top of page

Memanipulasi Realita

Realita hidup terkadang tidak selalu sesuai dengan apa yang kita inginkan. Terkadang kita perlu menghadapi realita kehidupan yang sangat pahit dan menakutkan. Yang semakin kita sadari, semakin pula kita merasa tidak nyaman. Akan tetapi, kita bisa merasa lebih baik jika kita memanipulasi atau mendistorsi realita tersebut yang dalam ilmu psikologi disebut sebagai defense mechanism (ego defense mechanism). 


Defense mechanism dikenal sebagai salah satu konsep penting pada aliran teori Psikoanalisis dengan Sigmund Freud sebagai pionirnya dan dikembangkan lebih lanjut oleh Anna Freud. Defense mechanism dilakukan individu untuk “melindungi” diri dari kecemasan yang dialaminya (Feist et al., 2018). Kecemasan sendiri muncul akibat individu mempersepsikan adanya ancaman. Di samping dari teori Psikoanalisis, terdapat konsep yang serupa dari pendekatan atau teori lainnya, yaitu teori terapi Gestalt. Pada teori terapi Gestalt, ada yang dikenal sebagai contact boundary disturbance—yaitu pola coping (strategi untuk mengatasi masalah) pada individu yang resisten untuk melakukan kontak dengan realita/kenyataan atau masa kini secara utuh, nyata, atau apa adanya (Corey, 2017). Baik itu defense mechanism maupun contact boundary disturbance, keduanya sama-sama dilakukan individu dengan menolak atau mendistorsi realita/kenyataan (Corey, 2017). 

                       

Terdapat beberapa contoh dari defense mechanism (dan contact boundary disturbance), antara lain (Corey, 2017; Feist et al., 2018):

  1. Repression, sebagai defense mechanism yang paling mendasar dan juga terlibat pada defense mechanism lainnya. Repression adalah menekan pikiran atau perasaan yang menyakitkan atau mengancam ke alam bawah sadar dan dilakukan secara tidak disengaja oleh individu. Jika repression dilakukan, manifestasinya adalah individu dapat tidak mampu mengingat pikiran, perasaan, atau pengalamannya yang dirasa tidak nyaman.

  2. Projection, ketika individu mengatribusikan pikiran, perasaan, atau hasrat yang tidak dapat diterima atau diinginkan sebagai milik orang lain. Contohnya adalah ketika seseorang merasa kesal atau benci kepada orang lain, dirinya menganggap bahwa orang lain yang justru membencinya. Jenis defense mechanism ini juga disebutkan sebagai salah satu contoh dari contact boundary disturbance. Secara spesifik, menurut teori terapi Gestalt, projection dilakukan dengan tidak menganggap aspek atau kualitas diri yang kurang diinginkan sebagai bagian dari dirinya sendiri, melainkan menganggapnya sebagai milik orang lain (Corey, 2017). Oleh karena itu, individu dapat cenderung menyalahkan orang lain atau merasa dirinya sebagai korban. 

  3. Displacement, merupakan cara untuk mengatasi kecemasan dengan mengarahkan kembali pikiran, perasaan, atau hasrat yang tidak dapat diterima ke hal lainnya yang dianggap “lebih aman”. Sebagai contoh, ketika seseorang merasa kesal karena dimarahi oleh atasan atau orang tua, dirinya melampiaskan dengan membanting pintu atau barang miliknya (karena tidak mungkin atau mencemaskan baginya untuk membalas kemarahannya ke atasan atau orang tua). 

  4. Introjection, menurut teori Psikoanalisis, dilakukan dengan menginternalisasi nilai atau standar dari orang lain. Selain itu, juga dilakukan dengan mengadopsi kualitas positif dari orang lain sebagai bagian dari diri untuk meningkatkan keberhargaan diri. Contohnya dapat kita temukan pada seseorang yang meniru perilaku atau gaya hidup idolanya atau orang lain yang ia anggap sebagai role model. Sebagai salah satu jenis lainnya dari contact boundary disturbance, introjection ditunjukkan dari bagaimana seseorang menerima standar dari lingkungan sosialnya secara pasif (Corey, 2017). Hal ini membuat seseorang tidak mampu menjadi dirinya sendiri atau apa adanya. 

  5. Denial, seakan-akan “menutup mata” atau menolak untuk menerima realita yang terjadi atau pikiran dan perasaan yang dimiliki. Contohnya dapat ditemukan pada mereka yang terjebak di toxic relationship, di mana ketika salah satu pihak memilih untuk bertahan karena mengabaikan fakta bahwa hubungannya tidak lagi sehat (misal: tidak saling menghormati dan ada tindakan kekerasan). 

  6. Confluence, merupakan bentuk dari contact boundary disturbance, yaitu ketika seseorang membuyarkan batasan antara dirinya dan orang lain (Corey, 2017). Hal ini ditemukan pada individu yang memiliki kebutuhan untuk diterima oleh orang lain, atau dapat disebut sebagai people-pleaser. Perilaku individu dengan confluence contohnya adalah selalu mengikuti permintaan orang lain tanpa memperhatikan kepentingan dirinya sendiri. 


Coba baca kembali dan resapi contoh perilaku dari mekanisme pertahanan diri di atas. Kamu akan menemukan bahwa mekanisme ini dibuat karena individu membatasi dirinya untuk mengakui sesuatu hal yang too bad to be true. Misalnya saja, mekanisme pertahanan diri denial, seseorang bisa sangat cemas untuk mengakui bahwa hubungannya sedang tidak baik-baik saja (sesuai contoh di poin 5 di atas). Sangat berat dan menyakitkan baginya jika harus melihat sesuai dengan realita dengan jelas, karena ia akan mengakui bahwa hubungannya dengan pasangannya bersifat toxic, membahayakan, dan merugikan diri sendiri. Lalu, jika ia “menyadari dan mengakui” tersebut, maka tidak ada konsekuensi yang lebih tepat kecuali berpisah dengan pasangannya. Namun, berpisah berarti mengiya-kan sesuatu yang ia percayai selama ini, bahwa “saya tidak dicintai” ( dalam CBT (Cognitive Behavior Therapy) disebut dengan Core Belief). 


Terpaku dalam benaknya, “jika saya memiliki pasangan, maka artinya saya dicintai. Jika saya tidak memiliki pasangan, maka benar bahwa tidak ada yang mencintai saya”.  CBT berpendapat bahwa, individu akan membuat berbagai aturan dalam hidupnya yang berbentuk konsep berpikir “Jika…. Maka….” agar melindungi core belief supaya tidak aktif. Berbagai aturan tersebut termanifestasi pada banyak bentuk perilaku yang sifatnya maladaptif. Contoh lainnya adalah ketika seseorang percaya betul dengan ide “Jika saya menyelesaikan tugas dengan sempurna, maka saya akan baik-baik saja. Namun, jika saya ada salah sedikit saja, maka saya adalah orang yang gagal”, Bagaimana menurutmu bentuk perilakunya ?


Sebenarnya, melakukan defense mechanism merupakan sesuatu yang normal, wajar, bahkan adaptif ketika dilanda kecemasan atau memiliki pikiran, perasaan, hasrat, dan pengalaman yang mengganggu (Feist et al., 2018; Corey, 2017). Seperti contoh bentuk displacement, dengan tidak kembali mengekspresikan kemarahan ke atasan atau orang tua, seseorang dapat terhindar dari dipecat dari pekerjaannya atau dilabel sebagai anak yang melawan orang tuanya. Akan tetapi, jika dilakukan secara berlebihan atau berulang-ulang, defense mechanism dapat membuat seseorang untuk memiliki masalah atau bahkan gangguan psikologis. Sebagai contoh, bentuk ekstrem dari projection adalah paranoia, yaitu ketika individu memiliki delusi atau kepercayaan bahwa dirinya akan disakiti, dicelakai, atau dipersekusi oleh orang lain sehingga memiliki kecurigaan yang berlebihan terhadap orang lain (Kring & Johnson, 2019). Selain itu, dilakukannya defense mechanism (atau ego boundary disturbance) secara berlebihan berisiko membuat seseorang untuk tidak menjadi seseorang yang utuh (dengan berbagai aspek positif dan negatif, kelebihan atau kekurangan sebagai bagian dari dirinya) dan apa adanya (tanpa terlalu mengikuti standar dari orang lain atau masyarakat). Menurut pandangan teori terapi Gestalt, menjadi seorang individu yang tidak utuh dan kehilangan kesadaran akan diri sendiri merupakan salah satu indikator dari dimilikinya masalah psikologis (Corey, 2017). 


Penggunaan defense mechanism atau maladaptive strategies secara berlebihan dan berulang-ulang juga akan membuatnya menjadi semakin otomatis. Individu mungkin akan berada pada kondisi “tidak sadar” ketika melakukannya. Ia akan melakukannya sebagai satu-satunya cara untuk menghadapi ancaman. Hal tersebut yang juga menjadi sasaran dalam proses psikoterapi. Terapis akan membantu klien untuk bisa menyadari berbagai bentuk defense mechanism, atau aturan - aturan ( dalam CBT ) yang rigid tersebut. 


CBT sendiri secara proaktif akan melakukan berbagai cara, baik dengan menggali bukti ataupun melakukan eksperimen untuk menguji kebenaran dari aturan tersebut. Benarkah “jika…” selalu diikuti “maka…”, atau ada kemungkinan lain ? Benarkah jika ada ketidaksempurnaan berarti itu sebuah kegagalan ? adakah bukti yang sebaliknya, justru karena tidak sempurnaan itu malah banyak orang yang tertarik padanya ? atau, apakah sebuah masterpiece adalah hanya hasil dari satu kali percobaan dalam membuatnya ? atau justru butuh coba-gagal-coba-gagal-coba-berhasil ?. Atau seperti contoh di atas,  benarkah jika saya memiliki pasangan artinya saya dicintai ? jika saya punya pasangan, tapi tidak bahagia dan hidup dalam ketakutan, apakah itu artinya dicintai ? apakah membentak dan memukul itu bentuk dari cinta ? atau benarkah jika saya tidak memiliki pasangan artinya tidak ada yang mencintai saya ? bagaimana dengan cinta dari orang tua atau sahabat, itu tidak dihitung-kah ?.


Tahapan lainnya dari CBT adalah menggali core belief yang dari awal menjadi pencetus munculnya berbagai aturan kaku tersebut. Terapis akan menggali apakah benar ide bahwa “saya tidak dicintai” dengan menggunakan prinsip collaborative empiricism. Jika klien sudah bisa melihat core belief dengan lebih adaptif (misalnya, berubah menjadi “saya dicintai” ) tentunya ia tidak memerlukan berbagai aturan yang kaku.


oleh Firman Ramdhani, M.Psi., Psikolog dan Raissa Fatikha, S.Psi.



Referensi

  • Corey, G. (2017). Theory and practice of counseling and psychotherapy (10th ed.). Cengage Learning.

  • Feist, J., Feist, G. J., & Roberts, T.-A. (2018). Theories of personality (9th ed.). McGraw-Hill 

  • Education.

Kring, A. M., & Johnson, S. L. (2019). Abnormal psychology: The science and treatment of 

psychological disorders (14th ed.). Wiley.

162 tampilan0 komentar

Postingan Terakhir

Lihat Semua
bottom of page