atau justru berkurang drastis makan. Oleh karena itu, dalam situasi yang penuh tekanan seperti masa pandemi COVID-19 ini bisa jadi banyak orang yang terkena imbas dan mempengaruhi pola makannya.


Kalau kita coba bahas dari sisi neuropsikologi, kita perlu melihatnya dari sudut pandang chemical imbalance. Di otak terdapat banyak zat kimia, yang disebut nurotransmitter, dan yang paling terkait dengan pola makan salah satunya adalah Serotonin. Dari berbagai riset, Serotonin juga mempengaruhi banyak hal, seperti mood, perilaku agresif, arousal, dorongan dan fungsi seksual, tidur, memori dan belajar, regulasi suhu, persepsi rasa sakit, pernafasan, dan juga beberapa perilaku sosial (1,2)


Kadar serotonin yang seimbang dapat memberikan perasaan puas atau nyaman secara emosional dan perasaan kenyang setelah makan. Sebaliknya, kadar serotonin yang rendah cenderung membuat individu merasa depresi dan mengarah kepada pola makan yang berlebih, utamanya pada makanan yang rasanya manis dan bertepung (3). Makan menjadi jalan keluar untuk mengisi rasa tidak nyaman secara emosional yang muncul ketika kadar serotonin turun.


Jadi, apakah hanya depresi kah yang mempengaruhi pola makan kita? Ternyata tidak sesederhana itu kaitannya. Kalau kita baca kembali, kadar serotonin yang rendah juga ditemui pada mereka yang memiliki gangguan cemas. Dan bahkan, bisa kita sebut kondisi stress yang sifatnya kronis juga menyebabkan menurunnya kadar serotonin di otak kita (4). Jadi, stress yang kita rasa setiap hari di sekolah, di kantor, di rumah, sudah cukup membuat kita jadi rajin ngemil yang gak sehat. Individu dalam keadaan emosi negatif telah terbukti mendukung konsumsi makanan yang memiliki kandungan gula dan lemak tinggi; sedangkan asupan individu selama keadaan emosi positif (bahagia) lebih terletak pada buah-buahan kering, yang tidak terlalu banyak memberikan manfaat hedonis. (5)


Pada penilitian lain di tikus ditemukan bahwa stres dapat membuat konsumsi makanan lezat (hyperpalatable food) jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok tikus yang berada dalam kondisi tidak stres. Dengan makanan tinggi lemak, dapat mengurangi kecemasan pada tikus yang stress ketika diberi tantangan labirin dengan kesulitan tinggi. Konsumsi makanan tinggi lemak juga dapat menurunkan reaksi kecemasan pada induk tikus yang stress karena dipisah dari anaknya. Secara keseluruhan, temuan ini menunjukkan bahwa stres terkait makanan yang tinggi lemak maupun gula berfungsi dalam memberikan keuntungan jangka pendek tetapi justru merugikan tubuh dalam jangka panjang. Hal ini dikarenakan hyperpalatable food berkontribusi terhadap penumpukan lemak di perut dan gangguan metabolisme yang terkait didalamnya.


Hyperpalatable food atau makanan yang sangat lezat dan menenangkan mengandung salah satu dari ketiga kriteria berikut:

  1. Lemak dan natrium (> 25% kkal dari lemak, ≥ natrium 0,30% berat), misalnya, bacon dan pizza

  2. Lemak dan gula sederhana (> 20% kkal dari lemak,> 20% kkal dari gula), misalnya, kue dan es krim

  3. Karbohidrat dan natrium (> 40% kkal dari karbohidrat, ≥ natrium 0,20% berat), misalnya, roti dan keripik.


Ini menjadi sebuah siklus, ketika kita stress kita akan banyak makan makanan yang manis dan bertepung, yang jika terlalu banyak dapat kembali mempengaruhi mood kita juga. Kita akan berada pada siklus ini dan makin lama kita makin tenggelam di dalamnya. Jika ditelusuri lebih lanjut, stress-eating memiliki unsur impulsivitas yang saling tumpang tindih dengan tingkah laku impulsive buying. Sebagaimana yang didefinisikan oleh Rook dan Gardner (6), tingkah laku impulsive buying merupakan tingkah laku tidak terencana yang melibatkan pengambilan keputusan dengan cepat dan keinginan yang tinggi untuk memperoleh produk atau barang dengan segera; dalam hal ini merupakan konsumsi makanan. Lalu, impulsive buying ini juga ditandai dengan adanya stimulus yang muncul secara spontan (spontaneous), membuat individu terangsang secara psikologis (psychologically arousing), mendorong individu untuk membeli atau mengonsumsi sesegera mungkin (immediate), dan menyenangkan bagi individu itu sendiri (pleasure-oriented) (7).


Yes, seperti mereka yang kecanduan. Individu bisa terjebak pada perilaku stress-eating yang berulang apabila ia tidak mampu keluar dari siklus tersebut. Efek menyenangkan sesaat setelah mengkonsumsi makanan yang hyperpalatable membuat aktifnya reward pathway di otak (atau jalur kesenangan). Hal apapun yang sudah direkam oleh reward pathway akan dicari oleh otak kita kedepannya.


Kita bisa bayangkan pada masa pandemi seperti ini. Banyak dari kita mengalami stress yang kronis, mulai dari rasa khawatir akan kesehatan, kelanjutan bisnis, takut tidak bisa membiayai anak istri kedepannya atau stress karena terlalu banyak tugas kuliah / sekolah. Belum lagi ketidak pastian pada masa ini membuat beberapa individu semakin cemas. Lebih lanjut, perubahan kegiatan rutin membuat kita perlu beradaptasi, dan banyak yang mengalami kesulitan untuk bisa beradaptasi dengan rutinitas barunya. Akhirnya banyak dari kita mulai terdorong untuk ikut membuat Dalgona coffee, atau cek orderan kita di Gojek atau Grab, lebih banyak makanan apa yang kita pesan?…


Pola makan yang tidak sehat berpotensi juga menimbulkan penyakit lain. Misalnya saja diabetes dan obesitas. Atau bisa jadi kita mengalami gangguan yang disebut autoimun disorder. Penyakit yang belum banyak orang tahu. Makanan yang tidak sehat dapat berpotensi menimbulkan leaky gut (bocornya pencernaan) yang membuat molekul makanan masuk ke pembuluh darah sebelum diolah dengan baik. Sehingga dianggap ancaman oleh sistem imun kita. Lebih jauh, ada beberapa molekul dari makanan yang mirip dengan berbagai organ di dalam tubuh kita. Sistem imun kita salah mendeteksi dan akhirnya menyerang organ sendiri.


Ketika kita punya penyakit, atau bahkan banyaknya lemak dalam tubuh kita. Akan mengaktifkan yang disebut pro-inflammatory cytokines dan sesuai namanya dia akan mendukung adanya inflamasi atau peradangan di dalam tubuh kita. Yang ketika kadarnya tinggi di dalam pembuluh darah, ia akan masuk ke dalam otak dan mempengaruhi kadar serotonin, yang nantinya akan memepengaruhi mood kita. Dari buku The Inflammed Mind (8), disebut gangguan depresi bisa jadi muncul karena kita punya inflamasi atau peradangan di dalam tubuh kita terlebih dahulu.


Lalu apa yang harus kita lakukan? Yang pertama adalah belajar bagaimana menghadapi stress, menurut teori cognitive behavior therapy, bukan situasi lah yang membuat kita marah, sedih, takut, melainkan cara kita berpikir dan memaknai situasilah yang menjadi penyebabnya. Pola pikir yang kaku dan tidak realistis menimbulkan emosi negatif. Kita belajar menghadirkan berbagai macam pertimbangan (yang pastinya tidak mudah) yang lebih realistis, sehingga intensitas emosinya lebih rendah. Misalnya, ketika pacar tidak balas pesan singkat, kita berpikir “Dia pasti tidak sayang sama saya, dia pasti sudah punya yang lain” atau “Mungkin dia tidak sayang, tapi kita sudah 2 tahun pacaran itu bukti komitmen dia, tidak pernah ada riwayat selingkuh juga, mungkin ini karena kita baru saja bertengkar beberapa hari lalu, dan biasanya dia selalu balas pesan sepulang kerja”. Mana yang lebih nyaman dan menimbulkan emosi positif? Jawab sendiri yaa… Ketika stress kita terkontrol, kemungkinan kita terjebak kepada makanan yang tidak sehat menjadi berkurang.


Berikutnya adalah melatih gaya hidup yang sehat. Mulai dari makanan yang dipilih, tidak lagi mengandung tepung, gula, gorengan dan perbanyak makanan yang mengandung serat. Jaga pola tidur dan olahraga yang teratur. Terakhir, jika kamu berada pada siklus stress-eating yang tak berkesudahan, jangan sungkan cari bantuan dari mental health professional terdekatmu.


Oleh :

  • Firman Ramdhani, M.Psi., Psikolog.

  • Rayhanni Rahman, S.Psi (Asisten Psikolog)


Sumber :

  • Kolb and whishaw, 2015. Fundamentals of human neuropsychology. NY :Worth publishers.

  • https://www.webmd.com/depression/features/serotonin#1

  • https://www.psychologytoday.com/us/blog/the-breakthrough-depression-solution/201404/biology-the-binge-food-mood-and-serotonin

  • https://www.webmd.com/depression/features/stress-depression#1

  • Yau, Y. H., & Potenza, M. N. (2013). Stress and eating behaviors. Minerva endocrinologica, 38(3), 255.

  • Rook & Gardner (1993) Rook, D. W., & Gardner, M. P. (1993). In the mood: impulse buying’s affective antecedents. Research in consumer behavior, 6(7), 1-28.

  • Sofi, S. A., & Nika, F. A. (2017). Role of intrinsic factors in impulsive buying decision: An empirical study of young consumers. Arab Economic and Business Journal, 12(1), 29-43.

  • Bullmore, 2018. The inflammed mind : a radical new approach to depression. US : Picador.

9 tampilan0 komentar

Postingan Terakhir

Lihat Semua

Comments


bottom of page